Sumber: ibu ibu DI
Tanya
Apa masih kepagian kalau anak umur 4 th kurang di les kan piano? Dimana bisa dapatkan step by step untuk mengajarkan anak sekecil itu, Apa mulai dari not balok? [dn]
Jawab
Dari dulu, aku paling anti baca not balok. Aku tidak pernah tau tentang perpianoan. Dari dulu sih, asal fun-fun saja, karena sudah ada, ya aku mainkan. Sambil matanya lihat ke angka yang 1 2 3 nya saja dan tangannya yang jalan tapi lumayan, waktu SD jadi kepilih untuk wakil main piano. Sekarang ke anakku iseng, sambil nostalgia ceritanya. aku asal saja, sambil nyanyi-nyanyi bintang kecil, naik kereta api, hujan, seperti lagu-lagu anak, sambil bermain pianonya. cuma begitu saja gimana ya? tidak ada terpikir untuk memberi les anak main piano, ibunya saja anti baca not balok dan nantinya buat apa ya moms? minta sharingnya ya, sepertinya banyak yang minat sama piano ini, ada lebihnya ya ke perkembangan otak/kreativitas? [af]
Anak sepupuku mulai dari umur 3 & 5 tahun, ini kakak beradik, kemaren waktu aku lebaran ke rumah sepupuku dia bilang yang lebih pintar adiknya yang dari umur 3 tahun belajar pianonya, mereka kursusnya di YMI Manggarai. kalau anakku belum ikutin, mau ke KMA yang punya Yamaha di daerah Cibubur tapi kursusnya hari sekolah kalau tidak Rabu/Kamis jam 14.00, tapi masih kasihan karena dia pulang sekolah jam 11.00 kalau kamis pulang jam 12.30 karena dilanjutkan ada ekstra kulikuler, mungkin aku mau masukkan ke Purwacaraka Studio di Depok yang kelas vokal dulu [Im]
Mozart 4 tahun sudah bisa main piano. Tidak kepagian, kalau memang anaknya memang suka, dikursuskan saja. Sayang kalau bakatnya telat diasah. Musik penting sekali. Aku juga mau kursusin anakku piano, tapi lagi mikir, enaknya dimasukkin ke sekolah musik atau panggil guru privat ya? Soalnya anakku masih 3 tahun. Aku tadinya mau mengarahkan anakku main gitar. Jadi aku belikan gitar supaya dia bisa main. Tapi ternyata anakku tidak mau, gitarnya disandang terus kayak pacul. Dia maunya main piano saja. Ya sudah. Gitarnya aku lupakan. Ikutin saja dia maunya apa. Biola juga asik sekali. Aku dulu ingin sekali bisa biola, tapi apa daya besar di tengah hutan siapa juga yang mau mengajarkan main biola. Musik tidak bisa dipaksakan. Seperti aku dipaksa main trumpet dulu dan tidak pernah bisa, karena maunya main angklung [Fe]
Di yamaha minimal 3,5 tahun sepertinya, awalnya diperkenalkan bunyi-bunyian berbagai alat musik mengenal ritme ketukan lagi tangga nada sederhana – do re mi, kalau memang sudah usianya bertambah mungkin baru fokus ke salah satu alat musik yang disukai sang anak kira-kira begitu. Aku juga ada rencana mau memasukan anakku ke kursus musik, makanya sudah survey ke beberapa tempat kursus [Su]
Sharing pengalaman saja ya, anakku dulu pertama kali les piano umur 4 tahun, waktu itu aku masukin di KMA (Kursus Musik Anak) nya Yamaha, jadi ikut kelas atau group, 1 kelas kira-kira 7-8 anak, tidak les private. waktu itu sih ada yang bilang kalau les private, takut anaknya jenuh, jadi lebih baik diikutkan di kelas, dan ternyata buat anakku cocok, sampai KMA 4 lulus, dia sudah bisa baca not balok, baca lagu, setelah itu baru penjurusan, anakku pilih ke piano. Waktu umur 5 tahun, sempat juga aku arahkan untuk ke biola, ternyata anaknya lebih suka ke Piano, ya sudah, jadinya les piano. [Rn]
