Sumber: ibu ibu DI
Tanya
Anak adik saya, lelaki umur 2 tahun 3 bulan sampai saat ini masih belum bisa bicara, kosa kata yang bisa diucapkan tidak lebih dari 5 kata : Mama, Ayah, Diii (nama kakak-nya), Ya dan Cu (minta susu). Mama dan ayahnya berusaha tiap hari untuk menambah perbendaharaan kata-kata namun sangat sulit bagi dia untuk menghafal maupun mengucapkannya.
Apakah diantara Ibu ada yang punya kasus serupa? Apakah ini berhubungan dengan apa yang disebut orang "autis'? (not sure yet). Menurut DSA keponakan saya, untuk umur segitu masih wajar jika susah bicara dan cuma diberi vitamin saja. Tapi kalau melihat teman-teman sebayanya kayaknya kok saya ngenes ya karena dia diam saja, tidak pernah ngoceh kayak yang lain. Please sharingnya, apakah kiranya perlu dibawa ke psikolog anak? Jika perlu, tolong referensinya. (Y)
Jawab
Jangan panik dulu, karena perkembangan setiap anak itu berbeda. Untuk kasus terlambat ngomong perlu hati-hati untuk menganalisanya. Coba cari tahu ada tidak riwayat terlambat ngomong di keluarga, kalau memang tidak ada coba perhatikan dulu:
1. kesehatan fisik anak, apakah dia sehat atau sering sakit-sakitan
2. bagaimana perilaku anak, apakah dia punya perhatian terhadap sekelilingnya atau hanya sibuk dengan diri sendiri
3. apakah dia ada alergi thd sesuatu (makanan, udara dll)
Ini perlu sekali supaya kita tidak salah menangani masalah keterlambatan bicara ini dikemudian hari. Kalau perlu jangan ragu deh pergi ke psikolog untuk berdiskusi dan observasi, jangan sampai si anak diberi label yang salah. Coba ke Lembaga Psikologi Terapan UI, disana psikolognya cukup bagus dan tidak terlalu mahal. Ini cuma berdasarkan pengalaman pribadiku saja, karena aku punya seorang anak yang dulu cuma didiagnosa terlambat ngomong, karena katanya biasalah anak laki-laki terlambat ngomong. Seandainya waktu bisa diputar kembali. Tapi sudahlah yang penting kedepannya bagaimana menjaga anak-anak kita tetap sehat dan bisa berkembang sesuai dengan kemampuannya. (DN)
Referensi ke Klinik Anakku.
1. Kelapa Gading Boulevard Blok LA 6 no. 34-35. Kelapa Gading Permai (depan mal Kelapa Gading) - Jakarta Utara (450 2355-56)
2. Jl . Raya Manggis Blok A no. 2B-C. Komplek Ruko Cinere (depan mal Cinere) - Jakarta Selatan (754 5400)
3. Komplek Green Ville Blok BG no. 14-15 - Jakarta Barat (566 9211)
4. Jl. Ahmad Yani -Bekasi. Pusat Niaga kalimalang Blok A-6 no. 1-2 (885 4001-02)
Tanya
Anak saya usianya hampir 2 tahun (tepatnya 21 bulan), tapi sampai saat ini bicaranya masih payah banget. Pernah bisa ngomong mamam, minyum, syusyu, kakak, tapi terus hilang lagi. Ngocehnya masih tidak bisa kita mengerti.saya lihat pendengarannya baik, dan tingkahnya sih sudah kayak anak gede. motorik kasarnya bagus sekali. Kita sudah coba ngajak ngomong terus, tapi kayaknya dia cuek banget. Tetap saja ngomong sesuai dengan maunya dia. apakah mungkin karena kita tinggal di lingkungan beda-beda bahasa (saya tinggal di negara berbahasa perancis, di rumah kita berbahasa indonesia, tapi TV umumnya bahasa perancis atau inggris). Bisa minta sharingnya, bagi yang pernah mengalami pengalaman serupa.
Jawab
Memasuki usia dua tahun, anak sedang memasuki tahap awal tumbuh kembang kognitif yaitu tahap pra-operasional, yaitu pemahaman berdasarkan hal2 konkret saja. Jadi dia mengerti apa yang bisa dia lihat saja. Kemampuan berbahasa merupakan kemampuan yang bersifat bawaan, yakni dengan sendirinya anak akan mengerti akan bahasa selama organ2 fungsi bicaranya berkembang baik. Namun, tidak dapat diabaikan juga adalah faktor lingkungan dan pengalaman. Jika anak tidak diberi rangsangan secara verbal, anak tidak akan bisa belajar bahasa. Jadi, yang terpenting adalah rangsangan yang anda berikan dan hasratnya berbicara. Berikan saja perkenalan bahasa, baik indonesia, prancis, atau inggris. hal ini sangat baik untuk pembiasaan pendengarannya. Misalnya, dia sudah paham bahwa ketika mau minum, maka anda berkata minum, lalu dalam bahasa prancis, besoknya dalam bahasa inggris, sambil memberikan keterangan yang mudah dimengerti, bahwa lingkungan memang mengkondisikan harus menggunakan banyak bahasa. Jangan dipaksa atau dianggap tidak mampu berbahasa ketika anak menunjukkan sikap cuek, kemungkinan dia sedang memprosesnya sesuai atau tidak dengan memori yang dimilikinya.
KEMUNGKINAN AUTIS:
CATATAN DARI Dr Rudy Sutadi SpA, Wakil Ketua Yayasan Autisme Indonesia:
Penyandang autisme memiliki gangguan/ masalah pada bidang komunikasi, interaksi sosial, dan minat yang terbatas serta berulang-ulang. Mungkin juga terdapat masalah pada bidang sensasi (indera), dan fungsi adaptif. Hal-hal tersebut menyebabkan tingkat perkembangan/kemampuan penyandang autisme semakin lama akan semakin jauh tertinggal dari anak seusianya. Dalam talk show ini, Dr. Rudy memberi contoh sebagai berikut: Masalah pada komunikasi, misalnya anak tidak bisa bicara, terlambat bicara, bicara hanya mengeluarkan suara-suara/suku-suku kata yang tidak mempunyai arti (babling/bahasa "planit"), hanya menarik tangan orang dewasa bila menginginkan sesuatu. Pada yang mulai bisa bicara, mungkin hanya sekedar mengulangi kata-kata orang lain (membeo/echoing/ echolaly) atau pada usia 18-24 bulan tiba-tiba bicaranya menghilang (berhenti bicara).
Tanya
Mohon info seperti apa/prosesnya bagaimana untuk pemeriksaan Autisme? (apakah dengan tes-tes tertentu, ada tahap-2nya, pemeriksaan lab dll?) Apakah di dokter anak sudah cukup? Dan berdasarkan apa nantinya kesimpulan diambil? Kalaupun ada ciri-ciri yang mengarah ke penyakit Autisme dan anak mengalami salah satu gejalanya, bisa dicurigai mengidap penyakit ybs? Apakah Yayasan Autisme ((waktu itu saya pernah melihat tayangan di Metro TV yang menampilkan dokter Rudy (kalau tidak salah) sebagai wakil ketua Yayasan tsb))sudah mempunyai situs sendiri di Internet ?
Jawab
Gangguan autisme merupakan suatu jenis gangguan perkembangan pervasif pada anak. Untuk menegakkan diagnosa gangguan autisme ini tidaklah memerlukan suatu pemeriksaan yang canggih-canggih seperti MRI, brain mapping atau CT scan, kecuali ada indikasi lain yang bermakna. Oleh karena akhir-akhir ini gangguan autisme sering dikaitkan dengan keracunan logam berat dan pertumbuhan jamur yang pesat di usus, maka beberapa pemeriksaan yang berkaitan dengan hal tsb sering dilakukan (dengan catatan sesuai indikasi yang berlaku). Untuk menegakkan diagnosis gangguan autisme biasanya didasarkan dari gejala gejala klinis yang tampak dan jelas menunjukkan pola penyimpangan dari perkembangan normal anak seusianya. Kriteria yang digunakan pada saat ini adalah dari pedoman kriteria diagnosis berdasarkan DSM-IV (Diagnostic & Statistic Manual of Mental Disorder IV) atau ICD-10 (International Classification of Disease 10).
Kriteria Diagnostik gangguan autisme berdasarkan DSM IV adalah:
A. Harus ada sedikitnya gejala dari (1), (2), dan (3) dengan minimal 2 gejala dari (1) dan masing-masing satu gejala dari (2) dan (3) :
(1). Gangguan kualitatif dalam interaksi sosial yang timbal balik.
Minimal harus ada 2 gejala dari gejala di bawah ini:
a. Tidak mampu menjalin interaksi sosial yang cukup memadai, kontak mata sangat kurang, ekspresi muka kurang hidup, gerak-gerik yang kurang tertuju.
b. Tidak bisa bermain dengan teman sebaya (sesuai dengan usia anak)
c. Tidak dapat merasakan apa yang dirasakan orang lain.
d. Kurangnya hubungan sosial dan emosional yang timbal balik.
(2) Gangguan kualitatif dalam bidang komunikasi, seperti ditunjukkan minimal satu dari gejala-gejala di bawah ini :
a. Bicara terlambat atau bahkan sama sekali tidak berkembang (tak ada usaha untuk mengimbangi komunikasi dengan cara lain tanpa bicara)
b. Bila bisa bicara, bicaranya tidak dipakai untuk komunikasi.
c. Sering menggunakan bahasa yang aneh dan diulang-ulang.
d. Cara bermain kurang variatif, kurang imajinatif dan kurang bisa meniru.
(3) Ada suatu pola yang dipertahankan dan diulang-ulang dalam perilaku, minat dan kegiatan. Sedikitnya harus ada satu dari gejala di bawah ini:
a. mempertahankan satu minat atau lebih, dengan cara yang sangat khas dan berlebih-lebihan.
b. terpaku pada satu kegiatan ritualistik atau rutinitas yang tak ada gunanya.
c. ada gerakan-gerakan yang aneh yang khas dan diulang-ulang.
d. seringkali sangat terpukau pada bagian-bagian benda.
B. Gejala-gejala di atas timbul sebelum usia 3 tahun dan adanya keterlambatan / gangguan dalam bidang:
(1) interaksi sosial,
(2) bicara/berbahasa,
(3) cara bermain baik simbolik atau imajinatif
C. Tidak disebabkan oleh sindroma RCH / gangguan disintegrasi masa kanak. Dengan mempelajari gejala-gejala tsb di atas maka para orang tua dapat menduga apakah anak tsb termasuk anak dengan autisme atau bukan.
Tanya
Anak saya perempuan usia 1 tahun 8 bulan, sampai saat ini anak saya masih belum bisa ngomong seperti anak seusianya, ngomongnya masih belum terarah (semaunya saja ngomongnya). Dan kalau diajarin untuk berbicara dia cuek saja, apalagi kalau sudah asyik nonton tv di panggil saja tidak noleh. Anak saya berat badannya kira2 11 kg dan dia termaksud anak yang lincah, pro aktif dan suka bercanda,cuman satu saja sampai sekarang belum bisa ngomong. Yang ingin saya tanyakan apakah anak saya termasuk lambat berbicara atau autisme?
Jawab
Tolong anaknya dibawa saja untuk diperiksa. Tentunya saya tidak bisa memastikan apakah autis atau bukan dengan data yang terbatas. Umur 1 tahun 8 bulan belum bicara harus diperiksa dengan teliti. Jangan menunggu, tolong diperiksakan saja.
