AJARI ANAK MENATA LEMARINYA SENDIRI
Pernah lihat anak SD bahkan SLTP tak bisa menata pakaiannya? Lemarinya luar biasa amburadul. Kaos ditumpuk dengan celana dalam, seragam sekolah, bahkan baju tidur. Ibu pun jadi ngomel, "Sudah besar, nata lemari saja enggak bisa!" Padahal, seperti diutarakan psikolog Yunita P. Sakul, keterampilan menata lemari sudah bisa diajarkan pada anak usia 3-5 tahun. "Termasuk diarahkan menjaga kebersihan dan kerapiannya. Kalau tak diajari sejak dini, mungkin saja sampai besar pun ia tak bisa."
Karena itu, saran Yunita, sebaiknya anak prasekolah sudah diberi lemari sendiri kendati orang tua umumnya belum merasa perlu. "Paling cuma diacak-acak. Anak kecil mana bisa dikasih tanggung jawab?" Jelas, pendapat ini keliru. Dengan memberi si kecil lemari sendiri, kita bisa mengajarkan tanggung jawab dan kerapian. "Bahkan dengan melibatkannya seperti itu, ia akan hati-hati saat mengambil pakaian karena sadar akan konsekuensinya. Kalau main comot saja dan berantakan, kan, dia sendiri juga yang harus merapikan kembali."
Namun mengingat kemampuan kognitifnya yang masih terbatas, orang tua bisa membantunya membuatkan klasifikasi untuk aneka jenis barangnya. Misalnya, di rak paling bawah, tempel gambar kaus kaki yang berarti tempat menaruh kaus kaki. Lalu rak berikut diberi tempelan gambar baju dan celana dan seterusnya. "Dengan demikian, anak tak bingung mencari kaus kaki atau bajunya." Kendati sudah diajarkan mandiri, keterlibatan orang tua tetap diperlukan mengingat kemampuan anak yang belum optimal.
LAKUKAN BERTAHAP
Cara mengajarkannya juga dilakukan secara bertahap. Usai pakaian disetrika rapi, ajak anak memasukkannya ke dalam lemari. Lakukan sambil bermain agar menyenangkan. Misalnya, sambil memasukkan ke lemari pakaiannya, tanyakan, "Ini apa? Betul, kaus kaki. Apa warnanya? Nah, sekarang kita taruh di tempatnya. Mana yang gambarnya kaus kaki? Ya, betul di situ. Pandai sekali anak Ibu!" Besok-besok, minta ia melakukannya sambil tetap diawasi. Jika ia salah menempatkan, arahkan, "Lo, kok, topi ditaruh di tempat kaus kaki? Salah, dong." Jika sudah benar, jangan lupa beri pujian.
Ajarkan pula cara mengambil baju dengan benar. Misalnya, apa yang harus dilakukannya jika mau mengambil celana pendek yang terletak di tengah-tengah tumpukan.
Dengan cara bertahap dan sambil bermain, anak merasa senang dan tak terpaksa melakukannya. Lain, kan, reaksi anak jika kita langsung menyuruh dengan nada perintah atau memaksanya? Anak justru merasa terbebani dan menganggap aktivitas itu sebagai suatu hal yang membosankan.
Yang juga diperhatikan, bentuk lemari harus sesuai dengan kondisi tubuh dan tinggi anak. "Kalau kelewat tinggi dan anak harus naik kursi atau tangga, justru bahaya baginya." Jelaskan pula, fungsi lemari pakaian hanya untuk menaruh pakaian dan perlengkapan busana lain, bukan untuk menyimpan mainan atau barang lain. Jika ia, misalnya, menaruh permen, katakan, "Tempatnya bukan di sini, dong. Nanti kalau permennya lumer, baju dan topimu bisa kotor dan dirubung semut."
DAMPAK POSITIF
Ternyata banyak manfaat positif yang didapat anak dari kegiatan dan keterampilan ini. Antara lain,
* Klasifikasi
Anak belajar mengklasifikasikan barang-barangnya secara tertib dan teratur. "Kebiasaan ini kelak akan tertanam dalam diri anak hingga beranjak dewasa."
* Melatih Motorik
Motorik kasar, misalnya aktivitas membawa pakaian sambil berlari ke lemari dan meletakkan bajunya dengan benar. Sedangkan motorik halus dilatih dengan cara bagaimana ia menarik pintu lemari atau membuka kunci lemari.
* Disiplin & Mandiri
Anak juga diasah kedisiplinan dan kemandiriannya. Sehabis mandi, misalnya, orang tua bisa menyuruh anak untuk mengambil baju sendiri di lemarinya atau sehabis bajunya rapi disetrika, diminta meletakkannya di lemari. "Anak tahu itu tugasnya. Bukan tugas pengasuh, juga bukan tugas ibu."
* Menghargai kepemilikan
Ia menghargai miliknya, milik kakak, orang tua, dan sebagainya. Ia pun tak mau mengacak-acak isi lemari milik orah lain.
* Menjalin kedekatan
Mengajarnya sambil bermain, berarti sekaligus menjalin kedekatan hubungan ibu-anak.
Sediakan 3 Lemari
Sebaiknya mainan, pakaian, dan bacaan disimpan dalam lemari terpisah. Letaknya juga harus diatur sedemikian rupa, misal lemari pakaian di kamar, sedangkan lemari mainan dan bacaan diletakkan di ruang keluarga. Berikan anak tanggung jawab untuk mengatur barang-barangnya sesuai jenisnya masing-masing.
Walaupun demikian, semuanya tetap harus disesuaikan dengan kebutuhan anak dan kemampuan orang tua, misal jika buku-buku atau mainannya tidak terlalu banyak, maka mainan dan buku bisa disatukan dalam sebuah lemari, hanya dalam rak yang berbeda.
Memilih & Mengatur Lemari Anak
1. Jangan membuat laci-laci yang sulit dibuka. Lemari berkunci juga tidak disarankan. Lebih baik pilih pintu lemari yang dapat sekali dibuka tapi anak bisa mengambil barang dari rak-rak tersebut. Bisa juga pintu lemarinya terbuat dari kain supaya mudah dibuka tutup, karena motorik halus di usia di usia prasekolah masih belum berkembang.
2. Carilah bentuk lemari yang sederhana, jangan yang terlalu mewah seperti lemari berukir, yang akan ditempeli banyak debu di lekuk-lekuk ukirannya.
3. Sesuaikan tinggi lemari dengan tinggi anak sehingga barang-barang di dalamnya mudah dijangkau.
4. Gunakan warna-warni yang cerah sehingga anak tertarik. Lebih bagus bila anak ditanya juga tentang warna pilihannya. Tentunya tetap dalam pengarahan orang tua agar warna lemari tetap terlihat indah.
5. Bisa digunakan hanger (gantungan) kecil yang sesuai dengan tangan anak.
6. Sebaiknya jangan lengkapi lemari dengan cermin, baik terpisah maupun terpasang di lemari, karena dikhawatirkan bisa pecah secara tidak sengaja oleh anak dan pecahannya akan melukai anak.
7. Jangan campurkan barang-barang yang mudah rusak, seperti CD atau VCD ke dalam lemari, karena khawatir patah atau tergores.
8. Biarkan anak menghiasi lemarinya dengan pernak-pernik yang mereka sukai, seperti gambar bunga atau stiker pahlawan kartun favorit mereka, asalkan jangan dicoret-coret.
tabloid-nakita
Anakpun perlu belajar ASERTIF
Dika (5), sebut saja namanya demikian, dengan muka merah dan terisak-isak menghampiri ibunya. Dia mengatakan baru saja mainannya direbut sang teman. Bukan kali ini saja Dika mengalami hal tersebut, beberapa hari lalu, ia juga menangis meraung-raung karena ledekan teman-temannya. Ibunya terheran-heran, mengapa sang anak begitu mudahnya terpedaya.
Lain halnya dengan Reni (4), ia sepertinya tak mau lepas dari sang ibu. Saat belanja di mal, ia menyerahkan pilihan bajunya kepada sang ibu. Begitu juga dengan menu makanan sehari-hari di rumah. Ia sepertinya tidak punya makanan atau baju favorit.
Henny E. Wirawan, Psi. M.Hum., menjelaskan, Dika dan Reni merupakan dua sosok anak yang belum bisa bersikap asertif. Hal itu terlihat dari ketidakmampuan mereka dalam mengungkapkan sesuatu yang disukai dan tidak disukai secara terus terang kepada orang lain. Mereka juga tidak bisa melepaskan ketergantungannya kepada orang lain.
APAKAH ASERTIF?
Lebih lanjut, psikolog dari Universitas Tarumanagara, Jakarta ini menjelaskan, sikap asertif merupakan sikap berani untuk mengungkapkan dan mempertahankan hak atau kepentingannya, tanpa merugikan atau menyakiti orang lain. Jadi, sikap asertif adalah sikap yang terletak di antara dua sisi, yaitu pasif dan agresif.
Yang dimaksud sikap pasif adalah sikap diam anak, anak pasrah apa yang terjadi terhadapnya. Dia tidak bisa berbuat apa-apa saat orang lain memperdayainya. Sementara sikap agresif yaitu sikap yang ditandai oleh keinginan anak untuk menyerang atau mengganggu anak lain. Setiap kali melihat mainan orang lain, dia langsung ingin merebut, misalnya. Nah, dalam hal ini, sikap asertif terletak di tengah-tengah kedua sikap itu. Anak tidak berdiam diri saat dirugikan atau diberi sesuatu yang tak sesuai keinginannya, tapi juga tidak menyerang orang lain. Tegasnya, win-win solution. Masing-masing merasa diuntungkan.
Untuk bersikap asertif, anak mesti memiliki kemampuan berkomunikasi yang baik. Itulah mengapa, di usia prasekolah anak-anak sudah bisa dikenalkan dengan sikap ini, karena kemampuan berbahasa mereka sudah berkembang dengan baik, disamping perbendaharaan kosakata yang sudah semakin kaya. Hal ini berbeda dengan anak-anak batita yang belum bisa menyampaikan dan mengungkapkan keinginannya secara jelas.
Sikap asertif ini juga berkaitan erat dengan kemandirian anak. Anak yang mandiri biasanya tidak terlalu mengandalkan orang lain. Ia sudah bisa menentukan apa-apa yang disukainya dan yang tidak, atau dengan kata lain, ia sudah bisa mengekspresikan sesuatu yang tidak diinginkannya lewat kata-kata. Pandangan terhadap dirinya juga positif. Pada anak-anak balita ditandai dengan sifat otonomi, yang berarti aku bisa melakukannya sendiri.
Sementara anak yang kurang mandiri biasanya selalu merengek-rengek meminta bantuan dan pertolongan orang lain. Ia tidak bisa melakukan segala sesuatunya sendirian. Saat jam makan tiba, misalnya, dia harus disuapi. Tidak hanya menyangkut masalah-masalah fisik saja, tapi juga masalah-masalah psikis, seperti tanggung jawab dan kepercayaan diri. Anak-anak kurang mandiri biasanya memiliki rasa percaya diri yang juga kecil. Itulah sebabnya, anak harus diasah kemampuannya untuk mengerjakan segala sesuatu sendiri.
Sayangnya, pola asuh yang salah seringkali tidak memberi kesempatan anak untuk bersikap mandiri. Sebetulnya, sikap orang tua yang selalu mendikte, menganggap anak tidak tahu apa-apa, juga selalu memenuhi kebutuhan anak tanpa menanyakannya terlebih dahulu kepada yang bersangkutan, merupakan sikap-sikap yang bisa menghambat kemandirian anak.
Akibatnya, anak pun keenakan dan akhirnya selalu minta dilayani orang tua. Sementara orang tua sendiri secara tidak sadar terus-menerus memenuhi keinginan anaknya. Dampaknya, anak menjadi tidak percaya diri terhadap apa yang dilakukannya. Saat orang tua menanyakan baju apa yang mau dibeli atau anak mau makanan apa, maka anak hanya menjawab pendek, "Terserah, deh." Atau "Yang mana saja boleh."
Memang, saat berada di rumah, ketidakmampuan anak untuk bersikap asertif tidaklah menimbulkan masalah, tapi saat anak harus ke luar rumah dan bergaul dengan teman-teman sebayanya, barulah timbul masalah. Bagi anak-anak yang kurang mandiri, saat-saat ia harus menentukan sendiri suatu keputusan sementara orang-orang terdekatnya tidak ada di tempat, rasanya bagaikan suatu siksaan. "Anak juga akan kebingungan bagaimana kalau ada anak yang menyakiti, ke mana ia harus mengadu?" Akibatnya, anak mudah dijadikan korban oleh teman-temannya. Bukan tidak mungkin anak akan minder dan enggan bergaul, bahkan enggan bersekolah bersama teman-teman lainnya.