Kebetulan anakku sekarang aku masukin ke kursus musik khusus balita, tempatnya di jalan Fatmawati. Rencananya aku mau masukkan ke playgroup Gita Niti di Jalan panglima polim. Metode pengajaran ditempat kursus khusus balita itu adalah pengenalan, jadi anak2 (sekelas 6 orang) diajak mendengerkan musik/lagu, lalu diajak "mendengarkan" ketukannya, tapi namanya juga anak2 2-3 tahunan, caranya mengajarnya juga sambil bermain. [Ik]
Sepupuku yang perempuan juga kursus biola dari smp, sekarang dia sudah sma dan itu juga pilihannya sendiri, orang tuanya saja kaget kenapa pilihnya biola, padahal kakaknya yang perempuan juga pilihnya gitar, ternyata karena dia sering lihat vanessa mae main jadi dia ingin sekali seperti itu. Menurut tanteku setiap dia menunggu sepupuku kursus, ternyata yang les itu bukannya hanya anak-anak, orang dewasa juga banyak, jadi temen sekelas sepupuku itu ada yang sudah nenek-nenek ada yang pegawai telkom, ada mahasiswa juga. Kalau menurut aku, biola sekarang sudah banyak juga penggemarnya, jadi sepertinya pasti di sekolah musik seperti yamaha / kaiwa / modern, pasti sudah ada kelas biola. [In]
Temannya anak saya juga sudah mulai belajar biola sejak umur 5 tahun, sekarang sudah dia umur 9 tahun, mainnya sudah bagus juga. Selain les biola, sebelumnya sudah les piano lebih dulu, jadi sekarang les 2 alat musik sekaligus. Kalau tidak salah, tempat les biola untuk ana-anak yang bagus di Amadeus. Pendiri sekolah musik ini Grace Sudargo yang juga pemain biola, jadi dia tahu bagaimana cara yang menarik untuk mengajar anak-anak kecil bermain biola. Belajar main biola ini harus betul-betul tekun, karena harus memproduksi nada yang tepat, tidak seperti piano yang tinggal tekan saja. Biola juga lebih sulit daripada gitar karena fretless.
Anakku sudah 5,5 thn jadi sudah saatnya belajar musik dengan serius, tapi kalau nanti dia tetap dengan pendiriannya, apa boleh buat, terpaksa aku harus hunting biola. Biola ukuran ½ yang buatan Cina harganya tidak terlalu mahal, sekitar ½juta, jadi masih lumayan, tidak terlalu rugi kalau anaknya bosan. [Sy]
Aku agak lupa persisnya, kira-kira 1-1.5 tahun, jadi KMA 1 kira- kira 3-4 bulan baru ujian , KMA 2 juga kira-kira 3-4 bulan lalu ujian dst. Disini anaknya tidak melulu teori, tapi juga pegang alat musik, pakai electone, ada nyanyinya, ada latihan jari-jari, ada PR mewarnai dan bikin not balok, jadi membuat anaknya menjadi tertarik, tidak bosan, meskipun begitu maksudnya tidak terus menerus pegang electone) pada saat ujian KMA 1 nanti, anaknya sudah bisa memainkan lagu, karena disitu kan ada juga ujian untuk memainkan lagu, hearing, dsb. Hanya saja kalau menurut aku dengan dasarnya di KMA tadi, penguasaan not balok, hearing , maksudnya basicnya menguasai sekali. Jadi jangan khawatir bahwa anaknya akan malas/bosan, karena anaknya tetap memainkan electone setiap kursusnya, hanya memang bukan piano, tapi electone. (ini menurut aku sendiri ya (aku juga tidak terlalu mengerti soal music, dan tidak bisa piano) bisa jadi anaknya dikenalkan electone dulu, karena jari-jarinya kan masih kecil, kalau piano untuk menekan beberapa kunci-kunci di piano, panjang dan jari tangannya masih tidak cukup untuk menjangkau tuts, ini hanya berdasarkan pemikiran orang awam. Satu lagi, anakku waktu itu les musik juga berdasarkan saran dari dsa karena anakku ini galak dan memang betul sekarang ini emosinya cukup stabil dan lebih teratur dan sejauh ini anakku menikmatinya sampai sekarang, belum bosen dia dengan les pianonya. [Ri]