Kebetulan sama dulu juga mengalami kegelisahan seperti itu. Anak saya yang besar waktu umur 2 tahun, kosakata yang jelas masih sedikit, sebagian besar bahasa planet yang hanya dia yang tahu artinya. Jadi seringnya komunikasi kita seperti satu arah, kita tidak ngerti apa yang diucapkan dan kalau ditanya, seringnya diam saja, atau dijawab pakai isyarat, tapi sepertinya dia mengerti apa yang kita bicarakan, Padahal di rumah eyangnya, banyak orang (om-om-nya) dan semuanya cerewet, seneng ngajak ngobrol anakku, jadi tidak mungkin karena kurang stimulasi. Saya juga konsultasikan ke DSA, karena patokan saya, anak harusnya mulai lancar bicara, start 2 tahun, tapi kok anakku telaat, Tadinya saya sampai pengen ikut terapi bicara, tapi menurut DSA-ku, anakku masih wajar, dan disarankan untuk dimasukkan kelompok bermain dulu, saya sampai minta vitamin, khususnya vit. untuk perkembangan otak, karena saya takut, anakku khan suka jatuh pas belajar jalan, jadi was-was saja, Akhirnya pas anakku 2 th 4 bulan aku masukkan ke kelompok bermain, yang seminggu sekali, memang awal mulanya dia, masih penyesuaian diri dan lebih banyak diam, tapi seiring waktu, banyak kemajuan pesat dari anakku. Mungkin karena banyak teman sebaya, dll, anakku mulai banyak bicara, dan lebih kritis, pokoknya, jadi cerewet deh sekarang, apa saja dikomentarin,
Sekarang anakku sudah 2 thn 10 bulan, alhamdulillah, sudah banyak bicaranya, malah sudah bisa cerita atau ngadu, jadi pengasuhnya tidak bisa macam2, karena sudah bisa laporan sich, Mungkin dicoba dulu dimasukkan ke Kelompok bermain mbak? setahu saya kalau anak autis, tanda-tandanya bukan hanya telat bicara, banyak faktor atau ciri2 lain yang mungkin ibu lain bisa tambahin, (DS)
Anak saya dulupun demikian sewaktu umurnya 2 tahun plus namun yang perlu diperhatikan : Bila diajak bicara apakah si anak mengerti apa yang dikatakan? Atau ditest dengan cara menyuruh si anak buang sampah misalnya. Bila diajak bicara apakah mata si anak menatap pembicara??? Bila hal diatas sudah dilakukan kemungkinan besar hanya kurang interaksi internal, bukannya autis. Akhirnya pada waktu itu si anak saya sekolahkan padahal umurnya baru 2 tahunan dan PRT dirumah saya tambah menjadi 2 orang sehingga si anak banyak mendengar orang bicara dan sianakpun berintraksi dengan banyak orang. Dan alhamdullilah lambat laun terlihat perkembangannya. Semoga saja anak adik mbak demikian seperti anak saya yang pertama (sekarang umurnya sudah 5 tahun 5 bulan dan sudah cerewet). (URI)
Soal ini yang juga bikin aku cemas. Anakku, 20 bulan, sampai sekarang belum bisa bicara lho ibu. Kata yang fasih diucapkan cuma 1 kata yaitu "udah". Selain itu tidak ada yang jelas. Cuma eh, aa, uu, mba' (bukan manggil mbak lho tapi kalau' minta perhatian bapaknya), manggil akunya dengan ah ah / eh. Mau minum susu cuma tunjuk botol sambil bicara eh, eh, eh, Kadang mau minum putih saja sambil nangis karena kita tidak ngerti maksud bahasa dia. Hal yang agak melegakan hati adalah dia selalu merespons dengan baik apa yang kami sampaikan, seperti meletakkan gelas di cucian, mematikan lampu mobil, mengambil barang-barang (gelas dll). Tiap makan dia akan berinisiatif bilang "a'" kalau' dirasa mulutnya sudah kosong sementara dia belum disuap lagi. Bermain bersama dilakukan dengan gembira jadi sosialisasi kayaknya tidak masalah deh, disuruh salim dia akan langsung mengulurkan tangan meski dengan orang asing. Penjelasan ibu sekalian memang cukup menenangkan tapi aku apa perlu periksa juga ke DSA yang lain ya, soalnya kalau' dengan Dr Bambang, menurut beliau anakku tidak masalah. Cuma sering tercetus takutnya terjadi aku terlambat merespons. (A)
Anakku juga termasuk agak telat ngomongnya, umur 15 bulan ngomongnya masih pakai bahasa planet, padahal sepupu2-nya umur 12 bulan sudah bisa panggil mama papa. Kata DSA tidak masalah wong anaknya dia saja baru ngomong umur 2 thn, tapi kalau mau second opinion ke dr lain ya silakan, akhirnya dirujuk ke Prof. Taslim di Hermina Jtn. Waktu diperiksa dia bilang tidak ada masalah dan tidak autis (legaaaa rasanya), cuman dibilangin kurang banyak latihan/ diajak ngobrol, (padahal kurang gimana lagi ya cerewetnya kita), dikasih obat racikan untuk 1 bulan plus tugas untuk lebih intensif lagi ngajarin/ngajak ngomong, eh baru seminggu minum obat anakku sudah mulai panggil mama, mama, juju (susu) sudah, dan beberapa kata pendek lainnya. Berhubung aku merasa tidak urgent lagi akhirnya aku tidak balik lagi ke si Prof, padahal DSAnya bilang silakan saja diteruskan, Tapi keponakanku juga baru ngomong umur 3,5 tahun lho !! Gara2 awalnya sering ditinggal didepan TV nonton sendirian, karena ibunya sibuk ngurusin rumah, sudah di terapi wicara bolak-balik tidak ada kemajuan, akhirnya dimasukin play group baru deh mulai ngomong, Sekarang sudah 4,5 tahun dan cerewet!!(IT)
Mungkin yang harus kita lakukan bukan cuma 'cerewet' sendiri. Tapi, berusaha ngerangsang si anak untuk ngejawab omongan2 kita. Mungkin kalau 'cerewet' yang satu arah, si anak malah bingung kali yach. "Ibuku kok tidak kasih kesempatan aku buat ngomong ya???". Soalnya beberapa sodara saya yang anak2nya pada telat ngomong, kejadiannya sama seperti itu. Si ortu asyik sajacerewet sendiri, sementara si anak asyik saja ngedengerinnya dan tidak bisa nanggepin kecerewetan si ortu ini, (R)
Keponakanku sampai ultahnya yang ke-2 bicaranya sama, yang keluar cuma ah uh eh doang. Persis, kalau mendengar perkataan orang dia bisa mengerti. Seperti disuruh salam, atau diminta mengambilkan mainannya gitu dia bisa mengerti. Waktu itu seisi rumah juga cemas melihat keadaan ini sementara badannya bongsor, diusia 2 tahun sudah seperti anak usia 3-4 tahun tapi ngomongnya masih bahasa planet, kan lucu jadinya. Padahal bundanya, tantenya dan orang2 disekelilingnya adalah orang2 yang cerewet alias doyan ngomong. Lalu pola bicara kita orang2 disekelilingnya mulai sedikit diperhatikan. Kita sepakat kalau bicara sama dia, bicaranya sesedikit mungkin. Tapi dipraktekin dan minta dia bicara berulang2. Misalnya kita baca buku sama2 lalu kita bilang "Ini burung" lalu tanya apa ini? Begitu lama2 dia bisa walaupun hanya ujung katanya saja. Lalu kalau dia minta sesuatu misalnya dia minta susu, kita biarin dulu sampai dia mencoba bilang susu atau dia berusaha menunjukan bahwa yang diinginkannya itu susu. Dulu dia suka nunjuk tempat bikin susunya terus kita bilang "oh mau susu ya" "Mau apa dik?" "susu" gitu terus diulang2. Kadang secara tidak sadar lingkungan memenuhi kebutuhan anak sedemikian rupa sehingga tanpa sianak harus bicarapun lingkungan sudah mengeri dan memberikan kebutuhan dia. Si anak jadi tidak terlatih untuk mengemukakan apa.yang diinginkannya. Tapi kita harus waspada juga jangan sampai sianak jadi frustasi karena dia mencoba mengemukakan bahwa dia pengen susu tapi kita terus cuekin karena dia belum bener ngomong susu.Dengan memperbanyak anak bersosialisasi dengan anak sebayanya juga bisa merangsang anak untuk berkomunikasi. karena dengan teman sebaya mau tahu mau dia harus mencoba mengemukakan apa yang dipikirkannya. Misalnya kalau dengan orang tua dia mengatakan "mau su" kita sudah ngerti kalau dia mau susu. Tapi dengan anak lain belum tentu. Situasinya membuat sianak memang harus bicara, tapi dalam keadaan yang tidak tertekan karena situasinya bermain. Usia hampir 2 tahun 6 bulan, dia terus bisa bicara, bahkan tidak bisa berenti kalau sudah nanya. Kata neneknya, ayahnya dulu juga baru bica bicara lancar diusia 2 tahun, jadi barangkali ada kaitannya juga ya? (SK)
Iya betul ya. Ini juga berlaku baik bagi anak normal maupun yang bermasalah ya? Soalnya temenku yang terapi-in anaknya itu juga disuruh begitu sama terapistnya. Anak jangan langsung dilayani kalau misalnya cuma bilang,"Uh,uh,", sambil nunjuk botol susu-nya. Kita harus rangsang supaya dia 'berbicara' dulu baru dikasih susunya. Juga kadang kita tidak sabar nunggu anak ngomong sampai selesai. Jadi dia lagi bilang, "Mau minum. minum.", kadang ada yang nyambung :"Susu ya?". Sebaiknya sih ditungguin si anak selesai berpikir dan mengutarakan pikirannya. Sebab kadang anak lebih cepet di otak daripada di bibir. Otaknya sudah mikirin apa, yang nyampe bibir baru apa gitu. (R)
Nah kalau yang kayak gini kejadiannya sama ponakanku satu lagi. Jadi malas bicara karena kalau dia ngomong sesuatu trus agak lama kan kadang lingkungan jadi tidak sabar, ini anak mau ngomong apa sih? lalu kalau dia ngomong lingkungan jadi suka memotong omongannya. Misalnya dia bilang Bu kaka mau itu, mau itu, mau itu bu, Ibunya langsung bilang "oh mau coklat dari toko kemaren ya? Kadang lingkungan bermaksud membantu sianak menuntaskan perkataannya, tapi kadang hal itu malah jadi menghambat si anak untuk berbicara. Kita bisa saja terus tanya, mau apa? kaka mau apa ya? Ibu kok belum ngerti? sampai sianak bisa mengemukakan apa yang ada dipikirannya Kakak sekarang suka curhat sama aku (waktu dia usia 10tahun) katanya ibunya suka nuduh dia. Aku tidak ngerti kenapa dia bisa punya pikiran seperti itu setelah ditanya tanya, rupanya dia sebel karena katanya kalau dia ngomong belum selesai ibunya sudah motong pembicaraan dia. "padahal bukan itu loh tante yang mau kakak bilang sama Ibu". "Ah kakak jadi males ngomong katanya kalau orang ngomong kita tidak boleh motong omongan orang. Tapi kalau kakak ngomong kok suka dipotong". Untung cepet ketahuan kalau dia punya pikiran seperti itu. Kalau keterusan? bukan tidak mungkin akan muncul masalah yang lebih serius lagi. (SK)
Usulan ini sudah aku terapin berulang untuk si kecil. Sudah uh..uh..uh.. sambil nunjuk botol. Aku tanya "adik mau apa", uh..uh..uh.. keukeuh nunjuk botol. Aku tanya "mau apa dik", sambil nunggu dia mau ngomong apa keluarnya uh..uh..uh.. lagi sambil nunjuk botolnya. Berapa kali masih begitu akhirnya aku ambil botol susu dia sambil bilang : adik mau minum susu ? Dia tuh uh, uh, uh, lagi sambil jalan balik ke dispenser tempet biasanya susu dibuatin, nungguin di situ. Kalau' ditanya lagi adik mau apa, waduh bisa langsung ngamuk. Mungkin pikirnya Ibuku ini sudah ngerti maksud aku masih tanya-tanya saja.
Aku sih masih berusaha terus nih, pengasuhnya juga aku ingatin terus supaya tetap merangsang adik untuk mau ngomong. Kakaknya, padahal cerewet betul, ngajakin ngomong adiknya. Semoga juga cuma masalah waktu saja ya, bukan yang lain-lain. (A)
Mungkin dicoba kata per kata. Jadi misalnya ditanya mau apa, tetap masih uh-uh-uh lagi, kitanya bilang, susu? Adik mau susu? Susu yang ini? S, u, s, u, coba dik, Berkali-kali-kali seperti gitu, lama2 lengket di otaknya, itu SUSU. Sembari terus melatih, kita juga tetap memperhatikan, juga mengingat2, apa ayah/ibu/sepupu2nya dulu juga ada yang begitu? Sebab anak tetatidaku, sudah 2 tahun lebih (dulu) belum bisa ngomong juga, ternyata dirunut2, sepupu2nya dari garis bapaknya semua rata2 begitu. Rata2 lancar bicara umur 3 tahun. Ya bener saja, memang dia umur 3 tahun baru lancar bicaranya (R).