BERDAMPAK HINGGA DEWASA
Sikap kurang mandiri dan tidak bersikap asertif ini tidak hanya kita temukan pada anak-anak saja, lo, tapi juga pada orang dewasa. Banyak sekali orang dewasa yang tidak bisa mengungkapkan keinginannya, padahal dirinya sendiri dirugikan. Misalnya, saat dia memesan baju yang tidak disukainya, maka dia tidak mengembalikan baju itu dan menggantinya dengan pilihannya. Dia hanya berkata, "Sudah, deh, diambil saja daripada ribut." Atau, "Enggak enak, ah, nanti dia marah lagi."
Padahal, sikapnya itu secara tidak sadar telah merugikan dirinya sendiri. Sebab, ia bisa mengutarakan keinginannya secara baik-baik tanpa harus menyinggung orang yang membuat baju itu. "Kata-kata 'enggak enak, ah; biarin saja; aduh kasihan; ataupun nanti tersinggung, merupakan kata-kata yang cenderung mengalah alias tidak asertif."
Nah, sikap tidak asertif ini bisa jadi lanjutan dari masa kanak-kanaknya. Bila hingga dewasa ia tidak bisa asertif pula, maka kepada pasangan di dalam rumah tangga atau kepada rekan kerjanya di kantor pun ia tak bakalan bisa asertif.
DIDIK ANAK AGAR MANDIRI
Itulah mengapa, saran Henny, bila ingin anak bisa bersikap asertif, maka anak harus dididik mandiri. Untuk itu ada hal-hal yang harus dilakukan dan tak boleh dilakukan orang tua.
* Hal-hal yang harus dilakukan orang tua:
1. Biarkan Anak Mengerjakan Sendiri
Caranya dengan membiarkan anak mengerjakan pekerjaan ringan tanpa bantuan orang tua, seperti memakai baju sekolah atau sepatu sendiri. Dengan begitu, anak akan terlepas dari ketergantungan pada orang tua, selain juga mengasah kepercayaan dirinya.
2. Hilangkan Rasa Kasihan
Banyak orang tua yang merasa kasihan melihat anaknya bersusah payah menalikan sepatu atau juga melihat anaknya makan belepotan, yang kemudian memberikan bantuannya. Padahal, sikap kasihan orang tua membuat
ketergantungan pada diri anak. Atau, ada juga orang tua yang seharian sibuk bekerja sehingga pada saat ada kesempatan bertemu dengan anaknya langsung memberikan bantuan habis-habisan kepada si anak.
3. Libatkan dalam Pengambilan Keputusan
Saat hendak membeli barang atau mainan si kecil, tidak ada salahnya orang tua melibatkan anak dalam pemilihan keputusan. Seperti saat hendak membeli mainan mobil-mobilan, maka orang tua bisa menanyakan kepada anak, model, warna dan jenis yang disukai anaknya. Meski begitu, orang tua juga memiliki hak untuk menanyakan kepada anak, mengapa ia memilih mainan tersebut. Jika suatu saat pilihan anak keliru, misal memilih mainan yang gampang rusak, maka anak mesti bertanggung jawab atas pilihannya. Jadikan hal itu menjadi pengalaman berharga. Cara ini bisa membuat anak merasa dihargai.
4. Ajarkan Anak Untuk mengungkapkan Emosinya
Biarkan anak mengungkapkan sesuatu yang disukainya dengan perasaan senang dan gembira. Selain juga anak mesti bisa mengungkapkan emosi negatifnya, seperti marah dan kesal. Asal, ungkapan emosi itu dilakukan sesuai dengan tempatnya. Cara ini bisa membuat anak bisa mengekspresikan ketidaksukaannya kepada orang lain, misal saat mainannya direbut, anak bisa mengatakan, "Kembalikan mainan saya, saya tidak suka kamu berbuat seperti itu."
5. Hargai Kepentingan Diri Sendiri
Banyak anak yang merasa tidak enak kepada teman-temannya, sehingga ia pun selalu merasa harus berbagi. Tentu di satu sisi, sikap mau berbagi ini bagus, tetapi di satu sisi juga bisa saja merugikan dirinya sendiri, seperti membagikan semua kuenya kepada anak-anak lain sementara dia sendiri tidak kebagian. Atau, ia tidak kuasa menolak keinginan teman-temannya bermain, padahal dia sedang dalam keadaan sakit. Di sini orang tua perlu menjelaskan kepada anak agar mencintai kepentingan atau hak miliknya sendiri. Jangan sampai mengorbankan diri sendiri terus demi orang lain.
6. Dilatih Berkomunikasi
Anak-anak mesti dilatih untuk berkomunikasi, mengatakan sesuatu yang disukai atau tidak disukainya. Saat pulang sekolah, tidak ada salahnya jika orang tua menanyakan pengalaman anak di sekolah. Jika anak berkata, "Mainan saya direbut, tapi saya diam saja." Maka orang tua bisa berkata, "Mengapa kamu diam, kamu bisa mengatakan tidak suka kepada temanmu itu."
7. Anak Baik
Banyak persepsi yang salah dari orang tua tentang anak yang baik. Orang tua menganggap anak yang baik adalah anak yang selalu tenang dan diam saat menghadapi masalah. Padahal, anak yang baik adalah anak yang percaya diri dan bisa mengungkapkan keinginannya dengan baik.
* Hal-hal yang sebaiknya tidak dilakukan orang tua, di antaranya:
1. Mendikte
Dikte membuat rasa percaya diri anak menjadi lemah, sebab ia tidak mau susah-susah berbuat sesuatu. Toh, orang tuanya akan menyediakan dan memberikan bantuan untuknya. Dengan alasan waktu, orang tua cenderung memilihkan sesuatu buat anaknya. Akibatnya, saat orang tua tidak ada di dekatnya, anak akan kehilangan kepercayaan diri. Saat ditanya apa maunya, ia akan berkata, "Tidak tahu."
2. Sikap Otoriter
Pola asuh yang otoriter membuat anak-anak tertekan dan tidak bisa mengekspresikan kemauannya. Ia cenderung menjadi penakut. Itulah mengapa, saat sang teman merebut mainan miliknya, ia akan cenderung berdiam diri.
3. Tertutup
Orang tua yang senantiasa tertutup, membuat anak-anak juga sulit mengungkapkan emosinya, terutama emosi negatifnya. Apalagi jika orang tua sering berkata, "Ayo, anak Mama, enggak boleh marah-marah, lo." Dampaknya, anak menganggap emosi negatif adalah sesuatu yang sangat buruk. Akibatnya dalam situasi yang tepat untuk mengungkapkan emosinya pun, anak tidak bisa berbuat apa-apa.
4. Membantu Berlebihan
Menganggap anak sesosok makhluk lemah yang tidak berdaya dan tidak berbuat apa-apa membuatnya tidak percaya diri. Ia juga akan selalu menggantungkan segala sesuatunya kepada orang tua. Bukan tidak mungkin lagi anak akan tetap meminta bantuan orang tua meski dirinya mampu mengerjakan hal itu sendirian.
5. Jangan Beri Pujian Bagi Si Pasif
Banyak orang tua yang memberi pujian kepada anak-anak yang tenang dan pasif. Padahal itu bisa membuat anak tak berdaya. Sebaliknya, anak yang aktif justru menjadi bulan-bulanan kemarahan orang tua.
PERLU KESIAPAN ORANG TUA
Tentu saja, agar tak kebablasan, orang tua juga perlu memberikan rambu-rambu sikap asertif kepada anak. Pertama, harus ditekankan sikap asertif janganlah merugikan atau menyakiti perasaan orang lain. Misal, saat anak diberi hadiah ulang tahun oleh orang lain, sementara hadiah tersebut tidak disukainya, anak hendaknya tidak mengatakan, "Hadiah ini jelek, aku tidak suka."
Juga apa yang hendak disampaikan hendaknya diucapkan dengan kata-kata yang sopan, dan tidak mengumbar ketidaksukaan dengan kata-kata kasar. Saat si teman mengucapkan kata-kata kasar, alangkah baiknya jika dibalas dengan mengatakan, "Aku tidak suka kata-kata kasar itu," atau, "Aku enggak mau main bersamamu lagi."
Sikap asertif juga harus dijauhkan dari sikap ego anak, saat anak sedang bermain game dan orang tua menyuruh belajar, lalu si anak menolak karena tanggung, maka hal demikian bukan asertif yang positif. Demikian juga saat anak memilih baju yang sangat mahal di luar kemampuan orang tuanya, itu bukan sikap asertif karena merugikan orang lain.
Nah, meski sudah bisa dikenalkan dengan sikap asertif, imbuh Henny, orang tua tidak bisa sepenuhnya mengharapkan anaknya langsung bersikap asertif. Sebab, anak-anak usia prasekolah masih belum sepenuhnya bisa mengungkapkan keinginannya dengan tegas, terlebih jika orang yang dihadapinya adalah orang-orang yang lebih tua atau orang dewasa. "Di sini, kesigapan orang tua untuk memupuk kepercayaan diri anak sangat diperlukan. Dalam situasi dan kondisi apa pun anak diajarkan untuk bersikap asertif."
Selain itu, sikap asertif juga memerlukan kesiapan mental orang tua. Seringkali orang tua kaget dan terkejut saat anaknya bersikap asertif. Misalnya, anak tiba-tiba mengkritik kebiasaan bapaknya merokok atau bangun di siang hari, atau menghadapi anak yang ogah kala disuruh karena sedang asyik belajar bersama teman-temannya. Sikap anak tersebut seringkali oleh orang tuanya bukannya dinilai positif, melainkan negatif. Anak-anak dicap pembangkang oleh orang tuanya, padahal justru itulah sikap asertif.
Selain itu, ada nilai-nilai yang dianut masyarakat kita, dimana sikap mengalah dan selalu mementingkan kepentingan orang lain menjadi yang utama. Nilai ini, terus terang saja, sangat tidak mendukung pemupukan sikap asertif. Nilai-nilai moral tersebut akan membuat anak cenderung bersikap altruist, yaitu sikap mementingkan orang lain, sementara dirinya sendiri sangat dirugikan. Jadi, pandai-pandailah memberi pandangan kepada anak, kapan kita perlu bersikap mengalah dan kapan mesti mempertahankan kepentingan pribadi.
LANGKAH MENJADI ASERTIF
1. Usahakan anak bisa mengekspresikan ketidaksukaannya, seperti, "Saya tidak suka itu, ....", "Saya akan marah...", "Kamu enggak boleh begitu", "Saya minta ganti..." Demikian juga tentang kesukaannya, "Saya ingin baju yang...", "Saya suka dengan...", "Aku mau yang..."
2. Beri pujian atas perilaku asertifnya, katakan kepada anak, "Saya senang kamu bisa mengatakan ketidaksukaan kepada teman yang sering merebut mainanmu."
3. Dorong anak untuk bisa mengutarakan sikap asertifnya kepada orang terdekatnya jika memang ia terdesak, seperti, "Ibu guru, mainan saya direbut oleh si Adi. Saya enggak suka mainan saya direbut." Hal ini dilakukan jika teman yang merebutnya memang tidak mau mengalah.
4. Anak diberitahu agar jangan balas sikap agresif dengan sikap agresif lagi. Lebih baik ajarkan kepada anak agar belajar bertahan daripada menyerang. Mungkin dengan belajar beladiri supaya bisa menangkis serangan lawan ketimbang menyerang. Ajarkan untuk mengutamakan otak daripada otot.
(tabloid-nakita)
Adakah waktu bagi anak untuk melanggar disiplin ?
Terus terang saja, bagi banyak orang tua, Lebaran menyimpan kekhawatiran tersendiri. Soalnya, bakal banyak pelanggaran disiplin yang dilakukan anak-anak di tengah perayaan hari raya tersebut. Di antaranya sikap yang cenderung menghambur-hamburkan uang, makan makanan yang dipantang, dan main tak kenal tempat dan waktu. Kekhawatiran ini bisa dimaklumi karena membenahi soal disiplin di kemudian hari bukan perkara mudah.
Fanny, Psi., dari Essa Consulting Group, menegaskan ada beberapa faktor yang memunculkan pelanggaran-pelanggaran tersebut. Salah satunya adalah karena suasana Lebaran memang spesial dibanding hari-hari lainnya. Belum lagi pertemuan dengan saudara-saudara dekat yang mungkin sudah cukup lama tak pernah jumpa. Pertemuan inilah yang memberi peluang pada anak untuk meniru sikap dan perilaku kurang baik dari kerabatnya.
Fanny mengingatkan adanya beberapa hal yang perlu diperhatikan kala anak melanggar disiplin. Salah satunya perbedaan nilai dan aturan yang dianut masing-masing keluarga. Contohnya, ada keluarga yang mengharuskan penggunaan sendok dan garpu saat makan, sedangkan keluarga lainnya menganggap penggunaan tangan lebih nyaman. Itulah mengapa orang tua harus memandang perbedaan aturan secara bijak.