Aku pakai metodenya Alfred untuk murid-murid kecilku. Aku juga masih banyak belajar. sejauh ini murid-murid kecilku juga lebih mudah mencernanya dan penyampaiannya juga terstruktur. Aku pribadi memang prefer anak mulai belajar instrumen piano di umur 4-5 tahun. Kalau lebih kecil metodenya sudah lain lagi, lebih banyak mengembangkan sense of music nya dulu, belajar rhythm, singing, and listening. Dan lagipula untuk yang lebih kecil dari 4 th. biasanya jari-jarinya masih terlalu mungil untuk memencet tuts piano, makanya biasanya pakai keyboard dulu. Sorry, dari yang aku pernah baca di bukunya ibu Latifah Khodijat (guru piano senior indonesia), pemakaian keyboard sebagai pengganti piano di awal, akan membuat jari-jari 'malas' karena touchingnya terlalu ringan, perlu banyak koreksi nantinya. Seperti anakku itu aku memang lebih banyak mengajari rhythm supaya dia punya sense of rhythm dulu. Dari beberapa seminar dan workshop yang aku ikutin, memang basicnya belajar musik ya dari rhythm, seperti tepuk tangan, menyanyi, menari, berbaris, dll. Dan belajar musik itu dasarnya harus fun. Pengenalan musik seperti ini sudah bisa dilakukan sejak 0 tahun. Di mulai dari listening, singing, lalu makin besar anak bisa mulai dibelikan alat2 perkusi sederhana seperti yang suka dipakai guru-guru TK yang bisa dipakai sambil dengerin musik. Itu sudah cukup untuk menumbuhkan sense musicnya, dan kita-kita guru instrumen musik sudah tidak usah susah-susah lagi mengajarkan cara memainkan instrumennya, karena anaknya sudah punya sense.
Lalu, hati-hati memilih sekolah musik, sekolah musik yang bagus punya program dan kurikulum yang jelas, dan berorientasi ke pendidikan musik. Gurunya juga ada yang player, ada yang pendidik. Soalnya ada kursus musik yang berorientasi ke bisnis musik, aku tidak bisa sebut nama tapi aku sudah pernah masuk ke sistemnya mereka, jadi lumayan tahu [Lt]
Tampilkan postingan dengan label Bakat Anak. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Bakat Anak. Tampilkan semua postingan
Benar bakat atau cuma senang sesaat ?
Membedakan bakat dari kesenangan sesaat, dapat dilakukan dengan kepekaan dan kejelian.
Anak balita sudah bisa menunjukkan kesenangannya. Entah suka menari, menyanyi, melukis, atau memainkan alat-alat musik."Tapi belum bisa dikategorikan berbakat, masih sebatas minat. Kesukaannya juga bisa berubah-ubah, bahkan hilang tanpa bekas," kata Vitriani Sumarlis, Psi.
Untuk menandai minat atau tidak, sarannya, amati kadar konsentrasi anak di bidang-bidang tertentu. "Apakah memang lebih atau sama dengan anak lain. Untuk itu dibutuhkan kepekaan serta kejelian orang tua. Soalnya, bisa saja minat itu tidak terekspresikan secara jelas karena anak tidak menunjukkan kebisaan menari, melukis, atau memainkan alat musik seperti anak lainnya karena dia malu, misalnya," ujar psikolog dari Klinik Anakku Cinere, Jakarta Selatan ini. Rangsangan dan dorongan adalah kunci utama untuk menggali minat anak. Sayangnya, orang tua kerap tak tanggap pada minat anak. Akibatnya, potensi besar yang dimiliki anak dan bisa jadi modal di masa datang, akhirnya tetap terpendam.