Kalau menuruntuku adik itu sudah ada usahanya untuk mengemukakan apa yang dia inginkan. Adik kalau mau susu nunjuk botol laau ngajak ketempat dispenser, itu salah satu bentuk usahanya dia. Barangkali memang masih susah buat adik untuk bicara, tapi kita teruskan saja usahanya kalau sudah diambil susu dibilang oh adik mau susu ya? Susu, gitu terus, Insya Allah kalau berulang2 dan konsisten dilakukan oleh lingkungannya akan diinget terus sama sianak. Memang sebaiknya jangan sampai sianak ngamuk, takutnya menimbulkan frustasi yang berkepanjangan. (SK)
Kalau aku punya pengalaman dari kedua saudaraku yang pertama anaknya sampai 3,5 tahun susah ngomongnya pakaui bahasa planet, naah ibunya terus saja melatih dia untuk bicara ngikutin kata ibunya, dan katanya kakeknya tuh anak (bapaknya si ibu) dulu waktu kecilnya juga lama baru bisa bicara lancar sekitar umur 4 tahunan makannya si ibu santai saja, soalnya dikaitkan dengan cerita keturunan itu, kalau yang satu lagi anaknya mengalami autis ini terlihat dengan dia sering bicara planet dengan dunianya sendiri dimana dia ngoceh saja tanpa ketahuan
ngomong apaan, akhirnya ibunya menemui ahli wicara apa ya pokonya dokter anak di warung buncit untuk terapi bicara, dan alhamdullillah kata dokternya sajaran ibunya dalam melatih anaknya bicara sudah benar, anak dilatih untuk bicara keinginannya dengan dibantu, Akhirnya si autis bisa bicara walaupun belum jelas sekarang sudah kelas satu SD,(N)
Waktu itu aku sudah curiga abis karena anakku tidak bisa ngomong, ada sih mama, papa, tapi hiperaktif nya itu lho. Jadi sudah niat, 24 bulan tidak ngomong, bawa ke dokter, dulu di Malaysia dokternya bilang bukan autis. Masalahnya dibilangnya, speech and comm. disorder, Kemudian aku cek ke 3 dokter, idem dito, bukan autis, tapi pas di Jakarta, positif dibilang autis. Tapinya, terapi yang disuruh sama dengan yang dibilang dr. di Malaysia. Aku inget daftar pertanyaan dari Dr. Hardyono di KG itu ya, bisa dicek:
(1) Suka ketawa sendiri tidak
(2) Suka pegang2 penis
(3) Suka lihat & maenin benda berputar
(4) Usia satu tahun belum bisa menunjuk sesuatu yang dia mau/maksud
(5) Suka jingjit
(6) Suka berputar-putar
(7) Suka mengamuk kalau tidak dituruti (bisa membenturkan kepala ke tembok, atau tiduran di lantai, atau tahan nafas)
(8) tidak nengok kalau dipanggil
(9) Lebih suka main sendiri
(10)Suka menyusun mobil2an berderet2
(11)Kontak mata yang jarang dengan lawan bicara
Kalau 2 tahun belum bicara, atau ada ciri2 di atas, takutnya nyesel bawa saja dicek ke dokter, Aku ingetin begini, soalnya ada temenku sekarang nyesel banget telat bawa anaknya, 5 tahun baru ketahuan asperges. (IE)
Aku mau cerita ya, ibu, tentang anakku, dari umur 12-16 bulanan, aku sudah was-was karena anakku belum juga bicara, rasa khawatir ini timbul karena aku punya 2 temen dimana anak2 kita lahir hanya selang 10 hari dan anakku yang paling tua, kedua anak temanku itu umur 12-13 thn sudah bisa bilang num susu, bis, motor, bil-mobil, mama, papa, eyang, sudah lumayan jelas, smtr dia jauhhh, banget, deh dari mereka, kalau kita tanya andung, mana, dia tidak nunjuk ke ibuku, tapi cukup melemparkan pandang kearah ibuku dengan senyum, kesannya seolah2 ia bilang itu andung, setiap ditanya matanya mana; kakinya mana, lagi2 Cuma senyum2, sambil tetap ngeluarin suara2 bayi-nya, dirumah, rasanya jugan ditanya deh, gimana ramenya kita, hampir yang ibu semua lakukin buat anak2 ibu itu juga yang kita lakuin dirumah, bacain cerita, nyanyi, sampai untuk mengenalkan warna aku pakai dengan cara, kamu pakai baju putih ya, gitu deh, waktu aku baca postingan ibu, ternyata F juga melakukan hal ini, dari waktu ke waktu kita tetap usaha terus, kalau tanya ke dsa-nya, beliau cuma bilang, tetap saja bu dilatih, belum 2 thn kan? Tapi selama itu juga banyak pemahaman dan pengertian yang diterimanya, kalau dikasih perintah yang mudah2 dia bisa lakukan, spt ambil handuk buat mandi, pakai sepatu, bisa pakai sandal sendiri, buang sampah, semacam itu deh.
Antara umur 18-24 bulan, tiba2 aku surprise, waktu pulang, dia bisa bilang 'allahu akbar' dengan jelas tapi tanpa huruf 'r', rupanya sesiangan dia diajarin oleh kakeknya, tidak lama kmdn kata 'amin' karena dia sering lihat kita2 stelah shalat berdoa, terus waktu itu juga dia lagi getol2nya niruin gaya org shalat. Terus tidak berapa lama ibu DI ngomongin soal vcd iqra, wah, aku langsung beli, hampir tiap pagi slbm aku berangkat knt (kadang juga sore, tergantung maunya ayra juga) stel vcd ini, tidak nyangka dia nyimak, kata ibuku lagi dia juga mulai ikut2an berdendang kalau kita nyanyi. Sepanjang desember kemarin (pas 2 thn) banyak banget deh, ibu yang dia sudah bisa, sekali2, aku tanya lagi, mata kamu mana? dia tunjuk matanya, aku tanya lengkap dia bisa kasih tahu lengkap anggota badannya, dia juga sudah bisa nyebut panggilan2 org2 rumah, (kecuali mama/ayah dr dulu dia memang bisa), terus aku tanyain juga iqra alif, dia bisa, juga, aku tanya secara acak, ia juga bisa, (mis;dal diatas,nanti dia nyahut 'da', ) sudah bisa nyanyi lagu favoritnya 'topi saya bundar', sudah bisa bilang mamam(makan), o, iya, aku juga udah masukkin ke tempat bermain, tapi kayaknya belum efek deh, ke dia untuk bicara, karena dia sendiri masih cuek dan masih lebih banyak sama kitanya, ketimbang teman2nya, meskipun ditempatnya bermain itu, sudah lumayan banyak juga anak yang sudah bisa bicara, lihat dia saat ini paling tidak bisa mengurangi sedikit kekhawatiranku (aku sempet kepikiran juga siapa tahu dia autis), mudah2an dari bulan ke bulan nantinya ada kemajuan, demikian juga buat anak2 ibu, o, iya, aku seneng juga baca sharingnya ibu tentang ini, siapa tahu ada input tambahan buatku spy bisa merangsangnya bicara. (R)
Iya, aku dibilanginnya juga jangan bersedih dulu kalau baru bisa ngomong SSSS doang buat susu, sudah harus dikasih reward tu kalau bilang "SSsss..." pas mau susu. Anakku dulu baru bisa ngomong umur 5 tahun lho, sampai sekarang kalau ngomong masih irrrriiit banget. (IE)
Kalau menurut pendapatku, beda anak, beda kasus, beda penanganan. Ada late talkers karna lingkungannya pendiem. Ada yang justru karna lingkungan terlalu bawel. Ada yang terbantu dengan 'dipaksa' menyelesaikan kalimat. Tapi ada yang justru jadi frustrasi banget trus takut omong (karena dia merasa tidak ada org yang mau ngertiin dia, lha dia mana tahu bahwa kita sedang nunggu dia ngucapin kata yang benerkalau buat dia kan itu kata sudah bener. Jangan kecil hati karena ngelihat suatu metode berhasil di org lain dan tidak di kita dan kalau kita mau jadiin usia sebagai indikasi normal / tidaknya tumbuh kembang anak kita, hati-hatilah, yakin dulu bahwa kita memang tahu ilmunya jadi was-was itu manusiawi sekali, tapi kalau saking waswasnya trus berdasarkan cerita org lain kita memastikan kasusnya anak kita, apalagi trus kita taruh label tertentu pada si anak dan memilih sendiri penanganannya ini yang bahaya. Yang jelas, sebagai orgtua insya Allah kita punya deh insting kalau emang kita rasa ada yang tidak beres cari, cari, cari pendapat dari yang kompeten dokter anak, psikolog, kalau bisa tim sih lebih bagus yang penting bisa diajak diskusi sampai ngelotok sampai semua pertanyaan & keraguan terjawab kalau masih ada yang dirasa tidak puas, cari lagi pendapat lain, untuk bisa tegakkan diagnosa apapun, butuh pemeriksaan dan analisa detil yang didasarkan sejarah tumbuh kembang si anak dan observasi langsung! ini yang terpenting. Karena sekali lagi, tiap anak beda, tiap anak super istimewa, (H)
Soal anak belum bisa ngomong emang bikin kita cemas ya. Aku kalau berdo'a berharap perkembangan bayiku dalam perut kelak akan selancar kakaknya, jadi kalau kakaknya ngoceh aku suka berdo'a dalam hati agar adiknya pun lancar perkembangannya, padahal kalau dipikir saat hamil pertama itu aku merasa lumayan tertekan lho, maksudku saat itu kebetulan aku lagi ada masalah rumah tangga, makanya kalau lihat dia lari2 trus ngoceh nanya ini itu aku cuman bisa bilang Subhanallah kalau inget saat hamil dia betapa "mandiri" nya aku, betapa "pendiam"nya aku, dulu saat hamil dia aku juga suka makan junk food, kalau tidak bisa keluar rumah aku punya daftar delivery service masing2 restoran junk food, hehehe, aku tahu itu tidak bagus, habis daripada tidak ada yang masuk perut, sekarang Z sudah 2 th,aku juga tunda dulu imunisasi MMRnya,meski blom sekolah skrg dia sudah bisa bilang one sampai ten,yang penting kalau ngajarin ke anak kita jugan cemas, anak mungkin ikut merasakan ketegangan kita,ikhlas dengan kondisi anak & rileks saja sambil jalan, toh tiap anak itu unik & perkembangannya tidak selalu sama, aku selalu bicara saat melakukan kegiatan bersama anakku sejak dia bayi, apapun itu,lagi ganti popok,mandiin,bahkan sabun jatuhpun kuungkapkan seolah dia ngerti sabun itu licin, kebetulan pbt-ku juga full comment kalau nonton TV,oh ya ada yang bilang TV juga merangsang anak cepat bicara, asal tepat yach tontonannya,VCD juga membantu, dulu anakku kalau nanya suka bilangm?,hm?, hm?, jadi kita jawabnya berulang2, ternyata dia niru pbt-ku kalau diajak ngobrol temennya suka bilang gitu, akhirnya aku tegur jangan 'hm",tapi "apa bunda?", atau "apa Mbak?", itu kukatakan berulang2 tiap kali dia ber hm-hm-ria, skrg sudah tidak lagi,malah suka ngeledek,"apa bunda?,hm?,hm?,hm?", kemudian dia terkekeh. (C)
Anakku yang besar (now 25 mos), termasuk yang lambat mulai bicara. Sempat juga kita khawatir dengan autis, speech delay atau penyakit lainnya. Padahal orang di rumah cerewetnya bukan main, bingung kan Akhirnya mulai umur 20 bulanan, aku coba salah satu cara yang disarankan ibu DI yang pinter-pinter ini. Aku belikan VCD lagu-lagu anak banyak sekali (beli di sojong, murmer dan kumplit) Setiap hari bangun tidur langsung setel VCD, malam pulang kantor, setel VCD sampai tertidur. Lalu dari VCD itu beberapa lagu favorit kita rekam di kaset, nah kaset itu diputar berulang- ulang, ya di jalan, ya waktu makan siang pokoknya setiap ada waktu. Hasilnya dalam waktu tidak terlalu lama, anakku bisa menyanyikan lagu lengkap Misalnya nina bobo, cicak didinding, naik-naik kepuncak gunung etc sekarang malahan lagu-lagi yang lumayan susah/panjang dia sudah bisa. Kesimpulanku sih, dia bukan belum bisa ngomong, tapi memang dia belum pengen/stimulusnya kurang tepat. Kalau kata-kata, herannya malahan baru bisa merangkai dua kata spt "mau berenang" (nah ini fasih banget), "mau mandi" yah pokoknya dua kata saja, aku belum pernah denger dia ngomong 3 kata.Kalau kosa katanya sih sudah lumayan banyak, semua benda di rumah dia tahu namanya. Lumayan, aku sudah agak lega (V)
Tanya
Ibu, kenapa ya kok banyak anak yang autis dan hiperaktif sudah berapatemen dan saudara yang anaknya autis dan hiperaktif ini akibat dari apa ya? Kata temen karena banyaknya mengkonsumsi junk food tapi masa' iya sih? Kalau ada yang tahu sharing dong, (Nt)
Kalau aku dibilanginnya karena turunan, ada yang karena rubela pas hamil, ada yang curiga karena MMR.Tapi bisa jadi juga, karena sekarang sudah banyak informasi tentang autis, jadi baru ketahuan deh anak autis. Soalnya dulu suamiku tidak dibilang autis, pdhl dari cerita mertua, curiga banget dia autis karena ciri2nya ada semua. Dokterku sendiri di tempat yang lama, tidak mau nge-cap pasiennya autis sebelum 5 tahun, sementara banyak juga kan dokter yang begitu lihat langsung yakin pasiennya autis. Aku inget dulu selalu di saranin second opinion, ya ? Biar lebih yakin, Kalau junkfood sih aku tidak tahu bisa jadi penyebab, cuma fyi, anak autis tidak boleh makan junkfood and msg, (IE)
Kalau aku sih sudah bukannya second opinion lagi, sampai fourth, five, sixth opinion. Tidak percaya ahli-ahli disini pakai ahli negeri seberang juga,, dan hasilnya sama, dengan begini aku (mudah-mudahan) tidak salah menanganinya. Jadi aku tidak sekedar "ikut-ikutan" atau "latah" therapy ini dan itu, mana jaman aku 5 thn yang lalu itu susah cari info karena belum banyak yang tahu. Seperti yang sudah aku share sebelumnya yang terpenting, cari dulu akar permasalahannya, kemudian cari ahli yang tepat dan temukan penanganan yang cocok sesuai saran ahli dan hati nurani masing-masing. (DN)
Perkembangan bicara anak pertamaku bukan main cepetnya kalau tidak mau dibilang kecepetan. Tapi anak kedua lain sama sekali, sudah 2 th sekarang tapi belum terlalu lancar bicaranya, kadang yang denger masih tidak ngerti. Padahal kalau dipikir, dulu anak pertamaku kan kalau aku ke kantor cuma ditinggal ama BSnya, sementara anak kedua sekarang lebih banyak temennya, ada kakaknya, BSnya, mbaknya kakaknya, mamiku, dll, logikanya anak kedua harusnya bisa lebih lancar berbicara. Tapi kenyataannya lain. Aku sih cuma mikir, yah anak adalah individu yang unik, selama secara keseluruhan perkembangannya baik, aku tenang-tenang saja. (SM)
Apa anak ke dua begitu ya??