Namun menurut Fanny, orang tua tak perlu kelewat khawatir bahwa pelanggaran semacam ini akan bersifat menetap. Apalagi di usia prasekolah, anak masih begitu mudah menyerap dan meniru semua sikap dan perilaku temannya. Hanya saja proses peniruan ini umumnya tidak bertahan lama asalkan orang tua tetap konsisten pada pola aturan yang diterapkan di rumah.
ANEKA BENTUK PELANGGARAN
* Mengonsumsi makanan yang dipantang
Lebaran identik dengan tersajinya aneka makanan lezat dan minuman penggugah selera. Belum lagi penataannya yang memang terkesan istimewa. Masalahnya, ada anak yang karena mengidap alergi atau suatu penyakit diharuskan berpantang terhadap makanan tertentu. Namun, kurang bijak rasanya bila orang tua menerapkan aturan secara kaku selagi semua orang bersenang-senang merayakan hari istimewa ini. Anak pun berhak menemukan kesenangan, termasuk menyantap makanan lezat. Nah, agar tak merusak suasana sementara kondisi anak juga tidak terganggu, orang tua perlu mengambil jalan tengah untuk menyiasatinya.
- Jangan biarkan anak mencicipi semua makanan sesukanya sampai kekenyangan.
- Batasi dengan mengambilkan porsi makanan sesuai "ukuran" perut anak.
- Untuk cake, cukup ambilkan seiris kecil saja. Begitu juga dengan minuman, terutama jenis yang bersoda. Berikan dalam gelas kecil saja.
- Khusus untuk anak yang menderita penyakit serius dan diwajibkan pantang makanan tertentu, sebaiknya orang tua membawakan makanan tersendiri dari rumah. Agar anak tak merasa aneh, usahakan tampilan makanannya mirip dengan makanan yang disajikan.
- Terhadap anak-anak khusus seperti ini, orang tua tetap mesti memberi penjelasan. "Kamu kan diabetes, makanya kamu enggak boleh makan kue-kue manis terlalu banyak," misalnya.
* Boros dan jajan sembarangan
Bagi anak, Lebaran jadi lebih terasa istimewa karena di hari ini mereka umumnya panen alias mendapat banyak salam tempel dari orang-orang yang dituakan. Mendapat uang secara instan dalam jumlah yang cukup besar biasanya membuat anak jadi cenderung boros. Apalagi anak tahu itu bukan uang saku dan ia merasa berhak penuh untuk berbelanja sesukanya.
- Rem perilaku borosnya. Sampaikan bahwa meski berhak menikmati uang jajan lebih dari biasanya, tidak berarti ia boleh menghabiskan uangnya saat itu juga.
- Ingatkan anak untuk tetap menggunakan skala prioritas kebutuhan untuk menentukan mana jajanan dan mainan yang memang layak dibeli dan mana pula yang tidak.
- Mintalah anak untuk menyisihkan sebagian uang amplopnya untuk ditabung. Mau tidak mau orang tua harus langsung turun tangan. Namun agar anak tidak merasa uangnya dirampas, orang tua pun mesti konsisten dengan janjinya untuk menyimpankan sebagian uang tersebut. Jadi, ya jangan dipakai untuk selain kebutuhan anak.
- Tetap arahkan anak untuk tidak jajan sembarangan dengan selalu mengutamakan jajanan yang benar-benar bersih dan menyehatkan.
* Mendadak nakal dan agresif
Hampir setiap keluarga punya kebiasaan untuk mengunjungi sosok yang dituakan. Tak heran kalau ajang silaturahmi tersebut berubah jadi pesta reuni keluarga besar, termasuk mereka yang tinggal di luar kota.
Berkumpulnya anak-anak sebaya dari berbagai latar belakang keluarga dan daerah tempat tinggal ini tak jarang menimbulkan masalah tersendiri. Yang pasti sangat mungkin terjadi peniruan sifat oleh anak yang satu terhadap anak lainnya. Termasuk beberapa kebiasaan baru yang boleh jadi tidak berkenan bagi keluarga inti si anak. Semisal kebiasaan ngomong jorok, bicara dengan nada keras, dan agresif.
- Apa pun penyebabnya, orang tua tetap harus mengarahkan anak bertutur santun dan sopan.
- Jangan pernah menunda untuk menegurnya. Lakukan saat itu juga, saat si prasekolah kedapatan berkata kasar atau jorok.
- Hal yang sama juga berlaku bila anak mendadak menunjukkan beberapa sikap dan perilaku negatif gara-gara meniru sepupunya.
- Jangan kaget bila usai Lebaran anak jadi lebih aktif daripada biasanya. Bukan tidak mungkin, anak jadi senang melakukan hal-hal yang belum pernah dilakukannya, seperti berjingkrak-jingkrak di atas kursi, lompat dari atas pohon, berguling-guling di taman, atau saling melempar makanan dengan saudaranya.
- Selama perilaku ini dianggap tidak mengganggu dan membahayakan, biarkan saja. Namun kalau sudah kelewatan, kebiasaan ini mesti langsung diluruskan. Tentu dengan mengatakan alasan logis. Contohnya, "Kamu enggak boleh teriak-teriak karena nenek sedang tidur."
- Selain itu, sediakan tempat alternatif bermain agar anak tidak kecewa dan tetap bisa menyalurkan energinya lewat bermain.
* Terlalu lama nonton teve
Yang juga kerap terjadi, pembatasan jam nonton teve jadi terabaikan. Kalau di rumah di hari-hari biasa anak hanya dibolehkan nonton 1-2 jam sehari, kini di hari Lebaran bisa-bisa anak melotot di depan layar kaca selama berjam-jam, bahkan tak jarang sampai larut malam bersama para sepupunya. Belum lagi batasan mengenai objek yang boleh ditonton maupun tidak. Tentu saja aturan yang sudah baik harus kembali dipatuhi.
- Bersikaplah lebih longgar. Biarkan sesekali anak nonton lebih lama dari biasanya. Namun, tetap perhatikan jam tidur dan jam makannya agar jangan sampai terlewat yang bisa memicu anak jadi rewel atau malah jatuh sakit.
- Bersikap longgar di hari raya tidak berarti membebaskan anak nonton tayangan apa saja yang bukan diperuntukkan bagi anak seusianya. Artinya, orang tua tetap melakukan seleksi acara ataupun film yang akan ditonton anak.
- Supaya anak tidak terus-menerus memelototi teve, carikan alternatif kegiatan yang bisa mengasah kecakapan fisiknya, seperti bermain bola, lompat tali, petak umpet dan sebagainya.
* Tidur larut malam
Salah satu kebiasaan yang paling sering dilanggar adalah jam tidur yang mundur jadi semakin larut. Banyaknya anak sebaya pasti membuat betah bermain lama-lama.
- Agar jam tidur anak tidak terganggu, orang tua mesti pandai-pandai bernegosiasi kapan anak harus tidur.
- Meski sah-sah saja memberi kelonggaran kepada anak, tapi jangan biarkan ia tidur terlalu larut. Terlambat tidur bisa mengganggu aktivitas keesokan harinya. Kelonggaran cukup diberikan 1-2 jam dari jadwal biasanya.
- Perhatikan juga kondisi fisik si prasekolah. Jika terlihat lelah dan mengantuk, meski ada kelonggaran, tak ada salahnya orang tua meminta anak untuk segera tidur.
- Negosiasi ini juga mesti melibatkan dan dipatuhi semua anak seusianya. Jangan sampai kesepakatan tersebut jadi sia-sia. Soalnya, kecil kemungkinan si prasekolah bisa tidur jika anak-anak lainnya tetap asyik bermain.
(tabloid-anak)
STOP 7 KESALAHAN AGAR ANAK TERAMPIL DAN MANDIRI
MEMAKSA ANAK MENGHENTIKAN AKTIVITASNYA
Di usia prasekolah, anak mulai menggemari kegiatan mengasyikkan yang terfokus pada dirinya. Contoh, asyik menonton televisi atau asyik mengutak-utik hobinya semisal menggambar. Saking asyiknya, si anak sampai "lupa" waktu: waktu untuk makan, tidur, mandi, dan lainnya. Di sisi lain, anak usia prasekolah memang belum paham mengenai konsep waktu sehingga masih perlu diingatkan. Ia pun sedang dalam tahap belajar menyesuaikan diri dengan aturan dan tuntutan yang ada di lingkungannya.
Sayangnya, banyak orang tua tak paham akan hal ini. Hingga yang kerap terjadi, umumnya orang tua malah akan menyuruh anak untuk menghentikan keasyikannya itu, "Kakak, ayo, menggambarnya udahan. Sekarang waktunya mandi!" Jika si anak menolak, "Sebentar, Ma, dikit lagi, nih!", orang tua pun memaksa, "Tidak! Sekarang sudah waktunya mandi, jadi kamu harus mandi!" Padahal, sikap orang tua yang demikian hanya akan membuat anak jadi tak punya otoritas terhadap diri sendiri karena anak tak punya kemampuan memutuskan sendiri apa yang menjadi prioritasnya. Di masa depan, tentu sulit bila anak tak punya kemampuan memutuskan apa yang penting dan menjadi prioritas hidupnya.
TINDAKAN YANG BENAR:
Selama ini, memang orang tualah yang selalu membuatkan jadwal untuk anak. Misal, jadwal mandi, makan dan tidur. Mengapa tidak memberi mereka kesempatan pada anak untuk mengatur sendiri jadwalnya? Jikapun anak masih melakukan aktivitas lain sehingga melanggar jadwal yang dibuatnya, orang tua dapat memberinya pengertian, "Kak, sekarang, kan, sudah jam 5. Ayo, jadwal Kakak, kan, jam 5 Mandi. Itu angkanya sudah jam 5, berarti kakak harus mandi." Bila mereka masih ingin mengulur waktu, berikan tenggang yang tak terlalu lama, "Oke, Mama kasih waktu 10 menit lagi, ya. Kalau jarum panjang ini sudah sampai di angka 2 (pukul 5 lebih 10), berarti Kakak harus berhenti menggambar, lalu mandi. Kalau ditunda lagi nanti kemalaman."
Beri juga pengertian, pentingnya menepati jadwal yang sudah dibuat sendiri. Tentu orang tua juga tak boleh terlalu saklek. Bila hari libur, jadwal anak boleh lebih santai. Sebaliknya, bila anak harus les atau diajak pergi, terangkan lebih awal bahwa jadwalnya "terpaksa" berubah. Contoh, "Kak, hari ini mandi sorenya jam 4, ya, karena Kakak akan Ibu ajak pergi."
MENYUAPI MAKAN
Banyak orang tua masih kerap menyuapi anaknya makan. Umumnya supaya si anak mau makan. Apalagi di usia prasekolah, kalau sedang asyik menekuni sesuatu kegiatan, anak bisa sampai lupa waktu. Nah, daripada si anak tertunda waktu makannya, maka orang tua pun menyuapinya sambil si anak tetap asyik dengan aktivitasnya itu.
Padahal, jika anak tak dibiasakan makan sendiri, bisa-bisa sampai di akhir usia prasekolah pun, si anak belum terampil makan sendiri. Padahal, di usia 5 tahun harusnya anak sudah bisa makan sendiri, bahkan memotong makanan dengan pisau.
Selain itu, dengan orang tua terbiasa menyuapi anaknya makan, anak jadi tak mandiri. Bisa-bisa, mereka hanya mau makan bila disuapi oleh ibu atau pengasuh. Nah, bila kebetulan ibu pergi atau si pengasuh repot, tentu mereka tidak akan makan, kan?
Kesalahan ini sering juga bersumber pada anggapan, anak yang gemuk mencerminkan orang tua yang pandai merawat. Bila si anak kurus, orang tua takut dianggap tak perhatian pada anak. Itulah sebabnya, bila anak mulai ogah-ogahan makan, orang tua pun panik. Selanjutnya, acara makan seringkali menjadi ajang berantem antara orang tua dan anak, lantaran orang tua memaksa si anak untuk makan.
Padahal, gemuk-kurusnya si anak tak dapat dijadikan patokan untuk menilai "kepandaian" orang tua dalam merawat anak. Di sisi lain, tak heran bila disuruh makan, ia lantas menolak. Jika dipaksa, lambat-laun akan membuat anak mengasosiasikan acara makan sebagai suatu yang tidak menyenangkan sehingga makannya malah makin susah. Padahal, kalau saja orang tua tahu triknya, anak pasti akan makan. Yang penting kita yakin anak tidak mau makan bukan karena sakit. Cirinya, meski tak mau makan, anak tetap aktif melakukan kegiatannya.
TINDAKAN YANG BENAR:
Bila anak asyik menekuni sesuatu sampai lupa waktu makan, orang tua harus menerangkan perlunya makan. Misal, "Kalau Kakak tidak mau makan, Kakak akan sakit. Kalau Kakak sakit, nanti enggak bisa main dan ke sekolah, loh. Kan, nanti juga enggak bisa main di sekolah."