Tentu saja tak cukup dengan mengamati. Orang tua harus juga mampu mengobservasi. Misalnya, lewat dialog untuk mengetahui sampai sejauh mana minat anak. "Dari sini akan kelihatan, si kecil serius atau sekadar ikut-ikutan temannya." Lakukan pula eksplorasi terhadap minatnya. Saat anak terlihat begitu antusias menari, contohnya, beri dukungan dengan ikut menari bersama atau memberikan arahan. "Tarian kamu bagus, deh. Diajari sama siapa, sih?" Kalau anak kian bersemangat, lakukan eksplorasi lebih dalam. Dari situ bisa terlihat, kegiatannya benar-benar didasari minat atau suka sesaat saja. Bila semangatnya tetap tinggi atau malah makin menggebu dan gerak tariannya kian bagus, besar kemungkinan minatnya mengarah ke bakat yang bisa diarahkan lebih mendalam.
Bila benar anak terlihat berbakat, beri arahan lebih intensif seperti memasukkan anak ke sanggar yang tepat. Pilih lembaga yang sifatnya tidak mengajari hal-hal baku yang mesti ditaati, melainkan hanya bertindak sebagai pengarah. "Tanpa segala bentuk pengekangan, bakat anak yang besar, bisa tumbuh optimal sedari kecil."
Yang tak boleh dilupakan, saat memilih kegiatan, libatkan anak. "Jangan cuma orang tuanya yang ngotot. Anak harus ditanyai juga, apakah ia mau masuk sanggar. Bagaimanapun orang tua tetap harus memberi kebebasan pada anaknya untuk tetap bisa bermain. Kalau ternyata di sanggar itu bakatnya tak tumbuh atau berkembang, "lakukan penilaian kembali. Indikasinya, anak terlihat bosan, ogah-ogahan, atau minta berhenti. Cermati penyebabnya, apakah karena memang tak berminat, tak suka cara mengajar pembimbingnya, atau kondisi sanggar itu tidak kondusif."
TAK MANUSIAWI
Anak, kata Vitriani, mungkin saja memiliki 2 atau 3 bakat sekaligus. Misalnya, jago gambar dan hitung-menghitung. Bila keduanya sama-sama terstimulasi dengan baik dan ia berminat menjadi seorang arsitek, umpamanya, tak sulit baginya merancang sebuah bangunan unik dan orisinal dengan hitungan berbagai ukuran dan bentuk bagian-bagiannya.
Namun, jika kondisi terbatas sehingga kedua bakat tadi tak bisa didukung semua, pilih yang jadi keunggulan anak. "Bukan berarti bakat atau minat anak dipasung, melainkan agar nantinya lebih terfokus pada salah satu. Ini jauh lebih baik ketimbang semua bakatnya tak berkembang maksimal."
Yang patut diingat, hindari pemaksaan dalam bentuk apa pun. "Gara-gara pengen anaknya jadi dokter, orang tua memaksakan kehendaknya sementara si anak justru berbakat di bidang seni. Bisa saja, usaha orang tua berhasil, namun dikhawatirkan tak optimal. Misalnya, anak jadi tak peka akan kebutuhan dan kondisi pasien, saat ia jadi dokter kelak."
Sungguh tidak manusiawi dan tidak menghargai individu bila orang tua memaksakan kehendaknya terhadap anak. "Kalau anak memang punya minat dan bakat di bidang nonformal semisal jadi pelukis, penyanyi, ahli tanaman, atau ahli boga, mengapa tidak? Biarkan anak tumbuh dengan sendirinya. Tentu saja orang tua tetap berkewajiban mengarahkan agar yang dilakukan anak bisa teraih secara maksimal."