Anakku memang baru 8,5 bulan. Actually dia sudah mulai ngoceh. Cuma herannya dia banyak ngoceh pas jam 4 pagi saat dia bangun karena pup. Atau jam2 Abangnya tidur. Aku perhatiin sih begitu. Mungkin kalau Abangnya sudah bangun, adiknya merasa kalah suara kali ya?? Soalnya si Abang anaknya bener2 heboh gitu. Aku sekarang rada2 cemas gitu, kasian juga lihat Arei tidak banyak omong saat ada Zaldi. Paling dia cuma senyum2 dan ketawa saja. Padahal aku sudah pancing2 supaya dia ngoceh. Tapi memang dia lebih banyak silent. Tapi memang dia tetep aktif ngikutin becandanya Abang. Sampai Embah-Abahnya bilang "ini anak idep (tidak banyak tingkah)". Tapi aku kok jadi worry ya? Jadi kalau jam 4 dia bangun, aku seneng banget, ngocehnya tidak brenti2. Ada tidak ibu yang pengalaman begini? Atau ada ide gimana supaya si adik tidak kalah suara sama Abangnya? (S)
Waktu bayi, kakanya pendidam, tidak pernah ngoceh, tp umur 1 th tahu-tahu saja dia ngomong, jelas dan nyambung. Sementara adiknya, waktu bayi malah cerewet sekali, ngoceh terus, aku kirain bakalan cepetngomong, tahunya. salah aku. (SM)
Kok yang sering aku temui tentang anak ke-2 begitu ya? Ibunya rata2 bilang, anak pertama bicaranya cepet, anak kedua lebih lambat. Apa kira2 karena terlalu ramai gitu, maka si anak lebih asyik mendengarkan daripada berlatih bicara ? (R)
Kalau kasus keponakanku karena anak pertama dominan di rumah dan seringnya sibuk dengan dirinya sendiri/main sendiri dan setiap adiknya mau ngomong sering dipotong dan ortunya secara tidak sengaja jadinya lebih sering ngobrol dan dengerin ngomongnya si kakak yang jelas daripada dengan si adik yang ngomongnya tidak jelas maksudnya, mungkin itu bikin si adik frustasi ya? Menurut DSA anakku biasanya anak ke 2 ngomongnya cepet juga karena meniru kakaknya apalagi kalau kakaknya banyak ngomong kecuali kasus tadi dan kebanyakan anak yang lambat bicaranya anak laki2 mungkin anak perempuan lebih cerewet kali ya? (Nt)
Adikku pernah cerita kalau dia ketemu seorang ibu yang lagi terapi bicara anaknya di Klinik Anakku Bekasi. Menurut ibu ini setelah konsul beberapa kali dengan psikolog ketahuan anaknya telat bicara karena terbebani oleh kondisi kakak yang nota bene jadi "benchmark" si adek. Si adek pengen sekali seperti si Abang kesekolah, punya teman,main sepeda dst, sementara jarak umur membuatnya tidak bisa dan frustasi. Solusinya selain terapi si Ibu memberikan fasiltas sama dengan si Abang spt memasukkan ke PG membelikan sepeda dst. Aku juga baru tahu kalau hal seperti itu bisa juga membuat si adek mogok bicara. Aku juga harus waspada nih, dengan perkembangan anak keduaku (masih 6 bulan) karena si kakak super aktif untuk semua kegiatan termasuk bicara.(Es)
Anakku yang ke dua (N) juga gitu, sampai sekarang sudah 16 bulan masih pakai bahasa planet, dia baru bisa bilang 'mama' dan 'udah'. Lain banget sama N (anak I) yang usia 14 bulan sudah mulai banyak mengucapkan kata2 walaupun hanya belakangnya saja. Tapi dari bayinya N memang banyak ngoceh, kebalikannya N tidak suka ngoceh, seingatku dulu pernah dibilang kalau anak bayi suka ngoceh ngomongnya lama, tapi kalau diem ngomongnya cepat. Hal ini terbukti untuk kedua anakku, tapi kalau interaksi dengan kita biasa2 saja, anaknya normal2 saja kan ibu? (YA)
Referensi Buku: Stephen Camarata John F. Kennedy Center on Development and Disabilities
KALAU KEMAMPUAN BICARA TERHAMBAT
Di usia prasekolah, kosakata yang dikuasai seorang anak harusnya sudah sangat banyak. Namun, adakalanya hambatan datang menghadang. Bagaimana mengatasinya?
Sebagian masyarakat kita percaya pada mitos yang mengatakan anak laki-laki lebih lambat menguasai kemampuan bicara dibanding anak perempuan. Padahal penelitian yang ada menunjukkan prosentase kemampuan bicara antara anak laki-laki dengan anak perempuan sama saja. Apalagi, kemampuan bicara manusia sebetulnya sudah terlihat sejak ia dilahirkan, ditandai dengan tangisan bayi begitu keluar dari rahim ibunya.
Mitos itu mungkin muncul karena keterlambatan bicara pada anak laki-laki lebih cepat terdeteksi ketimbang pada anak perempuan. Bukankah, perilaku anak laki-laki yang lebih aktif dan agresif mampu menarik perhatian orang di sekitarnya, sehingga kalau ada sesuatu yang terjadi pada mereka akan lekas ketahuan. Berbeda halnya dengan bayi perempuan yang kebanyakan lebih kalem walaupun tidak mesti begitu.
Terlepas dari persoalan yang diangkat mitos tersebut, menurut Roslina Verauli, M.Psi., anak usia prasekolah umumnya sudah dapat bicara dengan lancar. Kosakata yang dikuasainya sudah lebih dari 1.000 kata. Anak usia ini pun sudah mengenali sopan santun dalam bicara. "Ia sudah bisa membedakan bagaimana cara berbicara dengan teman atau bagaimana menjawab pertanyaan orang tua," tambah dosen Fakultas Psikologi Universitas Tarumanagara, yang akrab disapa Vera ini.
Kendati pada beberapa anak masih ada pelafalan kata yang belum jelas benar, umumnya baik pemilihan kata maupun penggunaan tata bahasa sudah mendekati kemampuan orang dewasa. Jadi, setelah tahapan ini anak tak banyak mengalami perkembangan kemampuan bicara sampai ia kelak dewasa.
HARUS WASPADA
Walaupun kemampuan bicara anak tidak dapat digeneralisir berdasarkan usia, orang tua hendaknya mulai waspada bila anaknya menunjukkan keterlambatan perkembangan kemampuan bicara. "Harusnya usia empat tahun ke atas, anak sudah cerewet dan banyak omong. Bila anak baru bisa mengucapkan sepatah dua patah kata dengan tata bahasa yang belum benar, orang tua harusnya waspada," ujar Vera mengingatkan.
Menurut Vera, pada dasarnya gangguan kemampuan bicara anak dibedakan menjadi dua, yakni si anak memang mengalami gangguan bicara atau sekadar keterlambatan biasa. Deteksi dini bisa dilakukan sendiri oleh orang tua di rumah dengan memperhatikan beberapa keadaan berikut:
* Organ pendengaran
Pancing anak dengan pertanyaan terbuka, misalnya, "Ini gambar apa, Sayang?" Pertanyaan terbuka memungkinkan orang tua mengeksplorasi dan menilai kemampuan bicara sekaligus organ pendengaran anak.
Bila anak tidak menunjukkan reaksi sama sekali, maka orang tua harus waspada dengan segera memeriksakannya ke dokter THT.
Anak dengan gangguan pendengaran tidak akan memberi respons terhadap bunyi-bunyian di sekitarnya, seperti suara gemerincing, suara musik dan sebagainya.
* Otot bicara
Bila lafal bicara anak tak kunjung sempurna, orang tua sebaiknya waspada dengan membawa anak ke dokter untuk diperiksa apakah otot bicaranya mengalami gangguan. Bisa jadi otaknya sudah memerintahkan untuk menjawab dengan benar, tapi yang keluar dari mulut tetap tidak jelas karena adanya gangguan neurologis atau persarafan.
* Kemampuan kognitif
Patut dicatat bahwa perkembangan kemampuan bicara anak erat hubungannya dengan perkembangan kognitif. Anak yang sudah bisa bicara berarti sudah mampu merepresentasikan objek yang dilihat dalam bentuk image. Bila ada gangguan kognitif, maka image tersebut tidak akan terbentuk. Bisa jadi anak memang mempunyai keterbatasan pada intelegensinya dan ini bisa dideteksi sendiri oleh orang tua dengan melihat kemampuan motorik anak. Misalnya, anak yang mengalami gangguan bicara biasanya juga kurang mampu melakukan aktivitas lain.
Jika ia kurang terampil memakai sepatu, contohnya, sudah hampir bisa dipastikan anak bermasalah dengan kemampuan kognitifnya. Pada gilirannya akan ada hubungan timbal balik antara kemampuan bicara dengan perkembangan kognitif anak.
MACAM GANGGUAN DAN CARA PENANGANAN
Disamping gangguan yang disebabkan kerusakan organ tubuh, ada juga gangguan yang disebabkan faktor psikologis. Beberapa gangguan bicara banyak dijumpai pada anak usia prasekolah, antara lain:
* Cadel
Cadel sendiri dibedakan menjadi 2, yaitu cadel karena faktor psikologis dan cadel karena faktor neurologis. Cadel yang disebabkan faktor neurologis berarti disebabkan adanya gangguan di pusat bicara. Untuk mengatasinya, anak dengan gangguan ini harus segera dibawa ke neurolog. Pada prinsipnya, gangguan ini masih bisa ditangani. Namun bila kerusakannya termasuk parah, bukan tidak mungkin akan terbawa sampai dewasa.
Cadel yang kedua adalah cadel yang disebabkan faktor psikologis. Karena kehadiran adik, contohnya, maka untuk menarik perhatian orang tua, anak akan menunjukkan kemunduran kemampuan bicara dengan menirukan gaya bicara adik bayinya. Untuk mengatasinya, orang tua harus menunjukkan bahwa perhatian padanya tidak akan berkurang karena kehadiran adik.
Selain itu, orang tua juga harus terus mengajak anak bicara dengan bahasa yang benar, jangan malah menirukan pelafalan yang tidak tepat. Pada kasus yang parah, sebaiknya segera bawa anak ke ahlinya agar bisa tergali apa masalah yang melatarbelakanginya.
* Gagap
Bila anak bicara dengan cara "aaa...aaakkuu", "eee..eebaju" atau mungkin, "mak...mak...makkann", anak bisa dikategorikan sebagai anak gagap. Gagap juga bisa disebabkan faktor neurologis. Untuk penanganannya anak harus segera dibawa ke dokter agar mendapat pengobatan lebih intensif.