Jika anak tak mau makan tapi tetap melakukan kegiatan, berarti memang dia sedang memilih untuk menunda makannya. Tak usah memaksa, taruh saja piring makanan di sebelahnya dan minta ia makan bila sudah selesai. Atau, pada saat dia sedang asyik bermain, sediakan saja finger food/cemilan yang mudah mereka comot tanpa harus meninggalkan keasyikannya. Sebaiknya selalu sediakan cemilan sehat yang mengandung gizi cukup, semisal bakwan sayuran. Setelah mereka bilang lapar, baru sediakan nasi beserta lauk pauk lengkap.
Trik lain, saat waktu makan tiba, bila perlu kita tawarkan anak mau makan apa. Biasanya, kalau karena pilihannya sendiri, anak akan makan dengan lahap.
TIDAK MENANGGAPI AJAKAN BERKOMUNIKASI
Sering karena sedang asyik memasak di dapur atau membaca koran, kita "mengusir" anak yang ingin mengajak ngobrol. Padahal, di usia prasekolah, otak anak selalu dipenuhi keingintahuan yang maunya segera dijawab, tak peduli pada kesempatan apa pun.
Bila setiap saat anak mengeskpresikan keingintahuannya tapi tak pernah direspons dengan tepat, maka rasa ingin tahu ini lama-lama terkikis habis. Anak jadi malas bertanya, karena setiap kali bertanya, tak pernah digubris orang tuanya.
Lebih parah lagi, anak jadi apatis. Pada setiap kesempatan, dia tetap saja malas buka mulut karena tumbuh perasaan, dirinya mengganggu buat orang tua. Di lain pihak, orang tua maunya anak selalu ingin tahu dan berani mengekspresikan pikiran-pikirannya.
TINDAKAN YANG BENAR:
Harusnya, orang tua tak mematikan keingintahuan anak. Bila anak bertanya di saat kita sedang repot atau sedang tak ingin diganggu, buatlah kesepakatan dengan anak. Katakan padanya, misal, "Kak, Mama sedang repot di dapur. Bagaimana kalau lima menit lagi?" Karena anak usia prasekolah belum tahu konsep jam, gunakanlah weker. Benda ini wajib ada bila kita mulai membuat kesepakatan dengan anak berdasarkan waktu. Tunjukkan dengan weker, jam berapa (jarum pendek dan jarum panjang di angka berapa) ibu sudah bisa diganggu. Tentu ibu harus konsekuen dengan waktu yang telah disepakati.
Melalui "kesepakatan weker", anak dilatih kesabarannya tanpa kehilangan kesempatan berkomunikasi dengan orang tua. Lama-kelamaan ia pun akan belajar, kapan waktu yang tepat untuk bertanya atau mengobrol dengan orang tua. Misal, ibu tidak akan bisa ditanyai kalau sedang di dapur atau baru saja pulang kantor. Atau, ayah tak mau diganggu bila sedang baca koran. Anak juga akan belajar menghormati privasi dan kesibukan orang lain.
MELARANG TANPA MENJELASKAN
Dalam soal keselamatan, memang tak boleh ada kata kompromi. Namun yang sering terjadi, orang tua melarang tanpa memberitahu alasannya. Apalagi menerangkan fungsinya dengan benar. Contoh, anak memotong kertas dengan gunting yang biasa dipakai orang tua untuk menggunting kain. Melihat hal itu, dengan serta merta orang tua merebut gunting tersebut sambil berkata dengan nada tinggi, "Tidak boleh! Ini bukan gunting mainan!"
TINDAKAN YANG BENAR:
Sebenarnya, belajar yang paling baik adalah belajar dengan benda-benda yang riil. Pisau ataupun gunting menjadi benda berbahaya atau tidak, tergantung bagaimana kita memperkenalkannya. Kalau kita melarang anak memegang gunting tanpa menunjukkan fungsi sebenarnya, tentu menimbulkan tanda tanya pada si anak, "Mengapa, kok, aku enggak boleh main gunting?" Rasa penasaran ini akhirnya membuat anak malah menggunakan gunting tersebut untuk hal-hal berbahaya, ketika dia sedang tidak dalam pengawasan orang tua.
Ingat, di usia prasekolah, rasa ingin tahu anak sangat besar. Anak pun cenderung senang pada sesuatu yang jarang diekspos kepada mereka, seperi benda-benda tajam itu. Akibatnya, mereka jadi semakin tergoda untuk mencoba. Tetapi kalau dari awal diberi tahu, "Kak, gunting ini tajam. Ini bagian gunting yang tajam. Jadi harus hati-hati memegangnya. Kakak boleh memakai gunting ini, tetapi cara memakainya seperti ini."
Dengan orang tua menjelaskan dan memeragakannya, anak akan mengerti. Dia pun akan lebih percaya diri saat menggunakan benda tajam itu karena sudah memunyai kontrol yang bagus.
MENUNGGUI ANAK DI SEKOLAH
Ibu-ibu yang menunggui putra-putrinya di sekolah sering berdalih anaknya belum siap ditinggal. Padahal, ini seperti lingkaran setan. Setiap anak punya attachment dengan perasaan orang tuanya. Bila ibu "tak rela" meninggalkan anaknya di kelas, perasaan ini bisa terbaca oleh anak. Akibatnya, anak pun akan merasa cemas dan akibatnya di kelas menjadi rewel. Sementara si ibu melihat, dia rewel karena tak bisa ditinggal. Jadi, seperti lingkaran yang tak terputus.
Penting diingat, faktor kesiapan anak cukup berpengaruh terhadap keberhasilannya selama menjalani proses belajar di TK. Selain dari segi usia memang sudah waktunya, si kecil pun harus sudah berkurang ketergantungannya pada orang lain, terutama orang tua. Kalau ia tak kunjung siap, bisa setiap hari Anda harus menungguinya dan bahkan menemaninya di kelas. Padahal, tak setiap TK membolehkan anak ditunggui dan ditemani seperti itu. Kalaupun boleh, hanya selama beberapa hari pertama saja. Selanjutnya, anak sudah harus masuk sendiri ke dalam kelas dan bergabung dengan teman-temannya sekelas.
Masalah menunggui anak ini sering muncul pada ibu-ibu yang tidak bekerja. Itu karena sebagai full time mother, waktu mereka sepenuhnya ditumpahkan dengan selalu menghabiskan waktu bersama anak. Sebelum masa sekolah, si ibu bisa membawa anaknya ke mana-mana. Begitu anak sekolah, hubungan ini jadi terputus. Mungkin secara psikologis, si ibu kehilangan identitas diri, sehingga terus berusaha mengupayakan hubungan dengan anak, dengan cara mendampinginya terus, termasuk menunggui di sekolah.
Padahal bila terus ditunggui, rasa percaya diri anak menjadi tidak berkembang. Ia tidak kunjung yakin bisa menjaga dirinya sendiri. Padahal di usia prasekolah, penting bagi anak untuk punya perasaan otoritas, yaitu kemampuan untuk mengatur dirinya sendiri.
Selain itu, situasi ini bisa membingungkan anak karena di satu pihak, dirinya selalu ditunggui dan diawasi oleh ibu, tapi di lain pihak, ia juga dituntut kemandiriannya. Misal, harus makan sendiri, mandi sendiri dan lain-lainnya.
TINDAKAN YANG BENAR:
Berhentilah menunggui anak di sekolah. Bila tindakan ini tak bisa dilakukan secara langsung, maka lakukan secara bertahap. Misalnya, hanya lima belas menit pertama saja ia ditunggui, setelah itu tinggalkan sampai waktunya dijemput.
Ada juga kasus anak sudah mau ditinggal tapi suatu waktu ia ingin ditunggui orang tuanya di sekolah dengan alasan bermacam-macam. Dalam hal ini, boleh saja orang tua menuruti keinginan anak tetapi tak perlu menungguinya sepanjang waktu. Cukup selama 15 menit pertama (di kelas atau di dekat jendela kelas bila diizinkan) setelah itu menyingkirlah ke area yang tidak terlihat anak.
Bila ibu memang "tak sanggup" berpisah dari anaknya, cobalah lakukan kegiatan bermanfaat di sela-sela waktu menunggu. Di antaranya, ibu bisa mengajukan diri ke pihak sekolah sebagai volunteer (sukarelawan), misalnya menjadi story teller (pencerita di kelas) atau menjadi koordinator kegiatan sosial yang diadakan sekolah.
MEMBERI BANYAK MAINAN TAPI TAK PERNAH MENEMANI BERMAIN
Boleh saja memberikan banyak mainan kepada anak, tetapi apalah artinya itu semua bila orang tua tak pernah menemani anak bermain. Sering orang tua berdalih, "Toh, anak sudah dibelikan mainan yang bersifat edukatif." Contohnya, pasel atau permainan balok susun. Padahal, tanpa pendampingan orang tua, anak tak mampu mengerti fungsi mainan tersebut.
TINDAKAN YANG BENAR:
Sebenarnya, apa pun jenis mainan yang diberikan kepada anak, tak jadi soal. Termasuk robot-robotan dan senjata yang kerap digolongkan bukan mainan edukatif. Justru lebih baik anak memainkan kedua mainan tersebut tetapi didampingi orang tua ketimbang memainkan mainan edukatif tetapi si anak dibiarkan bermain sendirian.
Pasalnya, dengan orang tua mendampingi anak bermain, minimal orang tua dapat mengenalkan sesuatu yang baru pada anak lewat media mainan. Saat anak bermain pistol-pistolan, orang tua bisa menjelaskan kegunaan senjata tersebut bahwa pistol digunakan bukan untuk tujuan sadisme tetapi untuk tujuan lain yang lebih positif, misal.
Dengan kata lain, mainan apa pun bisa menjadi edukatif selama orang tua bisa menggunakan mainan tersebut sebagai media untuk menyampaikan pesan-pesan kepada anak. Terlebih di usia prasekolah dimana penanaman nilai-nilai sosial banyak diperkenalkan, mainan bisa menjadi media yang efektif.
ANAK TAK DIBIASAKAN MEMILIH
Di usia 4 tahun, anak mulai punya dorongan untuk melakukan apa-apa sendiri. Mereka berada pada tahap otoritas atau ingin menunjukkan siapa aku. Kemampuan kognitif yang meningkat dengan cepat juga mendorong mereka untuk selalu ingin melakukan apa-apa sendiri. Tetapi karena masih belajar, tentu butuh bimbingan orang tua. Yang paling baik, anak diberikan pilihan-pilihan, lalu diajarkan bertanggungjawab pada pilihannya. Namun yang kerap terjadi, orang tua justru bertindak sebaliknya.
Segala sesuatu untuk anak dipilihkan dan diputuskan sendiri oleh orang tua tanpa melibatkan anak. Sikap orang tua yang seperti ini sungguh tak baik dampaknya buat perkembangan anak. Salah satunya, anak jadi tak bisa menentukan pilihan. Ia cenderung mengekor pada pilihan dan keputusan orang lain. Kasihan, bukan?
TINDAKAN YANG BENAR:
Penting mengajari anak untuk memutuskan pilihannya sendiri. Contoh, memilih baju yang akan dipakainya setelah mandi, pergi ke mal, atau baju tidur. Bila orang tua khawatir pilihan anak tidak cocok, maka orang tua bisa memberikan beberapa alternatif pilihan, "Kakak mau pakai kaos merah atau blus kembang-kembang kuning ini?"
Tentunya, untuk hal-hal yang sifatnya berbahaya, orang tua tak bisa memberikan pilihan. Tetapi anak harus dijelaskan, mengapa ia tak boleh bermain dengan menggunakan gunting milik orang tua, misal. Kemudian berikan alternatifnya, yaitu gunting yang dirancang khusus untuk anak. Tetapi bermainnya dengan didampingi orang tua.
Dengan begitu, anak terpuaskan. Dia pun tahu, mengapa ada hal-hal yang boleh dan tidak boleh, terutama yang berkaitan dengan keselamatan. Bila perlu, buatlah daftar hal-hal yang masih bisa dikompromikan dan yang tidak. Jabarkan semuanya kepada anak. Dari sini anak bisa melihat, "Meski aku enggak boleh melakukan A, tetapi aku boleh melakukan B." Anak juga belajar, tidak semua yang diinginkannya akan dia peroleh.
Memberikan kesempatan memilih pada anak bukan cuma mengajarkan kemandirian, tetapi juga membuat anak merasa dihargai karena boleh memilih dan dipercaya menjalankan pilihannya. Dengan terbiasa diberi pilihan, anak juga akan belajar bertanggungjawab pada pilihannya. Lambat laun, ia pun mengasah kemampuannya untuk memutuskan sesuatu dengan lebih baik. (tabloid-nakita)
BANTU DIRI SENDIRI
Apa saja yang semestinya sudah mampu dilakukan anak usia 3-5 tahun untuk membantu dirinya sendiri?