JAMINAN SUKSES?
Seseorang yang memiliki bakat dalam profesinya, rata-rata lebih sukses dibanding rekan seprofesi yang sebenarnya tidak berbakat. Seorang musisi, contohnya, akan lebih sukses bereksplorasi jika dalam jiwanya ada bakat yang dikembangkan secara maksimal. Kendati begitu, Vitriani tidak mengingkari pendapat bahwa bakat cuma 10 persen memenuhi dukungan bagi kesuksesan seseorang. "Mayoritas sisanya merupakan usaha dan kerja keras selain faktor keberuntungan. Jadi, tanpa dibarengi usaha dan kerja keras, bakat pun akan percuma. Jangankan meraih kesuksesan, bakat itu sendiri belum tentu keluar karena mungkin saja malah terpendam."
Sebaliknya, bakat yang kecil jika dilatih dan diarahkan dengan baik, akan lebih berkembang dibandingkan bakat besar yang tidak terstimulasi dengan baik. "Tentu saja kapasitas maksimal orang tanpa bakat, tidak setinggi orang yang memiliki bakat bawaan sejak lahir," kata Vitriani. Oleh karena itu, kembangkan bakat anak sejak dini. Jangan tunggu sampai ia menjadi remaja, karena hasilnya tidak akan seoptimal bakat yang distimulasi sejak usia dini.
(tabloid-nakita)
Anak balita sudah bisa menunjukkan kesenangannya. Entah suka menari, menyanyi, melukis, atau memainkan alat-alat musik."Tapi belum bisa dikategorikan berbakat, masih sebatas minat. Kesukaannya juga bisa berubah-ubah, bahkan hilang tanpa bekas," kata Vitriani Sumarlis, Psi.
Untuk menandai minat atau tidak, sarannya, amati kadar konsentrasi anak di bidang-bidang tertentu. "Apakah memang lebih atau sama dengan anak lain. Untuk itu dibutuhkan kepekaan serta kejelian orang tua. Soalnya, bisa saja minat itu tidak terekspresikan secara jelas karena anak tidak menunjukkan kebisaan menari, melukis, atau memainkan alat musik seperti anak lainnya karena dia malu, misalnya," ujar psikolog dari Klinik Anakku Cinere, Jakarta Selatan ini. Rangsangan dan dorongan adalah kunci utama untuk menggali minat anak. Sayangnya, orang tua kerap tak tanggap pada minat anak. Akibatnya, potensi besar yang dimiliki anak dan bisa jadi modal di masa datang, akhirnya tetap terpendam.
Tentu saja tak cukup dengan mengamati. Orang tua harus juga mampu mengobservasi. Misalnya, lewat dialog untuk mengetahui sampai sejauh mana minat anak. "Dari sini akan kelihatan, si kecil serius atau sekadar ikut-ikutan temannya." Lakukan pula eksplorasi terhadap minatnya. Saat anak terlihat begitu antusias menari, contohnya, beri dukungan dengan ikut menari bersama atau memberikan arahan. "Tarian kamu bagus, deh. Diajari sama siapa, sih?" Kalau anak kian bersemangat, lakukan eksplorasi lebih dalam. Dari situ bisa terlihat, kegiatannya benar-benar didasari minat atau suka sesaat saja. Bila semangatnya tetap tinggi atau malah makin menggebu dan gerak tariannya kian bagus, besar kemungkinan minatnya mengarah ke bakat yang bisa diarahkan lebih mendalam.
Bila benar anak terlihat berbakat, beri arahan lebih intensif seperti memasukkan anak ke sanggar yang tepat. Pilih lembaga yang sifatnya tidak mengajari hal-hal baku yang mesti ditaati, melainkan hanya bertindak sebagai pengarah. "Tanpa segala bentuk pengekangan, bakat anak yang besar, bisa tumbuh optimal sedari kecil."