Gagap yang disebabkan faktor psikologis biasanya dialami anak-anak yang mengalami tekanan. Entah orang tuanya terlalu otoriter, keras, bahkan kasar. Gagap psikologis ini akan bertambah parah bila anak mendapat hukuman dari lingkungan. Semisal ditertawakan temannya, dikagetin atau tiap kali gagap orang tua langsung melotot sambil membentak, "Ayo, bicara yang benar!" Anak akan makin tegang dan gagapnya makin menjadi-jadi.
Ketegangan emosional ini berhubungan langsung dengan ketegangan otot bicaranya. Makin tegang otot-otot bicaranya, anak akan makin kesulitan.
Cara menangani anak dengan gangguan ini adalah dengan mengajaknya tenang, ambil napas dan konsentrasi pada apa yang akan diucapkannya. Kalau perlu elus-elus punggungnya untuk memberi rasa tenang. Sedangkan pada kasus anak gagap yang parah, sebaiknya libatkan ahli.
* Gangguan pervasif
Adalah gangguan bicara dimana ucapan seorang anak berlangsung melompat-lompat dan tidak konsisten. Bisa jadi anak seperti ini sebetulnya mengalami gangguan ADD (attention defisit disorder). Anak yang mengalami keterbatasan atensi ini mengalami masalah di pusat sarafnya. Gangguan ini biasanya tidak berdiri tunggal, tapi dibarengi ciri-ciri lain, semisal pekerjaannya tidak pernah tuntas, sulit/tidak bisa konsentrasi dan sebagainya. Yang juga termasuk dalam gangguan ini adalah para penderita autis. Namun untuk memastikannya, tak ada cara lain kecuali mendatangi ahli.
* Tunawicara
Gangguan bicara yang paling berat adalah tunawicara. Usia ini merupakan saat yang paling tepat untuk mengetahui apakah anak mempunyai kelainan tersebut atau tidak karena pada usia ini kemampuan bicara anak umumnya sudah bagus. Jika ia hanya mengeluarkan bunyi-bunyi khas tanpa makna, semisal "uuh..uuh", "eeh...ehh", untuk menjawab/menunjuk semua benda, hal ini bisa dijadikan indikator kalau dia belum bisa bicara sama sekali.
Bila sudah ada gejala seperti itu, sebaiknya anak segera dibawa ke dokter. Untuk langkah pertama bisa dibawa ke dokter anak sebelum mendapatkan penanganan yang lebih intens.
MERANGSANG ANAK BICARA
Menurut Vera, bila kondisi anak dengan gangguan bicara dibiarkan saja, ia akan mengalami kesulitan bersosialisasi. Misalnya di kelompok bermain atau TK, anak dituntut untuk menyanyi, menjawab pertanyaan dan hal-hal lain yang membutuhkan kemampuan bicara.
Kesulitan akan semakin terasa bila anak sudah memasuki usia SD karena gangguan bicara juga akan menyulitkan anak untuk belajar menulis. "Bukankah saat menulis, seseorang membutuhkan inner speech, yakni kemampuan bicara yang ada di otak? Nah, kalau kemampuan itu tidak dikuasainya, tentu akan merembet ke hal-hal lain," papar Vera.
Untuk menstimulus kemampuan bicara anak, ada beberapa hal yang bisa dilakukan orang tua, di antaranya:
* Bicara pada anak
Bicara pada anak tidak sama artinya dengan memberi perintah ataupun melarang ini-itu. Sayangnya, orang tua sering sudah merasa cukup bila bicara dalam bentuk perintah, padahal isi pembicaraannya hanya, "Jangan ke situ, nanti jatuh!" atau "Ayo, pakai sepatunya." Perintah-perintah satu arah seperti itu tentu saja tidak memberi kesempatan kepada anak untuk bicara.
Begitu juga orang tua yang merasa selalu mendampingi anaknya. Tak jarang mereka merasa sudah cukup mengajak anaknya bicara, padahal selama menemani si anak beraktivitas, bukan tidak mungkin si orang tua justru asyik melakukan aktivitasnya sendiri. Misalnya dengan membiarkan anaknya bermain hanya agar ia bisa tenggelam di balik majalah yang tengah dibacanya.
* Melontarkan pertanyaan terbuka
Usahakan untuk selalu memberikan pertanyaan terbuka alias pertanyaan yang tidak cukup dijawab hanya dengan "ya" atau "tidak". Misalnya, bukan "Kakak sudah makan belum?" tetapi "Kakak tadi makan apa?" Dengan mengajukan pertanyaan ini, mau tidak mau anak tertantang untuk memberi jawaban yang lebih panjang daripada sekadar "sudah" atau "belum" dan "ya" atau "tidak".
* Dongeng
Mendongeng juga bermanfaat menambah perbendaharaan kata anak. Melalui dongeng anak bisa diperkenalkan dengan kosakata baru, seperti raksasa, gunung, bidadari dan kata-kata lain yang tidak biasa digunakan dalam percakapan sehari-hari. Vera menganjurkan agar upaya tersebut tidak berhenti sampai di situ. Ketika mendongeng, pancing anak untuk menceritakan kembali isi dongeng yang telah didengarnya. Misalnya dengan menanyakan, "Menurut Adek, kenapa ya kapalnya bisa tenggelam?" Pertanyaan kreatif seperti itu, selain bisa mengembangkan kemampuan bicara anak, juga mampu merangsang kemampuan kognitifnya.
* Betulkan ucapan anak
Seringkali bahasa "anak-anak" muncul kembali di sela-sela kalimatnya yang sudah mulai runut. Untuk mengatasinya, jangan menyalahkan anak dengan mengatakan. Semisal, "Adek apa-apaan, sih, ngomongnya kayak anak kecil!" melainkan beri contoh yang tepat dengan mengulangi kalimatnya. Dengan begitu anak mengerti mana yang salah dan bagaimana ucapan yang seharusnya.
Temperamen anak yang beragam bisa membawa dampak yang berbeda pula. Ada anak yang memang cerewet, sehingga orang dewasa di sekitarnya merasa senang karena anak terlihat lebih "pintar", dan ada juga anak yang memang pendiam. Menyikapinya, orang tua harus bisa tampil bijak. Selama si anak pendiam tidak menunjukkan kesulitan dalam bicara dan tidak ada gangguan yang menyertainya, tak perlu memaksa anak untuk terus bicara.
Ada cerita menarik tentang kemampuan bicara penemu teori relativitas Albert Einstein. Sampai usia hampir 4 tahun Einstein belum menunjukkan perkembangan kemampuan bicara yang berarti. Sampai-sampai gurunya putus asa dan mengatakan, "Anak bodoh ini tidak akan jadi apa-apa kelak."
Akan tetapi ternyata ramalan si guru keliru. Kelak di kemudian hari nama Einstein justru begitu dikenal sebagai si jenius peraih Nobel. Intinya, jangan dulu berputus asa bila anak mengalami keterlambatan bicara. Selama memang sudah dipastikan tidak ada gangguan/kelainan yang menyertainya, bisa jadi ini hanya masalah waktu. Pada kasus Einstein ternyata perkembangan kemampuan bicaranya memang lebih lambat dibanding perkembangan kognitifnya.
PERKEMBANGAN KEMAMPUAN BICARA | |
Usia | Perkembangan Kemampuan |
lahir 3 bulan | Menangis |
3-6 bulan | Mengeluarkan bunyi tanpa arti sama sekali (cooing) |
6-8 bulan | Mengucapkan "mamamam", "papapap" dan sebagainya (bubbling) |
12 bulan | Anak mulai bisa mengucapkan kata pertamanya, seperti "mama" |
18 bulan | Sudah ada peningkatan kemampuan bicara. Anak sudah bisa mengucapkan satu kata meskipun tanpa disertai tata bahasa. Misalnya: "makan", "minum", dan sebagainya. |
2 tahun | Anak sudah bisa merangkai beberapa kata menjadi kalimat sederhana. Misalnya, "Aku makan." |
3-4 tahun | Anak sudah menguasai lebih dari 1.000 kosa kata. Kemampuan tata bahasanya pun sudah meningkat pesat. Misalnya, anak sudah bisa mengatakan, "Aku mau makan pisang manis." |
4-6 tahun | Anak mulai mengenali sopan santun dalam bicara. Misalnya, ketika menjawab pertanyaan guru atau orang dewasa, anak sudah bisa memilih kata yang lebih santun. |
"Syang, Kita puasa yuk!"
Bagaimana mengenalkan ibadah puasa pada anak usia 3-5 tahun? Ditambah lagi, orangtua berkewajiban mengajarkan pada anak bahwa di bulan suci Ramadan, ia juga harus mampu menahan marah, iri, dengki, dan perbuatan-perbuatan lainnya yang tidak disukai Allah. Dengan begitu, di luar bulan Ramadan ia pun bisa melakukan hal tersebut lebih baik lagi. Orangtua juga perlu mengatakan pada anak, dengan khusuknya menjalankan ibadah di bulan Ramadan, maka pahala atas amal perbuatannya akan dilipatgandakan.
Masalahnya, semua ajaran itu bersifat abstrak sedangkan pola pikir anak usia prasekolah masih konkret operasional. Untungnya masalah ini tidak menjadi hambatan. Seperti kata Fitriani F. Syahrul M.Si., anak memiliki kemampuan yang menakjubkan untuk menangkap, mencerna, dan memahami itu semua secara bertahap.
Lagi pula, usia prasekolah adalah masa yang tepat untuk memupuk berbagai kebiasaan, termasuk beribadah. Diharapkan, di usia sekolah dan remaja nanti, orangtua tidak terlalu repot membujuk-bujuk anak untuk menjalankan puasa. "Jadi prinsipnya, semakin awal dikenalkan akan semakin diserap oleh anak. Hasilnya akan semakin baik pula bagi anak, karena di usia selanjutnya ia dapat memahami hal tersebut dengan lebih baik. Selain juga dapat menghindari masukan yang salah tentang hal ini dari orang lain," beber pemilik dan psikolog Sekolah Lentera Insan, Depok, Jawa Barat ini.
MEMORI BAIK TENTANG RAMADAN
Menurut Fitriani, untuk anak usia prasekolah yang paling utama dan terpenting diberikan adalah penanaman memori-memori yang baik tentang bulan Ramadan. Jangan buru-buru mengaitkannya dengan penghapusan dosa. Juga, hindari anak mendapatkan kesan bulan Ramadan itu adalah bulan penyiksaan atau penderitaan.
Jadikan hari-hari di bulan Ramadan ini sebagai sesuatu yang sangat menyenangkan. Ciptakan suasana yang berbeda dari bulan-bulan lainnya, supaya anak turut merasakan bahwa bulan Ramadan adalah bulan spesial yang selayaknya disambut gembira.
Bagaimana caranya? Gunakan pendekatan secara fisik. Contohnya, menghias rumah, membuat acara bersama selama bulan Ramadan, membuat bingkisan yang bisa juga kita jadikan hadiah untuk anak, dan lainnya. Supaya anak makin senang dengan tibanya bulan Ramadan, ajak ia untuk membuat hidangan berbuka, dari berbelanja bahannya sampai penyajiannya di meja. Anak pasti merasa seru jika dilibatkan mensyukuri Ramadan.
KENALKAN IBADAH-IBADAH LAINNYA
Orangtua perlu juga menanamkan sekaligus memberi tahu anak tentang ibadah-ibadah lain khas bulan Ramadan. Caranya, kata Fitriani, dengan mengajak anak merasakan dan mencoba secara langsung.
Salat Tarawih
Jelaskan pada anak bahwa salat Tarawih adalah salat malam yang cuma ada di bulan suci Ramadan. "Jadi Nak, sayang sekali kalau kita tidak melakukannya," misal.
Karena anak usia ini sudah bisa diberi pengertian, maka sebelum mengajaknya salat Tarawih di mesjid, bisiki dulu, "Nanti di mesjid kita Tarawih, tapi tidak boleh teriak-teriak dan lari-lari, ya."
Biasanya Tarawih di mesjid menyenangkan bagi anak, selain ramai juga banyak temannya. Karena itu, kita boleh memberikan sanksi bila anak melakukan pelanggaran. Misalnya, tidak akan diajak ke mesjid lagi.
Berbuka puasa
Orangtua sebisa mungkin berbuka di rumah. Jadikan acara berbuka puasa sebagai acara makan berjamaah. Di sini anak akan mendapatkan sensasi dan suasana yang lain lagi, "Asyik ya. Buka puasa makanannya enak. Sama-sama lagi," misalnya.
Salat berjamaah
Setiap waktu salat tiba dan kebetulan orangtua berada di rumah, jangan lupa mengajak si kecil. Sekalipun salatnya masih ngawur atau malah dia cuma guling-guling, tak masalah. Yang terpenting, kita bisa membuat suasana yang dapat dirasakan oleh anak secara nyata semisal, "Bulan Ramadan itu asyik, kumpul dan sama-sama terus."