Menolong diri sendiri adalah kemampuan dan keinginan melakukan segala sesuatu sendiri. Disingkat bantu diri atau self help. Bantu diri di usia prasekolah mencakup aktivitas makan, mandi, berpakaian, buang air kecil dan buang air besar sendiri. Namun, kalau Anda berpikir bahwa semua kemampuan itu akan muncul dengan sendirinya, tentu saja itu tidak tepat. Tanpa dilatih sejak dini, anak-anak tidak akan tahu bagaimana harus membantu dirinya sendiri. Keterampilan mengenakan baju, contohnya, dapat mulai dilatihkan sejak usia 2 tahun. Sebagai langkah awal, kenalkan dulu aneka jenis pakaian, dari kaus oblong, T-shirt, sampai kemeja berkancing. Setelah itu lanjutkan dengan mengenalkan celana pendek dan celana panjang. Sedangkan kepada anak perempuan, selain kaus, kemeja dan celana, kenalkan juga rok dan gaun padanya. Selanjutnya, mulailah dengan mempraktikkan hal yang paling mudah terlebih dulu. Di usia 3 tahun, misalnya, diharapkan ia mulai bisa meneroboskan lengannya pada lengan kemeja. Setelah itu belajar memakai rok atau celana karet. Selanjutnya, masih dibutuhkan ketekunan dan kesabaran ekstra saat membimbing si prasekolah agar terampil manarik ritsleting dan mengancingkan bajunya. Untuk menyenangkan buah hati tercinta, lakukan latihan sambil bercerita, bermain, dan bernyanyi. Ciptakan lagu-lagu dengan syair sederhana yang memuat cara-cara sederhana membuka dan mengancingkan baju, sehingga anak dengan mudah dapat mencernanya. Kegiatan menarik ritsleting dan mengancingkan baju sekaligus akan mengasah kemampuan motorik halusnya. Awalnya sangat mungkin akan terkesan berantakan. Bila ini yang terjadi, biarkan. Tak perlu terpancing untuk memarahinya ataupun kelewat memaksakan "nilai-nilai" orangtua mengenai kerapian dan kepantasan. Biarkan saja ia bereksplorasi terlebih dahulu. Dukung anak jika berhasil dan segera betulkan jika ia keliru tanpa perlu menyalahkannya. Yang terpenting, berikan kesempatan kepada anak untuk mencoba disertai keyakinannya bahwa orangtua akan memberi perhatian penuh sekaligus menciptakan rasa aman. Jika anak merasa nyaman, ia akan menjalani proses pembelajaran ini dengan lancar. Kalau saja sejak usia batita bantu diri telah diperkenalkan secara konsisten, maka di usia prasekolah, sudah selayaknya anak mampu melakukan aktivitas bantu diri dengan baik. CIKAL BAKAL KEMANDIRIAN Hebatnya, keterampilan bantu diri merupakan cikal bakal kemandirian anak. Jika anak tumbuh menjadi pribadi mandiri berarti ia memiliki sejumlah kelebihan, di antaranya: * Tak perlu bergantung sepenuhnya pada orang lain hanya untuk melakukan kegiatan fisik maupun pengambilan keputusan. Berarti ia mampu menyelesaikan tugas sekaligus mengemban tanggung jawabnya tanpa mengandalkan bantuan orang lain. * Tak mudah panik bila menghadapi situasi baru/berbeda sebab ia terbiasa mengerjakan segala sesuatunya sendiri. * Tumbuh menjadi individu kreatif karena ia banyak menelurkan ide baru. * Tak mudah frustrasi setiap kali mengalami benturan atau menemui kesulitan karena ia senantiasa tertantang untuk mencoba memecahkan persoalannya sendiri. * Tumbuh menjadi pribadi yang disukai dalam pergaulan berkat kemandirian dan kematangan yang ditunjukkannya. Contohnya, mampu dengan cepat menyelesaikan tugas kelompok tanpa merecoki teman-teman anggota kelompoknya. * Rasa percaya dirinya berkembang optimal karena setiap kali berhasil menguasai kemampuan tertentu, maka nilai positif dalam diri anak akan bertambah. Perlu diingat, pembentukan self esteem antara lain didapat melalui penguasaan keterampilan. Yang pasti, pribadi mandiri mampu mengem-bangkan apa yang menjadi nilai positif dalam dirinya. * Keterampilan motoriknya berkembang dengan baik mengingat anak terbiasa melakukan segala sesuatunya sendiri. Contoh sederhanya, ia terampil menulis karena terbiasa menggunakan jari-jarinya untuk mengerjakan tugasnya secara mandiri.
TUGAS SEDERHANA * Mengenakan baju Memasuki usia 4 tahun, anak sudah mampu memakai baju sendiri. Bila mengenakan kaus, ia pun sudah dapat membedakan mana bagian depan dan mana bagian belakang, sehingga tidak lagi terbolak-balik. Bahkan, ia mulai terampil mengancingkan kemejanya. * Mengenakan sepatu Awalnya, pilihkan sepatu berperekat. Selanjutnya bimbing ia agar mampu mengenakan sepatu bertali sederhana. Proses mengikatkan tali sepatu sekaligus merupakan ajang latihan bagi kemampuan motorik halusnya. * Makan Memasuki usia 4 tahun anak mampu makan sendiri dan menggunakan peralatan makan dengan benar. Seyogyanya ia juga sudah paham mengenai disiplin waktu makan sekaligus apa saja aturan di meja makan. Contohnya, tidak boleh menghambur-hamburkan makanan, mengunyah sambil mengeluarkan bebunyian, duduk bermalas-malasan, makan di sembarang tempat atau sambil berjalan-jalan seenaknya. Selain itu, anak juga mestinya sudah mampu mengambil makanan untuk dirinya saat di meja makan. Seiring bertambahnya usia, tingkatkan keterampilannya dengan memberi pengetahuan tentang kebiasaan makan sesuai adat di keluarga besar. Misalnya saja, kebiasaan makan tanpa menggunakan alat atau langsung dengan tangan. Orangtua tak ada salahnya mengajarkan kebiasaan itu. Dengan mendapat pengetahuan dan kepercayaan untuk melakukannya, ini akan menumbuhkan rasa percaya diri anak. Hasilnya, kelak ia bakal mampu menyesuaikan diri dengan etiket makan di manapun. * Aktivitas di kamar mandi Mandi, buang air besar, buang air kecil dan membersihkan sesudahnya adalah aktivitas bantu diri di kamar mandi yang sudah dapat dilakukan anak usia prasekolah. Sebelumnya, anak sudah dapat dilatih untuk bisa mencuci muka dan tangannya. Namun dengan alasan keber-sihan, tak ada salahnya orangtua sesekali mengontrol cara mandi dan membersihkan diri anak. Khusus untuk anak perempuan, ingatkan untuk membasuh kemaluannya dari arah depan ke belakang dan bukan sebaliknya, terutama usai buang air besar. Jangan lupa, jelaskan alasannya dengan bahasa sederhana, yakni agar kotoran dan kuman yang mungkin tertinggal di anus tidak terbawa ke vagina. Tahapan berikutnya, bimbing juga anak untuk mengeringkan alat kelaminnya dengan tisu atau handuk kecil yang bersih agar tidak lembap. Jika sudah, bimbing ia untuk mengenakan kembali celananya dan merapikan penampilannya. Saat memakai celana, mintalah anak untuk berpegangan pada dinding kamar mandi agar tidak terjatuh akibat ketidakseimbangan tubuhnya. KALAU TERLAMBAT Bila keterampilan bantu diri ini belum dikuasai di usia prasekolah, sebaiknya orangtua segera mengubah sikap. Boleh jadi karena selama ini anak tidak diberi kesempatan untuk melatih dirinya. Jadi, segeralah ciptakan tugas-tugas sederhana dan bimbinglah dia saat melakukan tugasnya. Sangat mungkin proses belajar bantu diri yang baru dimulai di usia ini makan waktu lebih lama. Apalagi jika anak sudah terbiasa mendapat pelayanan penuh dari orangtua, pembantu atau pengasuh, karena motivasi anak harus dibangun lebih dulu. Namun, berbekal kemauan dan kesabaran, cara-cara membantu diri dapat diajarkan. Lakukan secara perlahan dan bertahap dari aktivitas yang paling mudah, seperti menaruh piring di tempat cucian, sampai yang kompleks seperti mandi sendiri. Jangan lupa, sertakan contoh di setiap latihan agar motivasinya tumbuh dan anak benar-benar memahaminya sebelum masuk ke langkah berikut. Kuncinya, lebih baik terlambat daripada tidak. Tanpa keterampilan bantu diri, anak akan mengalami banyak hambatan. |
JADWAL HARIAN
Penting dibuat karena anak jadi lebih disiplin dan bertanggung jawab.
Jangan biarkan waktu anak terbuang percuma. Manfaatkanlah secara maksimal agar apa yang diperolehnya sehari-hari bisa menjadi maksimal. Salah satunya dengan membuat jadwal harian. Jadwal yang teratur membuat anak memperoleh beragam kegiatan secara merata, sehingga pengalamannya lebih komplet. Di sisi lain, dengan ketiadaan jadwal harian yang baik, anak akan mendapat konsekuensi langsung yang bisa merugikan dirinya sendiri. Contoh, bila anak keasyikan bermain kemudian lupa makan, dia akan kelaparan sehingga mudah terganggu kesehatannya. Kalau kurang tidur, maka anak akan sering rewel, mudah marah, dan lainnya. Meskipun dampaknya terlihat sederhana, jika sering terjadi dapat menimbulkan kerugian yang cukup luas. Anak yang sering rewel misal, dia tak bisa mendapatkan manfaat interaksi sosial secara maksimal karena dalam bermain dia akan sering ngambek. Bila terlambat makan kemudian dia jajan sembarang, lebih mudah terserang penyakit. Tak demikian halnya bila kita menerapkan jadwal harian secara baik, anak justru akan memperoleh banyak manfaat. Dia jadi lebih disiplin dan bertanggung jawab. Anak pun dapat mengenal konsep waktu dan konsep urutan. 4 MANFAAT 1. Belajar Konsep Waktu Pemahaman konsep waktu didapatnya saat melakukan berbagai kegiatan di pagi, siang, sore, dan malam. Pagi, setelah bangun tidur misalnya, anak akan memahami kalau di saat itu dia harus mandi, sarapan, dan pergi ke sekolah. Selanjutnya di siang hari dia harus makan siang dan tidur siang. Begitu juga sore dan malam hari, anak akan melakukan kegiatan-kegiatan yang biasa dilakukan di waktu-waktu tersebut, dari bermain di taman hingga tidur malam. Supaya pemahaman anak akan konsep waktu lebih mendalam, cobalah terangkan waktu saat anak melakukan aktivitas, "Adek, sudah pagi, bangun yuk! Habis gitu kita mandi." Saat siang kita bisa bilang, "Nah, siang ini kamu waktunya tidur siang." Dengan penjelasan seperti ini, anak jadi lebih memahami konsep waktu. 2. Belajar Konsep Urutan Setelah terbiasa melakukan kegiatannya, anak mulai memahami urut-urutan aktivitas yang harus dia lakukan, "Sehabis mandi aku akan sarapan, kemudian berangkat ke sekolah." Dengan memahami urut-urutan ini, aktivitas anak akan berjalan lebih teratur. Berbeda dengan anak yang tak memiliki jadwal harian, dia akan secara serabutan melakukan aktivitasnya. Mungkin hari ini dia akan tidur siang dahulu baru bermain atau bermain dahulu hingga sore baru tidur. Tentu hal ini tidak membuat anak belajar tertib sehingga banyak aktivitas yang seharusnya bisa dimanfaatkan maksimal malah terbuang percuma. 3. Disiplin Setelah memahami jadwal yang harus dilakukannya, anak akan dituntut untuk disiplin mematuhinya, "Oke, sekarang memang waktunya tidur siang jadi aku harus mematuhi Mama." Memang, awalnya agak sulit menerapkan kedisiplinan ini namun lambat laun anak akan terbiasa. Nah, setelah kedisiplinan itu melekat pada anak, selanjutnya akan mudah bagi anak melakukan aktivitas yang sudah kita jadwalkan. Kelak di saat dewasa, dia lebih mudah mengatur jadwal kesehariannya karena sudah terbiasa sejak kecil. Dengan disiplin tinggi biasanya kesuksesan hidup akan lebih mudah diraih. 4. Bertanggung Jawab Disiplin erat kaitannya dengan tanggung jawab. Setelah anak mampu berdisiplin, otomatis rasa tanggung jawab pada dirinya pun akan muncul. Anak bertanggung jawab terhadap apa yang harus dilakukannya di saat pagi, siang, sore, dan malam. "Sekarang waktunya makan siang, aku harus makan," misal. Sikap tanggung jawab yang sudah muncul sejak kecil akan sangat bermanfaat kelak saat dewasa. Dia akan lebih mampu untuk menerima tugas dan menuntaskannya dengan baik. Kiat Mengenalkan Beberapa hal harus kita perhatikan saat mengenalkan jadwal harian kepada anak, mengingat banyak anak usia prasekolah yang masih memiliki sikap egosentris tinggi. Mereka ingin melakukan sesuatu sesuai dengan keinginannya, semaunya, tidak mau diatur, dan sebagainya. Nah, berikut ini 4 hal penting yang harus jadi perhatian orangtua! 