Yang tak boleh dilupakan, saat memilih kegiatan, libatkan anak. "Jangan cuma orang tuanya yang ngotot. Anak harus ditanyai juga, apakah ia mau masuk sanggar. Bagaimanapun orang tua tetap harus memberi kebebasan pada anaknya untuk tetap bisa bermain. Kalau ternyata di sanggar itu bakatnya tak tumbuh atau berkembang, "lakukan penilaian kembali. Indikasinya, anak terlihat bosan, ogah-ogahan, atau minta berhenti. Cermati penyebabnya, apakah karena memang tak berminat, tak suka cara mengajar pembimbingnya, atau kondisi sanggar itu tidak kondusif."
TAK MANUSIAWI
Anak, kata Vitriani, mungkin saja memiliki 2 atau 3 bakat sekaligus. Misalnya, jago gambar dan hitung-menghitung. Bila keduanya sama-sama terstimulasi dengan baik dan ia berminat menjadi seorang arsitek, umpamanya, tak sulit baginya merancang sebuah bangunan unik dan orisinal dengan hitungan berbagai ukuran dan bentuk bagian-bagiannya.
Namun, jika kondisi terbatas sehingga kedua bakat tadi tak bisa didukung semua, pilih yang jadi keunggulan anak. "Bukan berarti bakat atau minat anak dipasung, melainkan agar nantinya lebih terfokus pada salah satu. Ini jauh lebih baik ketimbang semua bakatnya tak berkembang maksimal."
Yang patut diingat, hindari pemaksaan dalam bentuk apa pun. "Gara-gara pengen anaknya jadi dokter, orang tua memaksakan kehendaknya sementara si anak justru berbakat di bidang seni. Bisa saja, usaha orang tua berhasil, namun dikhawatirkan tak optimal. Misalnya, anak jadi tak peka akan kebutuhan dan kondisi pasien, saat ia jadi dokter kelak."
Sungguh tidak manusiawi dan tidak menghargai individu bila orang tua memaksakan kehendaknya terhadap anak. "Kalau anak memang punya minat dan bakat di bidang nonformal semisal jadi pelukis, penyanyi, ahli tanaman, atau ahli boga, mengapa tidak? Biarkan anak tumbuh dengan sendirinya. Tentu saja orang tua tetap berkewajiban mengarahkan agar yang dilakukan anak bisa teraih secara maksimal."
JAMINAN SUKSES?
Seseorang yang memiliki bakat dalam profesinya, rata-rata lebih sukses dibanding rekan seprofesi yang sebenarnya tidak berbakat. Seorang musisi, contohnya, akan lebih sukses bereksplorasi jika dalam jiwanya ada bakat yang dikembangkan secara maksimal. Kendati begitu, Vitriani tidak mengingkari pendapat bahwa bakat cuma 10 persen memenuhi dukungan bagi kesuksesan seseorang. "Mayoritas sisanya merupakan usaha dan kerja keras selain faktor keberuntungan. Jadi, tanpa dibarengi usaha dan kerja keras, bakat pun akan percuma. Jangankan meraih kesuksesan, bakat itu sendiri belum tentu keluar karena mungkin saja malah terpendam."
Sebaliknya, bakat yang kecil jika dilatih dan diarahkan dengan baik, akan lebih berkembang dibandingkan bakat besar yang tidak terstimulasi dengan baik. "Tentu saja kapasitas maksimal orang tanpa bakat, tidak setinggi orang yang memiliki bakat bawaan sejak lahir," kata Vitriani. Oleh karena itu, kembangkan bakat anak sejak dini. Jangan tunggu sampai ia menjadi remaja, karena hasilnya tidak akan seoptimal bakat yang distimulasi sejak usia dini.
(tabloid-nakita)
Langganan:
Postingan (Atom)