Tadarus atau membaca Alquran bersama-sam
Baik sekali jika meluangkan waktu untuk mengajari anak setelah atau sebelum orangtua mengaji. Tadarus dengan anak jauh lebih seru dan mengena jika dilakukan sambil bermain, mewarnai huruf hijaiyah, membuat huruf hijaiyah lalu digunting dan ditempel, atau menghafal surat-surat pendek. Alangkah baiknya lagi jika acara tadarus diselipi dengan cerita mengenai kebajikan nabi dan rasul.
TIGA HAL PENTING
Menurut Fitriani, ada tiga hal penting yang perlu diajarkan pada anak berkaitan dengan bulan Ramadan, yaitu:
1. Kedisiplinan dalam berpuasa
Saat sahur, bangunkan anak untuk ikut bergabung menyantap makanan. Gunakan kesempatan ini untuk menjelaskan padanya, "Dengan sahur, badan kita tetap sehat dan kuat. Jadi, tidak makan dan minum di siang hari pun tidak apa-apa."
Akan tetapi, jangan pernah memaksa anak. Kalau si kecil tak mau dibangunkan, ya sudah, biarkan saja ia melanjutkan tidurnya. Esoknya, kita coba lagi untuk kembali membangunkannya di saat sahur.
Pagi hari, ajak anak untuk berpuasa. Jelaskan padanya, karena dirinya masih belajar, maka aturan berpuasanya tidak sama seperti orang dewasa. "Nanti siang kalau kamu lapar atau haus sekali, boleh kok, minum dan makan," misalnya.
Alangkah baiknya jika dari hari ke hari kita tingkatkan kemampuannya berpuasa. Umpama, yang tadinya buka pukul 08.00, besok-besok bukanya pukul 08.30, lalu besok-besoknya lagi buka pukul 09.00, dan seterusnya.
2. Kemampuan untuk mengendalikan diri
Pengendalian diri yang bisa kita tanamkan pada anak usia ini masih sangat sederhana. Antara lain, bersikap jujur dan belajar mengukur kemampuan diri. Untuk mendukung hal ini, sebaiknya kemajuan yang dicapai oleh anak tidak harus disusul dengan pemberian imbalan berupa benda. Tujuannya, agar apa yang dilakukan anak tidak semata-mata demi mendapatkan imbalan.
3. Tingkah laku prososial
Mulailah dari empati, selanjutnya diharapkan anak mau berbuat sesuatu dalam rangka menolong atau berbuat untuk sesamanya. Cukup katakan, "Oke, sekarang kamu buka puasa tapi om dan tante juga kakak-kakak sedang puasa, enggak baik makan di depan orang yang puasa," misalnya. Diharapkan, dengan begitu tumbuh keyakinan atau iman yang kuat pada diri anak.
Ajarkan juga pentingnya berempati pada kaum papa. Contoh, "Beginilah rasanya teman-teman kamu yang berada di jalan, mengamen atau memulung. Makan susah, apalagi beli baju." Lanjutkan dengan penanaman nilai kebaikan, "Maka dari itu kalau makan tidak boleh bersisa, harus dihabiskan. Supaya bisa habis, ambil makanan secukupnya. Daya tampung perutmu kan terbatas." Dengan demikian, kita pun mengajari anak untuk bisa menghargai makanan dan menahan diri.
HIDUPKAN TEVE HANYA PADA JAM-JAM TERTENTU
Agar proses pembelajaran berjalan sukses, menurut Fitriani, orangtua harus memerhatikan beberapa aspek yang dapat menggagalkannya. Antara lain, pesawat televisi. "Sering kali acara televisi membuat anak menolak jika diajak untuk melakukan ritual ibadah."
Karena itu, perlu diciptakan situasi yang kondusif. Tak ada cara selain bahwa seluruh anggota keluarga sadar akan hal ini. Khusus di bulan Ramadan, televisi hanya dinyalakan pada jam-jam tertentu di luar waktu ibadah atau kebersamaan seperti berbuka puasa.(tabloid-nakita)
BELAJAR MENJADI DERMAWAN YANG RASIONAL
Pernah tidak, mendengar cerita ada anak yang kalau memberi sesuatu suka berlebihan. Misalnya saja, dengan enteng dia memberikan seraup uang logam yang ada di mobil ibunya kepada seorang pengemis di jalan. Kalau dijumlahkan, uang logam dalam genggamannya itu bisa mencapai 3 ribu sampai 5 ribu rupiah. Padahal pengemis di jalan tidak cuma satu. Masih banyak pengemis lain yang akan minta sedekah. Dari situ, wajarlah kalau lantas orangtua menilai anak kelewat dermawan.
Akan tetapi bagi anak sendiri sebenarnya bukan suatu masalah apakah terkesan berlebihan atau tidak. Si prasekolah memaknainya berbeda. Betapa senangnya bisa berbagi dengan orang lain. Betapa bahagianya melihat orang lain senang. Rasa bahagia yang diperoleh dari ketulusan menolong orang lain tiada terkira nilainya. Kepekaan sosial anak pun akan semakin terasah.
Karena itu, tak perlu buru-buru melarang anak melanjutkan kebiasaan berbaginya. Larangan hanya akan menimbulkan pertanyaan atas inkonsistensi sikap orangtua yang sebelumnya mungkin mengajarkan perlunya tolong-menolong dengan orang lain. "Lo, kok sekarang aku dilarang, apanya yang salah?"
Lebih baik, ajari anak untuk mengelola pembagian itu. Misalnya, "Coba Nak, uang yang kamu punya mau diberikan kepada siapa saja? Sebagian buat pengamen dan sebagian lagi buat pengemis ya? Nah, sebagian lagi buat sedekah di masjid ya." Dengan begitu anak juga belajar bersikap "adil" dengan merencanakan ke mana saja uang yang hendak diberikannya.
Akan tetapi sekali lagi, sah-sah saja kalau memang anak mau memberikan sesuatu kepada orang lain secara "royal". Dia semata-mata tulus ingin berbagi dengan orang lain. Orangtua tak perlu mencegah atau membatasi pemberiannya. Jika terus diberi penjelasan rasional, lambat laun anak akan dapat mengukur berapa banyak sih uang yang layak diberikan untuk pengemis, pengamen, dan sebagainya. Berapa banyak pula sumbangan yang hendaknya diberikan buat panti asuhan, sedekah di masjid, kerabat yang sakit, dan lainnya. Orangtua bisa saja menjelaskan begini, "Kalau kamu mau memberi dalam jumlah yang banyak, mengapa enggak disalurkan saja ke yayasan sosial. Barangkali manfaatnya bisa lebih banyak lagi." Jadi sedikit demi sedikit kita ajak si prasekolah berpikir lebih maju lagi.
Orangtua memang perlu memberi pemahaman tentang makna kedermawanan dengan sejelas-jelasnya pada anak. Kapan kita bisa memberi, bagaimana caranya, dan apa manfaat pemberian kita bagi orang lain. "Nak, memberi teman yang tidak membawa makanan itu sangat baik. Makanan bekal kamu dibagi dua saja, separuh untuk kamu, separuh lagi untuk temanmu." Dengan demikian, anak pun memahami konsep kedermawanan dalam proporsi yang benar. Tak hanya dengan uang, latih pula kedermawanan si prasekolah dengan memberikan pakaian layak pakai atau makanan berlebih untuk pengemis dan pemulung yang lewat di depan rumah. Dengan begitu sekaligus anak belajar bahwa makanan itu tak boleh dibuang-buang atau dihamburkan.
MENGASAH EMPATI
Ada beberapa manfaat yang bisa dipetik jika anak selalu mengasah sikap kedermawannya, yaitu:
* Mengasah empati dan jiwa sosial
Jika lingkungan mendukung, tentu akan tumbuh rasa empati si prasekolah terhadap lingkungannya. Misalnya, teman di sekolah enggak bawa bekal, maka ketika jam makan, anak mau berbagi makanan dengan sang teman tersebut. Menjadi sosok dermawan juga berarti mengasah jiwa sosial si prasekolah. Kalau hal baik ini terus dipupuk tentu akan terbawa oleh anak sampai besar.
* Belajar nilai-nilai agama
Mengasah kedermawanan sekaligus mengenalkan anak sejak dini tentang nilai-nilai dalam agama. Bahwa kita punya kewajiban untuk berbagi, bahwa ada sebagian dari rezeki kita merupakan hak orang-orang yang kurang mampu dan sebagainya. Anak belajar, mungkin uang yang dimiliki tak seberapa, tapi bagi orang lain mungkin sangatlah besar dan berharga.
* Belajar mengelola uang
Dia pun bisa memaknai arti uang. Selain belajar menjadi dermawan, si prasekolah juga belajar bagaimana mengelola dan menghargai uang, serta tahu ke mana dan bagaimana uang itu sebaiknya dimanfaatkan.
DARI MANA DATANGNYA SIKAP DERMAWAN
Jika ditilik dari kajian psikologi, memang anak usia prasekolah sudah memahami konsep berbagi dengan orang lain atau teman, entah itu berbentuk makanan, mainan atau sesuatu lainnya. Di usia sebelumnya yaitu batita, mereka baru mengenal konsep kepemilikan. Nah di usia 4-5 tahun ini, pemahaman mereka akan sifat kedermawanan sudah mulai terbentuk. Apalagi karena lingkungan pergaulan anak pun makin luas. Di TK, tentu peluang untuk berbagi atau mengasah sikap kedermawanan ini makin terbuka. Ditambah jika guru selalu mengajarkan anak-anak untuk rajin beramal, menjadi sosok yang baik dengan cara selalu memberikan bantuan kepada orang lain, dan mengasihi sesama. Bukankah pihak sekolah juga sering mempergunakan momen-momen tertentu, misalnya hari besar agama, untuk kegiatan amal. Mainan, uang, buku, baju atau seragam yang tak lagi dipakai tapi masih layak pakai disalurkan kepada anak-anak yang membutuhkan atau lembaga sosial. Jadi, peran sekolah pun sangat penting dalam mengembangkan sikap kedermawanan anak.
Kalau mau ditelusuri lebih lanjut, sebenarnya ada beberapa hal yang menjadi latar belakang kenapa si prasekolah memiliki sikap dermawan, yaitu:
* Ingin membuat senang orang lain
Secara prinsip jika ditelaah dari sisi perkembangan moral anak, sebenarnya dalam diri si prasekolah tumbuh rasa ingin membuat orang lain senang.
Misalnya dengan cara memberi sesuatu pada temannya. Baginya, bisa membuat senang orang lain itu sungguh menyenangkan hati. Ternyata jika memberi sesuatu kepada orang lain atau teman, maka kedua pihak akan merasa senang. Yang perlu diketahui juga, anak memberi sesuatu masih dengan tulus, tidak ada rasa ingin dipuji teman atau orang lain.
* Peniruan
Satu hal lain, sikap dermawan anak biasanya didapat lantaran meniru lingkungannya. Dengan kata lain, faktor lingkungan juga sangat menentukan apakah anak menjadi sosok dermawan atau tidak. Asal tahu saja, anak usia prasekolah sangat dipengaruhi stimulasi lingkungannya. Dia akan terpacu untuk menonjolkan sikap dermawannya bila ayah, ibu, kakak dan saudara lainnya juga menunjukkan sikap dermawan.
Dengan kata lain, orangtua memang sebaiknya memberikan contoh sebanyak-banyaknya bagi anak. Entah itu menjadi model sosok yang dermawan, menjadi orang yang baik hati, selalu menolong, atau mengerjakan sesuatu dengan baik dan benar. Anak prasekolah masih menjadi peniru sejati. Contoh konkretnya, ia melihat orangtua selalu menyumbang ke panti asuhan. Ketika ada pengemis, orangtua memberinya makanan atau uang. Jika ada teman yang membutuhkan bantuan selalu ditolong. Alhasil, anak pun ingin meniru. Dalam benaknya muncul pemikiran,"Aku ingin seperti ayah dan ibu yang selalu menolong orang lain, selalu berbagi dan selalu baik pada orang lain."