1. Berikan Penjelasan Anak tak akan paham bila kita tak menjelaskan apa yang ingin kita terapkan kepadanya. Untuk itu, berikan penjelasan secara sederhana mengenai jadwal harian, "Adek lihat, ini adalah jadwal harian kamu!" sambil menunjuk papan jadwal yang bergambar aneka tokoh kartun kesayangannya. "Pagi hari kamu mandi, sarapan terus ke sekolah deh. Nah, siangnya sepulang sekolah kamu makan siang dan tidur siang..... " Dengan penjelasan seperti itu anak akan lebih memahami kalau ada kegiatan-kegiatan yang sudah terjadwal. Berbeda bila anak tak diberikan penjelasan sama sekali, dia akan lebih sulit untuk diarahkan karena memang dia tak tahu hal apa saja yang harus dilakukannya seharian. 2. Libatkan Anak Sangat baik bila kita melibatkan anak saat menyusun jadwal hariannya. Selain anak merasa lebih dihargai, pelaksanaan jadwal harian pun dapat diterapkan lebih mudah. Pasalnya, anak merasa ikut dilibatkan sehingga dia merasa lebih bertanggung jawab untuk mematuhinya. Lagi pula, jika anak mangkir kita bisa mengingatkan bahwa ia juga yang menyusun jadwal itu. "Kamu kan sudah ikut membuat jadwal ini, masak tidak mau melaksanakannya!" Dengan pengingatan seperti ini akan lebih mudah membuat anak mematuhinya. 3. Lakukan Kontrol Memang di awal agak sulit menerapkan jadwal harian pada anak. Butuh kontrol dari kita dengan selalu mengingatkan apa saja yang harus dilakukan anak saat pagi, siang, sore, dan malam. Dengan kontrol yang baik, anak akan terbantu untuk mematuhi jadwal hariannya. Setelah anak bisa mengikuti jadwal hariannya, kontrol harus dilepas secara perlahan. Biarkan anak memegang kontrol sendiri terhadap jadwal hariannya, karena dengan kontrol sendiri anak bisa mendapatkan banyak manfaat seperti kedisiplinan dan tanggung jawab. Berbeda ketika kita yang harus terus-menerus mengingatkan anak, manfaatnya tak bisa diperoleh anak secara maksimal. 4. Bersikap Fleksibel Agar jadwal harian tak terkesan membatasi aktivitas anak, sebaiknya di saat-saat tertentu kita harus fleksibel. Contoh, saat libur sekolah, hari raya, atau di saat-saat spesial yang sulit menerapkan jadwal harian. Biarkan sesekali jadwal tidur siang anak telat sedikit karena dia sedang asyik bermain dengan sepupunya yang sedang berlibur di rumah, atau biarkan anak tidak belajar karena memang sekolah sedang libur, dan lainnya. Dengan sikap fleksibel ini, anak tidak akan merasa tertekan ataupun stres. Sikap fleksibel juga diperlukan terhadap si prasekolah yang egosentrisnya masih sangat tinggi, ataupun terhadap anak yang sudah terbiasa dengan jadwal yang sama sekali tidak teratur sehingga sangat sulit menjadwalkan kegiatan hariannya. Begitu pula bila anak tumbuh di lingkungan yang "hidup" tanpa jadwal. Setiap hari, anak-anak tetangga bermain sepanjang hari sehingga sangat sulit bagi kita meminta anak untuk tidur siang. Contoh, pukul 2 siang kita mengharuskan anak tidur siang padahal anak-anak lingkungan sekitar sedang ramai, hilir mudik, asyik bermain. Nah, menghadapi kondisi-kondisi tersebut, kita tak perlu menuntut anak untuk 100% mematuhi jadwal hariannya. Bila memang hanya 50% yang bisa diikutinya, itu pun sudah merupakan keberhasilan mengingat memang sangat sulit menerapkannya secara penuh. Ingat, jadwal harian dibuat tidak untuk mengungkung anak tetapi butuh fleksibilitas sehingga kebutuhan anak tetap terpenuhi. Yang penting, kita tetap berusaha memenuhi jadwal yang sudah dibuat. CONTOH JADWAL HARIAN ANAK
tabloid-nakita |
"Kalau LAMPU MERAH Harus BERHENTI Ya, Pa?"
Pernah tidak, saat tiba di perempatan lampu merah si kecil tiba-tiba nyeletuk, "Kok, mobilnya berhenti, Ma?" Atau, ketika melihat rambu-rambu lalu-lintas lainnya, si kecil pun bertanya, "Apa arti huruf 'P' itu?", "Kenapa huruf 'S'-nya dicoret?", dan sebagainya.
Ternyata, anak-anak ini umumnya bertipe visual: senang mengamati semua benda baru yang ditemuinya, entah di rumah, di jalan, di mal, dan seterusnya. "Anak-anak visual merupakan pengamat ulung, peka terhadap hal-hal baru yang ditemuinya," ujar Rosmayanti, S.Psi., dari Yayasan Cikal Jakarta.
Selain itu, ketertarikan anak pada rambu-rambu lalu lintas, bisa juga dikarenakan sebelumnya ia mendapat stimulasi tentang rambu-rambu tersebut. Entah pernah diajak ke museum lalu lintas atau mendapatkan mata pelajaran khusus tentang kelalulintasan.
Di sisi lain, tak sedikit pula anak prasekolah yang cuek terhadap rambu-rambu lalu lintas. Mobilnya mau berhenti, berjalan, atau apakah ada papan bertanda belok, tak dipedulikan. Bukan berarti anak tidak tahu atau tak mau tahu, melainkan dia memiliki minat lain, atau perhatiannya tersedot pada hal lain seperti mobil bagus yang berlalu-lalang, musik, teman-temannya, dan sebagainya.
RESPONS POSITIF
Yang jelas, mau anak tertarik atau tidak, penting bagi orangtua untuk mengenalkan rambu-rambu lalu lintas kepada anak. Soalnya, rambu-rambu lalu lintas sangat akrab dan dekat dengan masyarakat perkotaan. Saat hendak pergi sekolah, setiap hari anak diantar jemput menggunakan kendaraan. Setiap hari itu pula anak akan menemukan ram-bu-rambu lalu lintas. Rambu-rambu yang sama akan ditemukannya kala berlibur atau be-pergian menggunakan kendaraan. Sayang, kalau anak tak mengenal dan mengetahui benda-benda yang biasa ditemuinya.
Lagi pula, banyak manfaat lain bisa didapat anak dengan mengenal rambu lalu lintas, dari konsep disiplin, warna, lambang, dan sebagainya. Apalagi, caranya bisa lewat bermain sehingga terasa lebih mengasyikkan. "Anak bermain mobil-mobilan seperti biasanya, cuma orangtua memberikan rambu-rambu saat bermain," kata Yanti, sapaan akrab piskolog ini.
Itulah mengapa, saat anak bertanya, berikan respons positif. Misal, anak bertanya, "Kenapa mobilnya berhenti, Yah?", jawablah, "Mobil berhenti karena lampu lalu lintas menunjukkan warna merah. Jika warnanya berubah menjadi hijau, mobil boleh berjalan lagi."
Jika penjelasan itu dirasa masih kurang, kembali jelaskan manfaat adanya rambu-rambu lalu lintas, "Lampu lalu lintas umumnya berada di persim-pangan jalan, baik pertigaan maupun perempatan. Itu berguna untuk mengatur, lajur mana yang harus berjalan dan mana yang harus berhenti. Arus kendaraan pun menjadi lancar. Bayangkan jika lampu lalu lintas itu tidak ada, kendaraan akan saling berebut untuk berjalan. Akibatnya, terjadilah kemacetan."
Bagaimana jika anak cuek bebek saat melihat rambu lalu lintas? Tak ada salahnya jika orangtua tetap menjelaskan rambu-rambu lalu lintas yang ditemui. Siapa tahu anak akan tertarik dengan bertanya lebih lanjut.
AJARKAN di RUMAH dan SEKOLAH
Mengingat banyak manfaat yang didapat, tak heran jika sejumlah "sekolah" memiliki pelajaran khusus mengenal rambu-rambu lalu lintas. "Di sekolah kami, anak usia 3 tahun sudah dikenalkan," ungkap Yanti. Awalnya, memang tak langsung mengenalkan rambu itu kepada anak, melainkan memperdalam kemampuan kognitif anak. Misal, anak 3 tahun dikenalkan dengan konsep warna terlebih dahulu sebelum dikenalkan dengan lampu lalu lintas. Begitu juga pada anak 4-6 tahun, dikenalkan dengan huruf dan lambang-lambang lainnya sebelum mengenalkan rambu dilarang parkir, dilarang berhenti, dan sebagainya.
"Kebetulan sekolah kami memiliki tempat khusus yang menunjang pengenalan berlalu lintas. Tempat itu dilengkapi dengan mobil mini plus rambu-rambunya." Tidak cuma itu. Sekolah juga biasanya mendatangkan polisi lalu lintas ke sekolah. Selain menjelaskan profesi polisi, program itu juga bertujuan mengenalkan rambu lalu lintas kepada anak. Anak bisa bertanya langsung kepada polisi tentang profesinya. Ada juga program kunjungan ke pos polisi, hingga anak bisa melihat langsung bagaimana polisi bekerja. "Beberapa sekolah yang di kotanya terdapat museum lalu lintas seperti Bandung, umumnya memiliki program khusus kunjungan ke museum, agar anak bisa lebih mengenal rambu dan aturan berlalu lintas."
Di rumah, orangtua juga bisa mengenalkannya dengan lebih konkret dan menyenangkan lewat permainan. Permainan yang dikemas dalam satu set itu berisi papan dengan alur jalan, rambu-rambu lalu lintas, pun kendaraan mini. Anak lebih bisa memahami rambu lalu lintas lewat permainan ini. Apa saja rambu lalu lintas yang bisa ditemui, plus beragam manfaatnya. Beberapa mainan lainnya adalah pasel, buku mewarnai, balok, dan sebagainya. Lakukan dialog dua arah saat mengenalkan. Misal, orangtua mengambil mobil-mobilan lalu bertemu lampu merah, "Mobilnya berhenti apa terus berjalan ya?" Dengan demikian, otak anak terus aktif berpikir.
Orangtua juga bisa mengenalkannya lewat bacaan atau cerita. Pilihlah dongeng bertemakan lalu lintas. Gali juga manfaat positif dari dongeng tersebut. Contoh, orang terhindar dari kecelakaan karena menaati rambu lalu lintas. Yang penting diingat, sesuaikan pengenalan dengan kemampuan anak. Jangan kenalkan lampu lalu lintas terlebih dahulu, jika anak belum memahami betul konsep warna, dan sebagainya.
4 Manfaat Belajar Rambu
1. Aturan dan Disiplin
Anak mengenal, rambu merupakan aturan dalam berlalu- lintas. Ketertiban akan terjadi saat pengendara mematuhi rambu lalu lintas. Sebaliknya, kesemrawutan bahkan kecelakaan mungkin saja terjadi tanpa ada rambu, atau rambu ada tapi tidak ditaati.
Jadi, dengan mengenal rambu, anak belajar tentang manfaat aturan dan kedisiplinan. Jika ini terus dipupuk, bukan tak mungkin kedisiplinan ini akan terbawa pada rutinitasnya, baik itu sekolah, belajar, bermain, dan sebagainya. Cuma, orangtua mesti menjadi teladan dalam masalah kedisiplinan ini. Saat menyetir mobil, misal, jangan main serobot atau tetap melaju meski lampu lalu lintas menyala merah. Dengan begitu, anak menjadi yakin, rambu harus ditaati.
2. Mengenal Warna
Anak mudah mengenal warna lewat lampu lalu lintas, daripada orangtua mengajarkannya satu per satu di rumah. Warna merah, kuning, dan hijau adalah warna yang biasa ditemuinya di jalan raya.
3. Mengenal Lambang, Simbol, dan Huruf
Anak juga bisa mengenali lambang, simbol, maupun huruf lewat pengenalan rambu. Huruf S dicoret berarti dilarang berhenti (stop), P dicoret berarti dilarang parkir, dan seterusnya. Ini sangat baik untuk mengasah kemampuan mengingat.
4. Keterampilan Bahasa
Anak menjadi aktif bertanya tentang rambu. Ini sangat baik untuk melatih kemampuan bicara sekaligus memperkaya kosakata yang dimiliki.
AJARKAN di RUMAH dan SEKOLAH
Mengingat banyak manfaat yang didapat, tak heran jika sejumlah "sekolah" memiliki pelajaran khusus mengenal rambu-rambu lalu lintas. "Di sekolah kami, anak usia 3 tahun sudah dikenalkan," ungkap Yanti. Awalnya, memang tak langsung mengenalkan rambu itu kepada anak, melainkan memperdalam kemampuan kognitif anak. Misal, anak 3 tahun dikenalkan dengan konsep warna terlebih dahulu sebelum dikenalkan dengan lampu lalu lintas. Begitu juga pada anak 4-6 tahun, dikenalkan dengan huruf dan lambang-lambang lainnya sebelum mengenalkan rambu dilarang parkir, dilarang berhenti, dan sebagainya.
"Kebetulan sekolah kami memiliki tempat khusus yang menunjang pengenalan berlalu lintas. Tempat itu dilengkapi dengan mobil mini plus rambu-rambunya." Tidak cuma itu. Sekolah juga biasanya mendatangkan polisi lalu lintas ke sekolah. Selain menjelaskan profesi polisi, program itu juga bertujuan mengenalkan rambu lalu lintas kepada anak. Anak bisa bertanya langsung kepada polisi tentang profesinya. Ada juga program kunjungan ke pos polisi, hingga anak bisa melihat langsung bagaimana polisi bekerja. "Beberapa sekolah yang di kotanya terdapat museum lalu lintas seperti Bandung, umumnya memiliki program khusus kunjungan ke museum, agar anak bisa lebih mengenal rambu dan aturan berlalu lintas."
Di rumah, orangtua juga bisa mengenalkannya dengan lebih konkret dan menyenangkan lewat permainan. Permainan yang dikemas dalam satu set itu berisi papan dengan alur jalan, rambu-rambu lalu lintas, pun kendaraan mini. Anak lebih bisa memahami rambu lalu lintas lewat permainan ini. Apa saja rambu lalu lintas yang bisa ditemui, plus beragam manfaatnya. Beberapa mainan lainnya adalah pasel, buku mewarnai, balok, dan sebagainya. Lakukan dialog dua arah saat mengenalkan. Misal, orangtua mengambil mobil-mobilan lalu bertemu lampu merah, "Mobilnya berhenti apa terus berjalan ya?" Dengan demikian, otak anak terus aktif berpikir.
Orangtua juga bisa mengenalkannya lewat bacaan atau cerita. Pilihlah dongeng bertemakan lalu lintas. Gali juga manfaat positif dari dongeng tersebut. Contoh, orang terhindar dari kecelakaan karena menaati rambu lalu lintas. Yang penting diingat, sesuaikan pengenalan dengan kemampuan anak. Jangan kenalkan lampu lalu lintas terlebih dahulu, jika anak belum memahami betul konsep warna, dan sebagainya.
RAMBU yang DIAJARKAN
Tentunya, orangtua tak mungkin menjelaskan semua rambu lalu lintas yang sangat banyak kepada anak. Solusinya, pilihlah rambu yang mudah dikenali dan biasa didapati. Ini dikaitkan dengan kemampuan kognitif anak. Berikut beberapa rambu yang bisa dikenalkan sebagaimana disarankan Yanti:
1. Lampu lalu lintas. Menjelaskan fungsi masing-masing lampu, baik merah, kuning, maupun hijau. Merah: berhenti; kuning: hati-hati jangan ngebut karena sebentar lagi harus berhenti; hijau: harus berjalan, kalau tidak berjalan, kendaraan di belakang akan terganggu, memberi klakson, atau bahkan menabrak.
2. Dilarang parkir. Kenalkan, ada daerah tertentu yang melarang kendaraan parkir karena akan mengganggu ketertiban lalu lintas.
3. Dilarang lewat. Bisa saja jalan itu hanya boleh dilalui satu arah.
4. Dilarang berhenti.
5. Belok/dilarang belok.
6. Rambu penyeberangan (zebra cross) yang relatif aman digunakan untuk menyeberang.
(tabloid-nakita)
Kemandirian anak
USIA 3-4 TAHUN
* Sikat gigi sendiri meski belum sempurna.
Ajak anak menyiapkan sikat gigi, odol dan gelas berisi air matang untuk berkumur. Dengan arahan orangtua, biarkan anak menggosok sendiri giginya.
* Buka-pakai baju kaus dan celana berkaret.
Di akhir usia 3 tahun, anak dapat membedakan mana bagian depan dan mana bagian belakang baju kausnya sehingga tidak lagi terbolak-balik.
Ajak anak menyediakan baju dan celana yang akan dipakai. Biarkan ia membuka baju/celana dan memakainya sendiri. Tak masalah jika dia memakai baju dari bagian tangannya terlebih dulu atau dari bagian kepalanya., tergantung mana yang lebih disukai anak. Begitupun untuk celana, boleh kaki kiri atau kanan duluan, suka-suka si kecil. Biasanya anak akan memakai celana dalam posisi duduk, baru kemudian berdiri setelah kedua kakinya masuk ke dalam masing-masing lubang celana.
* Memakai sepatu berperekat.
Sediakan sepatu dengan "kan-cing" berperekat, sehingga mudah dilepas-pasang oleh si kecil. Biarkan anak memakai dan membuka sepatunya sendiri. Umumnya anak 3 tahun sudah dapat memasukkan kakinya ke dalam sepatu.
* Mandi sendiri dengan arahan.
Minta anak menyiram badannya dengan air, lalu menyabuninya. Sebaiknya gunakan sabun cair. Ingatkan bila ada bagian yang terlupa. Untuk menyabuni tubuh bagian belakang, si kecil masih butuh dibantu. Setelah itu, minta ia membilas badannya. Beri tahu jika masih ada busa sabun yang tersisa di badannya, agar ia menyiramkan air ke bagian tersebut. Usai mandi, minta anak mengeringkan badannya dengan handuk.
* Pipis di toilet.
Begitu anak bilang ingin pipis, minta ia segera ke toilet dan membuka celananya sendiri. Usai pipis, ajari anak untuk membasuh alat kelaminnya dengan menyiramkan air pakai gayung atau semprotan air. Anak sudah bisa kok memegang dan menyendok air dengan gayung kecil, juga menekan semprotan air sendiri.
* Mencuci tangan tanpa dibantu.
Setiap kali hendak makan atau setelah melakukan suatu aktivitas seperti bermain dan buang air, biasakan anak untuk mencuci tangannya dengan sabun hingga bersih. Ajak anak ke wastafel atau ke tempat keran air. Biarkan ia sendiri yang membuka keran air dan membasahi tangannya di bawah air yang mengalir, menyabuninya—sebaiknya sabun cair—, lalu membilasnya. Setelah itu, mengeringkannya dengan lap bersih yang telah tersedia.
* Sediakan peralatan makan khusus anak, baik dalam bentuk, ukuran maupun bahannya yang tak mudah pecah. Orangtua bisa membantu menaruhkan makanan sesuai porsi makan si anak, baik berupa nasi dengan lauk pauknya, mi, dan sebagainya.
* Menuang air tanpa tum-pah dan minum sendiri dari gelas tanpa gagang maupun cangkir bergagang.
Sediakan gelas/cangkir dan teko/botol kecil berisi air, letakkan di tempat yang mudah dijangkau anak. Setiap kali anak minta minum, suruh ia untuk menuangkan air minum dari teko/botol tersebut ke dalam gelas/cangkirnya. Ingat, semua peralatan tersebut terbuat dari bahan yang tak mudah pecah. Sebagai latihan menuang air, sangat baik bila orangtua juga menyediakan mainan seperangkat alat minum teh, sehingga anak bisa bermain tuang air ke dalam cangkir-cangkir kecilnya. Ingatkan untuk tidak terlalu penuh menuangnya agar tidak tumpah.
* Membereskan mainan usai bermain.
Sediakan beberapa kotak dengan warna berbeda sebagai wadah penyimpan mainan. Setiap kali usai bermain, ajak anak menyimpan kembali mainannya ke dalam kotak-kotak tersebut. Bila ada mainan yang tercecer, minta anak untuk mengambil mainan itu dan menaruh ke dalam wadahnya.
* Buka-tutup pintu, baik dengan pegangan yang diputar maupun ditekan ke bawah. Anak juga dapat memutar anak kunci.
Minta anak untuk membukakan pintu ketika terdengar suara ketukan di pintu atau menutup pintu kamar ketika ia habis keluar-masuk kamar. Hindari menggantungkan anak kunci di sisi dalam pintu untuk menghindari risiko anak terkunci sendirian di dalam ruangan/kamar.
USIA 4-5 TAHUN
Selain kemampuan-kemampuan yang sudah dikuasai di usia 3-4 tahun, maka di usia 4-5 tahun anak seharusnya dapat pula melakukan aktivitas-aktivitas berikut ini:
* Menggunakan pisau untuk memotong makanan.
Berikan pisau yang tidak terlalu tajam. Di atas piring, letakkan makanan yang mudah dipotong seperti sejuring pepaya yang sudah dikupas, ubi atau kentang rebus, dan lainnya. Tunjukkan bagaimana cara memotongnya, lalu minta anak untuk melakukannya sendiri. Bila anak mengalami kesulitan, bantu dengan cara memegang tangannya.
Bisa juga, saat ibu sedang memotong-motong sayuran yang hendak dimasak, libatkan si kecil. Atau, ajak anak bermain masak-masakan, misal memotong tahu yang dibuat dari lilin mainan.
* Buka-pakai baju berkan-cing depan.
Latih anak membuka kancing dan memasangkannya dengan menggunakan kancing agak besar. Tunjukkan bagaimana caranya, lalu minta anak untuk melakukannya sendiri. Bila anak mengalami kesulitan, bantu dengan memegang tangannya. Setelah anak terampil buka-pasang kancing besar, barulah latih dia buka-pasang kancing dari bajunya.
* Buka-tutup celana beresleting.
Contohkan bagaimana cara membuka dan menutup resleting, lalu minta anak melakukannya sendiri. Bila mengalami kesulitan barulah dibantu dengan memegang tangannya.
* Menalikan sepatu.
Tunjukkan bagaimana cara mengikat dan membuka tali sepatu. Minta anak melakukannya sambil dibantu. Sering-seringlah mengajak anak melakukan latihan ikat-buka tali sepatu.
* Mandi sendiri tanpa arahan.
Anak sudah bisa mandi sendiri dengan menggunakan gayung mandi maupun shower tanpa arahan. Begitupun membersihkan badannya dengan sabun. Meski demikian, tak ada salahnya orangtua sesekali mengontrol cara anak mandi dan menyabuni badan.
* Cebok sehabis buang air kecil/besar.
Khusus anak perempuan, ajarkan cara membasuh alat kelaminnya dari arah depan ke belakang dan bukan sebaliknya, terutama usai buang air besar. Jelaskan alasannya dengan bahasa sederhana, yakni agar kotoran dan kuman yang mungkin tertinggal di anus tidak terbawa ke vagina. Setelah itu, minta anak untuk mengeringkan alat kelaminnya dengan handuk kecil yang bersih agar tidak lembap. Saat memakai celana kembali, ingatkan anak untuk berpegangan pada dinding kamar mandi agar tidak terjatuh akibat ketidakseimbangan tubuhnya.
● Menyisir rambut.
Setiap usai mandi, minta anak untuk menyisir sendiri rambutnya. Bagi si Upik yang berambut panjang, tentu masih perlu bantuan orangtua bila rambutnya hendak diikat kuda ataupun dikepang.
KONSEP DIRI POSITIF
Melatih kemandirian anak secara terus-menerus dan simultan dalam keseharian sangatlah penting di usia ini. Jika anak diberi kesempatan, ia akan punya konsep diri yang positif. Ia merasa percaya diri dan mampu melakukan segala sesuatu dengan kemampuan dirinya sendiri. Selain itu, anak pun akan kaya dengan pengalaman.
Bila orangtua tidak memberi kesempatan pada anak dan membiarkan anak tak mandiri, maka ia pun akan terbiasa tergantung pada orang lain dan tak bisa melakukan apa-apa sendiri. Bahkan, hal ini dapat berlanjut hingga di usia sekolah, semisal anak tak mau makan kalau tidak disuapi.
Selain terkait dengan konsep diri yang positif, mengajarkan kemandirian juga berarti mengajarkan tanggung jawab pada anak dan mengembangkan pula kebiasaan-kebiasaan baik yang positif. Hal ini akan terbawa sampai ia dewasa nanti.
3 HAL PENTING
Ada 3 hal yangg harus diperhatikan orangtua dalam mengajarkan kemandirian pada anak usia prasekolah, yaitu:
1. Sabar
Kesabaran orangtua merupakan kunci dalam mengajari anak. Memang akan terasa capek menjelaskan atau menunggu anak menyelesaikan pekerjaannya. Namun bagi anak ada suatu kebanggaan bila ia bisa melakukannya. Orangtua yang tak sabaran bisa menyurutkan rasa ingin tahu anak sehingga ia pun enggan atau kehilangan minat untuk melakukannya.
2. Aktivitas Beragam
Beri kesempatan pada anak untuk melakukan suatu pekerjaan/aktivitas yang beragam dengan mengerahkan seluruh kemampuan yang dimilikinya.