MAIN INTERAKTIF
Mengembangkan keterampilan sosial dan mencerdaskan emosi boleh dibilang merupakan manfaat paling penting ketika si prasekolah bermain bersama. Dengan bersosialisasi lewat bermain, anak bukan saja mengembangkan kemampuannya berinteraksi, tapi sekaligus belajar mengerti dan memahami emosi dirinya maupun orang lain. Coba saja perhatikan, bocah yang pandai bersosialisasi. Umumnya mereka pandai mengelola emosinya ataupun mengeskpresikannya secara tepat kepada orang lain. Si prasekolah pun mampu mengenali emosi orang lain sehingga mampu berempati dan membina hubungan baik dengan orang lain. KOK, TEMAN SEBAYA? Bermain dengan teman yang lebih kecil atau bahkan dengan orang dewasa kurang memberikan kesempatan kepada anak untuk bisa mengasah kepekaan emosi dan menjalin relasi yang sehat dengan lingkungan sosialnya. Aturan-aturan bermain seperti berbagi mainan, bergantian, menunggu bergiliran paling mungkin dilakukan secara fair dengan teman sebaya. Bila bermain dengan anak yang lebih kecil, si prasekolah biasanya dituntut untuk selalu mengalah. Hal ini bisa membentuk sikap mengalah yang berlebihan yang pada akhirnya akan merugikan dirinya sendiri ketika bermain dengan teman sebaya. Pasalnya, bila bermain dengan teman sebaya, sikap selalu mengalah bukan merupakan bagian aturan bermain yang menekankan bergiliran, berbagi dan bergantian. Sikap selalu mengalah juga dapat mengancam rasa percaya diri anak karena ia akan memandang pribadinya sebagai pribadi rendah yang selalu terpojokkan. Sebaliknya, jika selalu bermain dengan orang dewasa, si prasekolah tak akan mengenal pula aturan main yang fair karena cenderung selalu dimenangkan dan selalu mendapat prioritas dengan mendapat giliran lebih dulu. Sikap ini tentu saja bisa memicu konflik ketika berhadapan dengan teman sebaya. Teman-temannya pasti menuntut si prasekolah tunduk pada aturan main. Dengan demikian kesempatan bermain dengan teman sebayalah yang sebetulnya lebih banyak memberi manfaat bagi si prasekolah. Ditambah dengan kemampuan bahasanya yang berkembang pesat, si prasekolah bersama teman-temannya akan mulai mengembangkan peraturan-peraturan sendiri dalam hal bermain dan berteman yang bisa diterima oleh semua pihak yang terlibat bermain. Sebagai catatan, belajar mengenai aturan main pada dasarnya memerlukan kematangan fungsi mental yang lebih tinggi yang umumnya berkembang di usia prasekolah. Bukankah bergiliran memerlukan pemahaman mengenai urutan, kesediaan untuk bergantian dan kemauan menunggu giliran. Ini penting untuk diajarkan pada anak bukan sebatas sebagai syarat penting ketika bermain bersama. Dalam lingkup sosial yang lebih luas pun akan selalu ada aturan yang mengikat setiap anggota kelompok. Selain itu bermain dengan teman sebaya memungkinkan penerimaan kelompok anak-anak seusianya. Hal ini sangat penting bagi anak untuk mulai mengembangkan self esteem atau konsep bagaimana ia menghargai dirinya sendiri. BEREBUT MAINANPerilaku ini sudah harus ditinggalkan setelah usia 3 tahun.
Selanjutnya, seiring dengan meningkatnya pemahaman anak pada aturan main, frekuensi berebut mainan akan berkurang dengan sendirinya. Dengan begitu tenggang waktu permainan akan semakin lama sementara permainan mereka terasa semakin menantang dan mengasyikkan. Tak heran bila di setiap kesempatan, si prasekolah tak sabar untuk segera bertemu dengan teman-temannya agar dapat bermain bersama lagi. ATURAN JELAS Pada usia 4 atau 5 tahun, anak-anak menyadari bahwa bermain bersama dengan teman-temannya akan lebih menyenangkan. Mereka mulai bisa berbagi mainan, mengikuti aturan main, bermain bergantian, patuh menunggu giliran yang kesemuanya merupakan upaya agar mereka dapat bermain bersama Permainan yang aturannya jelas, semisal bermain kartu domino bisa memudahkan orangtua mengenalkan konsep berbagi dan menunggu giliran kepada si prasekolah. Soalnya, urutan mainnya sudah jelas sehingga tinggal menentukan giliran. Anak-anak prasekolah yang umumnya cepat menguasai keterampilan bersosialisasi ini akan menunjukkan reaksi bila salah seorang teman mereka mendominasi permainan. Begitu pula ketika terjadi "perebutan", rekan-rekan yang lainnya pasti akan segera protes.
|
KECIL-KECIL HOBI NENANGGA
Keinginan menyambangi anak tetangga yang sebaya umumnya justru berawal dari pengalaman bergaul di "sekolah". Taruhlah si anak usia ini tadinya sendirian di rumah dan hanya bergaul dengan bapak ibu dan pengasuhnya. Pengalaman di "sekolah" mengajarkan ternyata asyik lo bisa bertemu dan bermain dengan teman sebaya. Nah, karena tak ingin kehilangan suasana bermain yang mengasyikkan dan menyenangkan ini, akhirnya anak mulai lirik kiri kanan kalau-kalau ada tetangga yang kebetulan punya anak usia sebaya dengannya.
Faktor pendorong lainnya, anak usia prasekolah umumnya dianggap sudah tak merepotkan lagi sehingga orangtua jadi sering mengikutsertakannya ke berbagai acara pertemuan. Pemerkayaan pengalaman seperti ini tentu saja memberi wacana pada anak bahwa pergaulan tak hanya sebatas tembok rumah.
Akan tetapi meski senang menyambangi tetangga, sejujurnya anak usia prasekolah belum paham konsep bertetangga. Termasuk siapa yang dimaksud dengan tetangga dan bagaimana anak usia sebaya dengannya.
Faktor pendorong lainnya, anak usia prasekolah umumnya dianggap sudah tak merepotkan lagi sehingga orangtua jadi sering mengikutsertakannya ke berbagai acara pertemuan. Pemerkayaan pengalaman seperti ini tentu saja memberi wacana pada anak bahwa pergaulan tak hanya sebatas tembok rumah.
Akan tetapi meski senang menyambangi tetangga, sejujurnya anak usia prasekolah belum paham konsep bertetangga. Termasuk siapa yang dimaksud dengan tetangga dan bagaimana sopan-santun bertetangga. "Konsep" bertetangga yang ada dalam benak mereka sangatlah sederhana, yakni, "Aku ke sini karena aku senang lihat ada anak seumuranku yang rumahnya di sebelah rumahku."
Kalaupun ia kemudian jadi rajin bertandang biasanya karena ia menemukan hal-hal menyenangkan lainnya. Jadi, tak hanya pertimbangan sebaya. Melainkan sangat mungkin karena si anak tetangga tadi punya banyak mainan yang menarik dan mau meminjamkannya, atau orang-orang yang ada di sana menye-nangkan. Lebih-lebih kalau di rumah tetangga ia menemukan suasana yang "hidup" sementara sehari-hari ia kesepian di rumah sendirian hanya dengan pengasuh, sementara ibu bapaknya bekerja nyaris sepanjang hari.
BERIKAN BATASAN
Bermain ke tetangga sebetulnya memberi kontribusi positif pada berkembangnya keterampilan sosial anak. Jadi, kenapa harus dilarang? Di pemukiman yang cukup padat, umumnya tak ada kendala bagi anak untuk bermain dengan tetangganya. Namun, tak demikian halnya bila jarak antara satu rumah dengan rumah lain cukup jauh atau tertutup pagar tembok yang tinggi.
Akan tetapi, bila anak prasekolah hendak bermain ke rumah tetangga, orangtua tetap harus memerhatikan faktor keamanannya. Awalnya, begitu anak usia prasekolah melangkah ke luar pagar rumah untuk pergi ke tetangga dekat (apalagi yang agak jauh), ia wajib ditemani orang dewasa. Jadi, jangan pernah membiarkan mereka pergi ke luar rumah sendirian. Meskipun jaraknya dekat, keamanan selama di perjalanan itulah yang harus dipikirkan.
Selain itu, kalau anak memang mulai senang nenangga, sebagai orangtua kita harus memberi rambu-rambunya. Bila tahu anaknya asma dengan faktor pemicu debu atau bulu-bulu hewan, contohnya, ya jangan segan-segan untuk berulang kali mengingatkannya. Misalnya, "Kak, si Toni kan pelihara kucing. Kamu boleh main ke rumahnya tapi jangan dekat-dekat kucingnya ya." Atau, "Kalau di rumah Toni, mainnya enggak usah di karpet deh." Begitu juga anjuran untuk menasehatinya agar tidak makan penganan yang selama ini menjadi pemicu kekambuhan asmanya. Agar efektif, tak ada salahnya pihak tetangga pun diberi tahu mengenai hal ini untuk ikut mengawasi. Tentu saja cara menyampaikannya jangan sampai membuat tetangga yang didatangi si kecil justru tersinggung karena merasa "dikuliahi".
Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, semisal pelecehan seksual, perlu juga dipesankan pada anak agar siapa pun tak boleh menyentuh tubuhnya atau melepas bajunya. Contohnya, "Kalau mau pipis, permisi aja ke kamar mandi. Kan kakak sudah bisa pipis dan cebok sendiri. Atau kalau enggak, minta tolong dianterin pulang." Pembekalan seperti ini sangat perlu untuk berjaga-jaga. Soalnya, sebagai orangtua kita tidak tahu persis siapa saja yang menghuni rumah tersebut dan bagaimana sifat/karakter masing-masing. Belum lagi kalau ada tamu lain yang datang.
Idealnya, setiap kali anak bermain ke luar rumah, meskipun hanya ke rumah tetangga, haruslah ditemani orang dewasa, semisal pembantu atau pengasuhnya. Bila ibu atau ayah hanya bisa menemaninya saat mengantar atau menjemput, tegaskan pada anak mengenai rambu-rambu selama berada di rumah tetangga.
ETIKA BERTETANGGA
Ketika anak mulai senang nenangga, sebetulnya inilah kesempatan pas bagi orangtua untuk mengajarkan etika bertetangga. Di antaranya waktu yang tepat untuk bertandang dan berapa lama sebaiknya di sana. Jadi, ketika anak pamit pergi bermain ke tetangga, orangtua dapat mengiyakan sembari mengingatkan tentang batasan yang sudah diberikan.
Contohnya, "Oke, mama antar. Mama kasih waktu kamu main di sana sampai jarum jam yang pendek ada di sini ya (sambil menunjuk angka tertentu). Nanti mama jemput. Kamu kan harus mandi sore. Begitu juga si Anto temanmu." Dengan begitu anak akan mengerti, kalau sudah dijemput berarti acara main ke tetangga harus disudahi. Jadi, sewaktu ibu datang menjemput, anak tak perlu lagi merengek-rengek atau menangis tak mau pulang.
Pembatasan waktu bertandang ke tetangga ini merupakan bagian dari etika bertetangga. Bila tak ada batasan, sangat mungkin anak akan main sesuka hati sampai berjam-jam. Apalagi bila bermain di rumah tetangga itu amat menyenangkan hingga ia "lupa" waktu. Padahal di usia prasekolah anak belum bisa mengatur waktu. Dalam arti, seberapa lama tenggang waktu tertentu. Pokoknya, selama ia masih merasa asyik bermain, ia pasti akan berlama-lama di sana.
Hal semacam ini mungkin saja bakal mengganggu privasi si pemilik rumah. Bukankah ketika orangtua si anak tetangga pulang dari kantor, mereka juga ingin bercengkerama dengan anaknya tanpa ada intervensi dari anak kecil lain yang bukan keluarganya? Oleh sebab itu, waktu yang tepat untuk nenangga adalah sore hari sekitar 1-2 jam. Sebaiknya hindari menyambangi tetangga di akhir pekan karena umumnya setiap keluarga ingin menghabiskan akhir pekan mereka bersama keluarga inti.
TIDAK MAU PULANG
Seperti telah dijelaskan, hidup bertetangga yang baik dapat dibina sejak dini lewat penanaman etika bertetangga. Alangkah tak bijak membiarkan anak berjam-jam main, tidur, makan, bahkan mandi pun di rumah tetangga!
Kalau anak sampai keasyikan main di rumah tetangga lantas emoh pulang, sebaiknya orangtua introspeksi: apa sih yang menyebabkan anak lebih betah di sana. Mungkin saja ibu si anak tetangga pintar masak hingga anak lebih lahap makan di rumah temannya. Seharusnya ini mendorong ibu untuk tak malu bertanya pada ibu tetangga mengenai resep masakan tersebut semata-mata untuk menyediakan masakan terbaik bagi buah hatinya.
Selain contoh seputar urusan makanan, orangtua juga perlu bersikap "penasaran" tentang apa yang membuat anak senang bertandang ke rumah tetangga. Mungkin suasananya begitu nyaman yang ditunjukkan lewat sikap hangat para penghuni rumah tetangga kepada anak kita. Atau ruangan yang lapang dan terjaga kebersihannya hingga anak bisa bebas bermain. Tentu saja tak perlu kita datang sendiri menyelidikinya. Untuk mengetahuinya, kita bisa menggalinya lewat anak. Mintalah ia menggambarkan seperti apa suasana di sana.
PERAN TUAN RUMAH
Seperti halnya anak kita yang bermain ke rumah tetangga, kita juga perlu menerapkan peraturan ketika anak tetangga bermain ke rumah kita. Namun perlu diingat, yang sebenarnya menjadi tuan rumah bagi si tamu cilik yang akan berkunjung adalah buah hati kita. Makanya akan lebih pas jika batasan tersebut disampaikan lewat anak kita. Jangan sampai kita menegurnya yang justru membuat anak merasa kita "menjahati" temannya.
Untuk menetapkan apa saja yang menjadi batasan, buat dulu kesepakatan dengan anak kita. Misalnya, ketika temannya akan datang, beri batasan di mana anak akan menerima tamunya untuk bermain. "Nanti mainnya di ruang tengah aja ya, Nak. Jadi, enggak usah masuk-masuk ke kamar Mama ya. Kalau mainnya sudah selesai, tolong beresin sama-sama." Singkatnya, kontrol bisa dilakukan lewat anak sendiri. Bila ia sepakat dengan orangtuanya tentu dia tidak akan mengajak temannya masuk kamar. Ini lebih enak ketimbang kita menegur si anak tetangga langsung yang berpotensi membuat ibunya tersinggung bila anaknya mengadu.
SI PENYENDIRI
Benarkah si penyendiri tak bisa bergaul?
Ada beberapa hal yang membuat anak tak mau bergaul dengan sebayanya. Si anak merasa rendah diri, anak lebih suka melakukan kegiatan sendiri, atau anak yang justru memiliki tingkat kecerdasan luar biasa.
Sebagai contoh, anak-anak yang tergolong sangat cerdas biasanya memang cepat bosan bila harus mengobrol dengan teman sebayanya. Pasalnya, pemikiran mereka melesat jauh lebih cepat dibandingkan dengan kemampuan serupa si teman." Yang ada dalam benaknya, "Mendingan aku ngobrol sama orang gede."
Jadi, tak ada gunanya memaksa. Toh lingkup pergaulan sosial tak hanya sebatas dengan tetangga. Anak dapat juga bergaul di sekolah atau di sanggar tempatnya menekuni hobi. Begitu pun bila anak lebih suka melakukan kegiatan sendirian. Bukan berarti ia tak bisa bergaul, lo! Hanya saja ia memang lebih suka menekuni hal-hal yang berkaitan dengan diri sendiri, seperti membaca, bermain komputer, menggambar dan sejenisnya. Anak-anak ini lazimnya masuk dalam penggolongan anak yang memiliki kecerdasan interpersonal yang tinggi.
Lain halnya bila anak ternyata sulit bergaul dengan rekan sebayanya, baik itu di sekolah ataupun di rumah. Bila demikian, tentu saja orangtua harus mengulurkan bantuan agar anak mau bergaul. Caranya? Pelajari dan pahami dulu kondisi anak. Apakah ia sulit bergaul gara-gara merasa minder dan selalu merasa kurang dibandingkan dengan teman-temannya? Jika ini yang terjadi, bangkitkan harga dirinya dengan menonjolkan apa yang menjadi kelebihannya.
Selanjutnya, orangtua harus bisa membuka pergaulan anak. Misalnya, ajak anak tetangga bertandang ke rumah kita. Lumerkan relasi pertemanan diantara mereka dengan melibatkan diri dalam permainan. Pujilah anak bila ia mampu bergaul dengan teman-temannya. Tetapkan jangka waktu yang pendek lebih dulu. Lama-kelamaan, ketika si anak sudah terbiasa, waktu bermain ini dapat diperpanjang dan anak bisa saling mengunjungi.(tabloid-nakita)
MENANAM KEPEKAAN SOSIAL
Kualitas watak saat kecil akan mewarnai watak seseorang di kemudian hari. Anak yang dibesarkan dalam suasana yang curiga-mencurigai, misal, ketika dewasa akan mengalami kesulitan untuk memercayai orang lain. Contoh lain, bila pada masa kecilnya sering dipukuli, besar kemungkinan setelah dewasa akan menjadi pendendam. Demikian pula bila sering diejek, bisa-bisa kelak akan sulit menghargai prestasi orang lain.
Itulah mengapa, kepekaan sosial penting ditanamkan semenjak kecil pada anak, agar kelak ia menjadi manusia dewasa yang peka dengan lingkungan sekitarnya. Adapun yang bertanggung jawab untuk menumbuhkan kepekaan sosial pada anak adalah orangtua. Namun bukan berarti orangtua semata penentunya, karena lingkungan juga turut memberikan andil. Sebab, tingkah laku seseorang juga ditentukan oleh pengaruh-pengaruh dari luar.
Ada beragam kepekaan sosial yang penting ditanamkam semenjak dini, yang pada intinya bertujuan mengembangkan sikap empati kepada orang lain. Di antaranya berbagi dengan orang lain, berani meminta maaf bila melakukan kesalahan, bersedia membantu orang yang membutuhkan, dan kepekaan terhadap kemampuan fisik agar tidak melakukan tindakan yang menyakiti orang lain (umpama, main tarik temannya untuk bermain padahal badannya lebih besar, otomatis tenaganya lebih besar sehingga bisa menyakiti temannya), bertanggung jawab, menghargai orang lain, dan masih banyak lagi.
PERAN SEKOLAH
Sekolah dapat menjadi ajang latihan kepekaan karena waktu anak berada di sekolah cukup lama, kurang lebih 2-3 jam. Tambahan lagi sistem belajar yang diterapkan saat ini adalah kolaborasi; anak duduk berke-lompok sehingga "memaksa"nya untuk mau berbagi dengan teman. Misal, ada sekotak pensil warna untuk kelompok itu, otomatis anak harus bersedia berbagi dengan teman dalam kelompoknya itu.
Keuntungan lainnya, jumlah teman di sekolah lebih banyak sehingga akan mendapatkan lebih banyak kemungkinan menemui beragam karakter dan peristiwa. Umpama, anak dapat belajar untuk menunda keinginan karena hanya ada 1 ayunan, sehingga harus antre dan bergantian dengan teman yang lain. Atau, berbagi makanan bila ada teman yang tidak membawa bekal, dan lain-lain. Semua kegiatan itu adalah mengasah kepekaan terhadap kebutuhan orang lain.
Sayangnya, terkadang jumlah guru yang terbatas dalam satu kelas menjadikan guru kurang mampu untuk mengamati secara saksama perkembangan setiap anak. Sehingga tak dapat mengetahui secara mendalam pelaksanaan kepekaan sosial saat anak bersosialisasi dengan teman di kelasnya.
2 MANFAAT
Dengan menanamkan kepekaan sosial sejak dini, ada 2 manfaat besar yang akan diraih si prasekolah, yaitu:
1. Menyadari akan kehadiran orang lain.
Dengan menyadari adanya kehadiran orang lain, dapat mengingatkan kepada si prasekolah agar tidak egois sehingga ia mau berbagi dengan temannya, saling tolong, saling bantu, dan lain-lain.
2. Membentuk keterampilan bersosialisasi.
Si prasekolah dapat mempelajari aturan dalam bersosialisasi sehingga kelak akan lebih berani dalam memasuki lingkungan baru. Selain juga dapat membentuk rasa percaya dirinya.
5 HAL YANG HARUS DIPERHATIKAN
Agar penanaman nilai-nilai sosial dapat membuahkan hasil yang optimal, ada beberapa hal yang penting diperhatikan orangtua, yaitu:
1. Nilai-nilai yang ditanamkan harus jelas dan konsisten.
Maksudnya, bila anak diajarkan untuk berbagi, tanamkan pula bahwa berbagi itu baik tapi bukan berarti mengalah dan malah tidak mendapatkan yang menjadi haknya. Selain itu, orangtua juga harus konsisten. Umpama, ada 1 ekor ikan untuk makan malam, sedangkan anggota keluarga itu ada 5, maka ikan itu tetap harus dibagi 5 walaupun ayah belum tiba di rumah dari kantornya.
2. Orangtua menjadi contoh.
Anak meniru dari orangtuanya, jadi orangtua patut menjaga perilaku dan sikapnya dalam kehidupan sehari-hari. Sebab, orang dewasa kadang ingin memudahkan dan bersikap sekehendak hatinya, padahal tanpa disadari ada anak-anak di sekitarnya yang melihat.
3. Menerapkan konsekuensi.
Untuk memacu anak, tak ada salahnya memberikan penghargaan, dapat berupa pelukan atau pujian, tak harus berupa hadiah. Sebaliknya, bila melanggar dapat diberikan sanksi, semisal dengan melarang melakukan sesuatu yang disenangi si prasekolah. Tidak diizinkan menonton televisi selama 2 hari, umpamanya.
4. Menyadari adanya faktor gagal.
Orangtua hendaknya harus menyadari bahwa kemampuan anak berbeda-beda. Karenanya bila anak mengalami kegagalan, orangtua harus menerima. Jadi, jangan berharap bakal terus-menerus sukses selama proses belajar.
5. Tularkan kepada keluarga lain.
Bila setiap keluarga telah memiliki pemahaman yang sama tentang kepekaan sosial yang wajib diberikan kepada anak, niscaya akan memudahkan pada saat anak belajar. Saat bermain bersama, berarti nilai-nilai kepekaan yang ditanamkan pun sama.
BERI KESEMPATAN BERSOSIALISASI
Untuk menanamkan kepekaan sosial, orangtua tak bisa hanya sekadar melalui kegiatan membacakan dongeng atau berbicara dari hati ke hati dengan anak. Bila hanya melalui dongeng, maka cuma sekadar menambah pengetahuan atau meningkatkan kemampuan kognitif si prasekolah. Sementara dari kognitif sampai kepada perilaku, membutuhkan waktu yang panjang. Contoh, tidak mau berbagi adalah sikap yang tidak baik. Anak hanya mengetahui itu, tapi ia tidak tergerak untuk melakukannya saat bersosialisasi. Ia pun tidak memahami, bila tidak mau berbagi, bisa-bisa ada temannya yang tidak mau lagi bermain dengannya atau malah dipukul oleh temannya.
Karena itu, cara yang paling tepat adalah memberikan kesempatan kepada anak untuk bersosialisasi. Melalui sosialisasi dengan teman di lingkungan rumah, si prasekolah lebih kaya akan pengalaman. Hasilnya akan berbeda bila ia hanya bersosialisasi dengan anggota keluarga di lingkungan rumah saja, karena di masa kini anggota sebuah keluarga tidaklah terlalu banyak. Umumnya hanya 2 anak dengan orangtuanya, sehingga tak banyak tantangan atau pengalaman baru yang akan diperoleh.
Cara lain yang dapat diterapkan adalah melalui kegiatan sehari-hari. Libatkan anak dalam berbagai aktivitas sehari-hari di rumah. Kemudian, berikan penjelasan yang mudah dipahami dengan bahasa sederhana, mengapa ia diminta melakukan itu. Misal, untuk menumbuhkan rasa tanggung jawab, libatkan anak dalam kegiatan sehari-hari. Contoh, membersihkan kamar. Beri kepercayaan kepada anak untuk membersihkan sendiri kamarnya. Jika anak berhasil melakukan tugasnya dengan baik, berikan penghargaan. Sikap memberikan penghargaan ini akan menumbuhkan kepekaan menghargai sesama di kemudian hari.
Begitu juga ketika anak bertanya sesuatu, orangtua harus menanggapinya dengan serius agar sikap kritis dan kepekaan bisa berkembang secara wajar. Memahami alasan-alasan dan sebab dari perbuatan seseorang akan memupuk kepekaan watak sabar. Orangtua hendaknya juga jangan terlalu memanjakan anak, akibatnya ia tak akan peka dengan kebutuhan dan hak orang lain. Bisa-bisa ia menjadi egois.
ORANGTUA MENDAMPINGI
Tentunya, anak butuh pendampingan saat bersosialisasi, sehingga orangtua atau si pendamping dapat langsung menyampaikan tentang nilai-nilai kepekaan yang diperoleh pada saat itu. Pasalnya, anak lebih mudah mengingat dan memahami bila diberitahukan pada saat kejadian berlangsung. Karenanya, penting adanya kesamaan pemahaman tentang nilai-nilai kepekaan yang akan ditanamkan kepada anak antara orangtua dan pengasuh. Terutama untuk orangtua yang tidak mampu mendampingi anaknya bersosialisasi, sehingga si pengasuh tidak sekadar asal menemani anak bermain.
Lagi pula, dengan mendampingi anak bersosialisasi, maka si pendamping dapat memanfaatkan peristiwa atau kejadian saat itu sebagai referensi dalam menanamkan nilai-nilai kepekaan. Umpama, Ati jatuh karena didorong temannya. Ia merasa kesakitan. Peristiwa itu dapat dijadikan sebagai acuan untuk memberikan penjelasan bahwa asal mendorong teman dapat menyebabkan temannya kesakitan.