3. Tak Banyak Kritik
Jika orangtua sering mengkritik pekerjaan anak, maka anak akan menjadi takut salah, takut mencoba dan sebagainya. Akibatnya, anak bisa trauma dan tak mau mengulangi lagi pekerjaannya karena anak merasa usahanya tak dihargai. Harusnya, orangtua tetap memberikan apresiasi/pujian meskipun pekerjaan anak belum sempurna. Dengan begitu, anak akan bersemangat sehingga ia mau melakukannya kembali, mau mencoba lagi.
MEMOTIVASI DISIPLIN DIRI
Suatu sore di hari Minggu, Dhea mengajak Tedi, anak lelakinya yang berusia 4;6 tahun, makan bakso di sebuah rumah makan di sekitar kompleks perumahan. Seperti umumnya tempat makan, selalu tersedia sebuah pesawat teve. Saat menikmati bakso, tiba-tiba saja Tedi dengan suara kerasnya nyeletuk, "Mami, nonton sinetron kan bikin anak bodoh ya?" Sang bunda agak tersentak tapi lalu cepat-cepat mengangguk sambil tersenyum dan mengusap kepala anaknya. Sempat Dhea menoleh ke arah pengunjung lain yang menengok ke arah mereka, entah lantaran suara Tedi yang keras ataukah karena perkataannya.
Kali lain, kisah Dhea lagi, Tedi mendapatkan sebuah goody bag dari teman sekelasnya yang berulang tahun. Tiba di rumah, Tedi langsung memilah sendiri mana saja snack yang tak dibolehkan dikonsumsi selama ini karena mengandung MSG. Jika ada snack baru yang belum dikenalnya dan dia tak tahu ada-tidaknya kandungan MSG di dalamnya, maka lebih dahulu dia akan menanyakannya pada sang Mami, "Kalau yang ini boleh enggak, Mi?" atau dia sendiri sudah bisa mengatakan, "Aku enggak mau makanan yang seperti itu, soalnya ada MSG-nya."
Banyak lagi hal lain yang diceritakan Dhea tentang "kehebatan" anak lelaki semata wayangnya itu. Dhea sangat bangga terhadap buah hatinya. Betapa tidak? Di usia yang masih balita, sang anak sudah bisa bersikap positif. Tentu saja, hal itu berkat asuhan dan didikan yang konsisten dalam mengajarkan sikap/perilaku postif sejak dini. Seperti juga dikatakan Rosdiana S. Tarigan, M.Psi., MHPEd., dari Rumah Sakit Pluit, Jakarta, "Orangtua memang harus menanamkan sikap dan perilaku positif pada anak sedini mungkin."
Sebetulnya, lanjut Rosdiana, perilaku positif yang diharapkan orangtua itu intinya adalah disiplin. "Jadi, untuk memotivasi anak agar mau berperilaku positif adalah dengan melakukan pembiasaan-pembiasaan pada anak. Tentunya, orangtua juga memberikan contoh dan menjelaskan perilaku apa yang diharapkan dari anak dengan mengemukakan alasannya," kata Rosdiana seraya mengingatkan orangtua agar tak lupa memberikan reward atas sekecil apa pun usaha anak.
Namun perlu dipahami, cara ini tidak dapat dilakukan secara instan melainkan harus terus-menerus sampai akhirnya anak mengerti. Jadi, jangan pernah bosan untuk selalu mengingatkan si buah hati dengan nada yang tidak memaksa dan mengancam tentunya. Ketahuilah, sikap/ perilaku positif anak di usia dini akan membuat anak merasa percaya diri dengan apa yang dilakukannya. "Dia merasa dirinya nyaman dan aman karena tahu apa yang harus dilakukan. Hidup anak jadi lebih teratur dan punya disiplin diri yang baik. Hal positif ini akan terus berlanjut hingga usia dewasa nanti," tandas Rosdiana.
Dedeh Kurniasih. DIPERAGAKAN MODEL, FOTO-FOTO: FERDI/nakita
8 SIKAP/PERILAKU POSITIF
1. Memilih makanan sehat/tak jajan makanan sembarangan.
Mulailah dari diri orangtua sendiri, yaitu dengan selalu menyediakan makanan sehat di rumah, tidak memberikan contoh jajan makanan yang tak sehat semisal beli makanan gorengan, dan sebagainya. Orangtua pun selalu menjelaskan pada anak akan pentingnya makanan sehat serta bahayanya makanan tak sehat yang mengandung pengawet, pewarna dan penambah rasa. Berikan contoh-contoh dari dampaknya yang bisa anak ketahui. Penjelasan ini tentunya harus dilakukan berulang-ulang sehingga anak mengerti. Dengan begitu, ia akan terbiasa dan tak masalah jika tak diberi makanan yang tak dibolehkan.
Bagaimana jika dibuatkan jadwal tertentu? Misal, hanya pada saat weekend saja atau saat berbelanja bulanan saja, sehingga anak tetap bisa merasakan makanan tertentu tanpa harus memuasakannya sama sekali. Hal ini boleh saja tergantung pada kebijakan masing-masing orangtua. Begitu pun bila orangtua memberlakukan "larangan" secara ekstrem lantaran anaknya mengalami autisma, misal.
2. Tak asal belanja barang/ mainan.
Sebetulnya hal ini tergantung bagaimana ketaatan orangtua dalam meluluskan atau tidaknya permintaan anak. Ada tipe orangtua yang senang memberikan apa pun yang dianggapnya menarik, lucu dan baik buat anak, meski si anak tidak memintanya, Ada juga orangtua yang main gampang saja dan tak mau repot dengan menuruti apa pun yang diminta anak daripada mendengar anaknya merengek atau ngamuk lantaran tak dikabulkan. Nah, bila Ibu dan Bapak termasuk orangtua tipe ini, tak heran bila si kecil akan terdorong untuk selalu ingin membeli/belanja barang atau sesuatu sesuai keinginannya. Padahal, dampaknya buruk buat anak. Salah satunya, anak jadi cenderung egois dan manja. Orangtua pun akan terbebani dan tersusahkan oleh perilaku anaknya ini.
Jadi, orangtua perlu introspeksi diri dan segera mengubah perilakunya yang merugikan itu. Hendaknya orangtua tidak selalu meluluskan permintaan anak. Jika ia sudah punya barang yang sejenis/hampir sama dengan yang akan dibelinya, jelaskan, ia sudah memiliki banyak barang tersebut. Ajarkan pula, ia boleh membeli sesuatu yang memang dibutuhkannya. Ingatkan anak, semua yang harus dibeli tentunya menggunakan uang yang didapat dari hasil kerja keras orangtua. Anak harus bisa menghargainya dengan cara tidak menghamburkan uang melainkan berhemat. Begitu pun dengan mainan/barang yang sudah dimilikinya, anak harus bisa menghargainya dengan menjaga baik-baik dan tidak merusaknya. Bahkan ajari anak untuk membagi barang yang dimilikinya kepada anak-anak yang kurang beruntung.
Berikan pula pilihan pada anak untuk membeli sesuatu yang diinginkan atau memilih waktu bersama orangtua, misalnya berenang. Umumnya, anak usia prasekolah—bila dibandingkan anak yang usianya lebih besar—akan lebih memilih waktu bersama orangtua. Jika bukan itu pilihan anak, maka orangtua perlu introspeksi diri.
3. Menahan emosi.
Perilaku agresif anak seperti memukul, mencubit, melempar dan sebagainya bukanlah perilaku menyenangkan bagi semua orang. Jika anak bersikap agresif dan tidak diatasi, akan menghambat anak dalam berhubungan dengan orang lain. Bukankah orangtua pun akan merasa kesulitan? Karenanya, orangtua perlu memberikan contoh perilaku baik yang diharapkan, selain juga menjelaskan secara terus-menerus agar anak mengerti.
Ajari anak mengendalikan emosinya dengan cara paling efektif yaitu pemberian time-out karena bisa menenangkan emosi anak, Jadi, saat anak dalam kondisi marah, minta ia masuk ke dalam suatu ruangan. Pilihlah ruang yang nyaman semisal ruang tidurnya atau lainnya. Diamkan anak dalam ruang tersebut. Berikan waktu untuk anak mengekspresikan kekesalan dan kemarahannya. Lamanya tergantung pada tingkat usia anak, tingkat kemarahan dan juga kemampuan mengatasinya. Jika anak sampai memberantakkan kamarnya, minta dia untuk membereskan kembali. Selesai waktu time-out, beri penjelasan pada anak tentang apa yang jadi harapan dan keinginan orangtua dari sikapnya. Juga beri pujian atau ajak anak melakukan kegiatan bersama, semisal memasak bersama.
4. Gosok gigi.
Tak ingin punya anak kecil-kecil sudah rusak giginya, bukan? Maka itu anak harus diajarkan menjaga kesehatan giginya. Caranya antara lain dengan menyediakan peralatan gosok gigi dan pasta gigi khusus anak yang menarik. Beri alasan pada anak mengapa ia harus menggosok giginya setiap pagi sesudah makan dan sebelum tidur malam. Efektifnya, orangtua memberikan contoh. Siapkan peralatan gosok gigi sebelum mandi pagi dan lakukan kegiatan gosok gigi bersama sebelum tidur. Bisa juga dengan menempelkan jadwal di papan. Jika anak melakukannya maka akan mendapat stiker bintang/kupon kecil. Stiker/kupon ini bisa ditukarkan dengan reward tertentu bila mencapai jumlah tertentu. Misal, ditukarkan dengan nonton film di bioskop, buku cerita, dan sebagainya.
5. Tidak nonton sinetron dengan muatan buruk.
Jika kedua orangtua bekerja, bisa saja pengaruh ini didapat dari kebiasaan pengasuh menonton sinetron. Tentunya, harus ada aturan jelas yang ditetapkan bagi orang di rumah dan diperlukan kerja samanya. Selain itu, berikan penjelasan pada anak mengapa ia tidak dibolehkan menonton sinetron dewasa. Katakan dengan bahasa yang mudah dicerna dan dimengerti anak, semisal bahwa tontonan tersebut tidak bagus dan bisa membuatnya bodoh. Alihkan tontonan anak pada film-film yang memang khusus untuk seusianya. Orangtua bisa membelikan VCD atau berlangganan televisi kabel, umpamanya. Dengan dibiasakan seperti ini anak juga lama-lama tak masalah bila tak menonton televisi. Juga anak tak merasa suatu keharusan untuk menonton.
6. Bangun pagi sebelum berangkat sekolah.
Di usia prasekolah, kebanyakan anak sudah duduk di TK dan mereka harus bisa bangun pagi untuk bersiap berangkat sekolah. Nah, agar anak bisa bangun pagi dan berangkat sekolah tanpa ada masalah/hambatan, maka malamnya jangan biarkan anak tidur larut. Kemudian paginya, bangunkan dia dengan menyetelkan lagu-lagu anak yang menyenangkan atau apa pun yang disukai anak di pagi hari. Intinya, buatlah keramaian di pagi hari. Perhatikan pula karakter masing-masing anak. Ada anak yang butuh waktu lebih lama dari bangun pagi untuk mandi, ada juga yang cepat. Lakukan pendekatan pada masing-masing anak. Motivasi bisa dilakukan pula dengan pemberian stiker untuk kemudian ditukar dengan suatu reward. Namun, jika anak selalu malas-malasan untuk berangkat ke sekolah apalagi sampai mogok sekolah, orangtua perlu mencari penyebabnya. Mungkin ada masalah di sekolahnya.
7. Punya waktu belajar.
Anak perlu memiliki sikap positif dengan mau belajar di jam-jam tertentu. Memang, anak usia ini belum belajar dalam arti sesungguhnya dan juga belum mendapat PR dari sekolahnya. Namun dengan dibiasakan belajar di waktu-waktu tertentu akan mempermudah orangtua saat kelak anak di usia sekolah. Anak akan terbiasa melakukan kegiatan belajar di jadwal tersebut.
Cara memotivasinya dengan memberikan aktivitas atau kegiatan belajar sambil bermain di waktu khusus belajar. Orangtua harus terlibat di dalamnya, menemani, membantu dan juga mengarahkan. Sediakan pula buku-buku aktivitas, semisal buku aktivitas menggambar, mewarnai, berhitung, dan sebagainya. Lakukan secara rutin aktivitas ini. Mengingat konsentrasi anak belum terbentuk baik di usia ini, maka tingkatkan terus konsentrasinya dari waktu ke waktu agar anak mau melakukan aktivitasnya dengan baik.
8. Mau membaca.
Tak menutup kemungkinan anak usia ini ada yang sudah bisa membaca. kalaupun anak belum bisa membaca namun orangtua tetap perlu menanamkan kebiasaan membaca sejak dini. Orangtua harus memberikan contoh dengan suka membaca dan membacakan buku cerita atau dongeng sebelum tidur secara rutin sehingga ada keinginan anak untuk mau bisa membaca sendiri. Bisa juga orangtua membacakan cerita sambil bermain peran. Lama kelamaan anak akan mau membaca. Lakukan pula kegiatan belajar membaca sambil bermain yang bisa orangtua ciptakan secara kreatif.(tabloid-nakita)