MEMBAHAS masalah seks pada anak memang tidak mudah. Namun, mengajarkan pendidikan seks pada anak harus diberikan agar anak tidak salah melangkah dalam hidupnya.
Menurut Dr Rose Mini AP, M Psi seorang psikolog pendidikan, seks bagi anak wajib diberikan orangtua sedini mungkin. "Pendidikan seks wajib diberikan orangtua pada anaknya sedini mungkin. Tepatnya dimulai saat anak masuk play group (usia 3-4 tahun), karena pada usia ini anak sudah dapat mengerti mengenai organ tubuh mereka dan dapat pula dilanjutkan dengan pengenalan organ tubuh internal," papar almamater Universitas Indonesia ketika dihubungi okezone melalui telepon genggamnya, Rabu (20/2/2008).
Menurutnya, pendidikan seks didefinisikan sebagai pendidikan mengenai anatomi organ tubuh yang dapat dilanjutkan pada reproduksi seksual. Dengan mengajarkan pendidikan seks pada anak, menghindarkan anak dari resiko negatif perilaku seksual. Karena dengan sendirinya anak akan tahu mengenai seksualitas dan akibat-akibatnya bila dilakukan tanpa mematuhi aturan hukum, agama, dan adat istiadat, serta kesiapan mental dan material seseorang.
"Pengenalan seks pada anak dapat dimulai dari pengenalan mengenai anatomi tubuh. Kemudian meningkat pada pendidikan mengenai cara berkembangbiak makhluk hidup, yakni pada manusia dan binatang. Nah, kalau sudah tahu, orangtua dapat memberi tahu apa saja dampak-dampak yang akan diterima bila anak begini atau begitu," ucap wanita ramah ini.
Salah satu cara menyampaikan pendidikan seksual pada anak dapat dimulai dengan mengajari mereka membersihkan alat kelaminnya sendiri.
"Ajari anak untuk membersihkan alat genitalnya dengan benar setelah buang air kecil (BAK) maupun buang air besar (BAB), agar anak dapat mandiri dan tidak bergantung dengan orang lain. Pendidikan ini pun secara tidak langsung dapat mengajari anak untuk tidak sembarangan mengizinkan orang lain membersihkan alat kelaminnya," papar wanita yang akrab disapa Rose.
Masih menurutnya, cara menyampaikan pendidikan seksual itu pun tidak boleh terlalu vulgar, karena justru akan berdampak negatif pada anak. Di sini orangtua sebaiknya melihat faktor usia. Artinya ketika akan mengajarkan anak mengenai pendidikan seks, lihat sasaran yang dituju. Karena ketika anak sudah diajarkan mengenai seks, anak akan kristis dan ingin tahu tentang segala hal.
"Kalau di luar negeri biasanya para orangtua dikasih buku panduan mengenai pendidikan seks agar mereka dapat menjawab setiap pertanyaan yang diajukan anak. Sementara di Indonesia, karena belum ada, maka sebaiknya para orangtua sigap dengan mencari informasi mengenai seks di internet, buku bacaan atau majalah," pungkasnya.
(tty)
Tampilkan postingan dengan label Pendidikan Seks. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Pendidikan Seks. Tampilkan semua postingan
Pendidikan Seks Anak, Ungkapkan dengan Cara Sederhana
MEMBAHAS masalah seks pada anak memang tidak mudah. Alasan tabu harus disingkirkan jauh-jauh. Namun, mengajarkan pendidikan seks pada anak harus diberikan agar mereka tidak salah mendapatkan informasi.
Pendidikan seks tidak hanya terbatas pada pemahaman organ seksual beserta fungsinya. Pendidikan seks didefinisikan sebagai pendidikan mengenai anatomi organ tubuh yang dapat dilanjutkan pada reproduksi seksual dan peran yang harus dijalankan.
Dengan mengajarkan pendidikan seks sedini mungkin, menghindarkan anak dari risiko negatif perilaku seksual. Karena dengan sendirinya, anak akan tahu mengenai seksualitas dan akibat- akibatnya bila dilakukan tanpa mematuhi aturan hukum, agama, dan adat istiadat, serta kesiapan mental dan material seseorang.
Ada penekanan makna yang lebih luas sebagai individu perempuan maupun laki-laki, yakni seorang perempuan bisa menghargai keperempuanannya. Sementara, seorang pria dapat menghargai kelaki-lakiannya sehingga masing-masing menghargai lawan jenisnya.
Pendidikan seks sudah bisa dimulai saat anak masih bayi, bahkan sejak dalam kandungan. Limpahan kasih sayang akan membuat bayi merasa nyaman. Tak hanya secara emosional, juga fisik, yaitu rasa nyaman dengan tubuhnya. Rasa nyaman pada tubuh ini sudah menjadi bagian dan pendidikan seksualitas.
Sedini mungkin, anak sudah mulai dikenalkan mengenai perbedaan jenis kelamin berikut anggota-anggota tubuh. "Supaya kelak anak tidak shock dan mengalami gagap sosial. Dalam artian, tidak mengerti keadaan dirinya dan orang lain," kata psikolog dari RS St Elisabeth, Semarang, Probowatie Tjondronegoro.
Berbarengan dengan hal tersebut, anak juga diajari dengan kesopanan dan norma- norma yang ada. Sebagai contoh, orangtua meminta anak menggunakan handuk saat keluar dari kamar mandi, lalu mengenakan pakaian di dalam kamar. Bisa juga langsung memakai baju di kamar mandi. Dengan memulai dari hal-hal sederhana, kelak saat beranjak dewasa, anak memahami bahwa ada hal-hal yang bersifat pribadi yang seharusnya tidak dipertontonkan di depan orang lain.
Contoh lain, orangtua dapat pula mengajari anakanak membersihkan alat kelaminnya sendiri. Mengajari anak untuk membersihkan alat genitalnya dengan benar setelah buang air kecil (BAK) maupun buang air besar (BAB) agar anak dapat mandiri dan tidak bergantung dengan orang lain. Pendidikan ini pun secara tidak langsung dapat mengajari anak untuk tidak sembarangan mengizinkan orang lain membersihkan alat kelaminnya. Masih ada contoh lagi, Probo menyebutkan, saat anak hendak pipis dan memelorotkan celananya sebelum masuk kamar mandi, orangtua bisa mencegahnya. Ajarkan anak untuk membuka celana di dalam kamar mandi kalau mau pipis.
Melalui pembelajaran pendidikan seks sedini mungkin diharapkan ada konsep diri positif. Dengan begitu anak berupaya menjaga dan menghargai diri dan lawan jenisnya. Pendidikan seks juga harus mengenalkan perbedaan lawan jenis. Anak perempuan perlu tahu apa yang terjadi pada anak laki-laki, seperti perubahan fisik, emosional, dan lain-lain. Begitu juga anak laki-laki mengetahui hal-hal yang terjadi pada anak perempuan, seperti soal menstruasi.
Cara menyampaikan pendidikan seksual itu pun tidak boleh terlalu vulgar karena justru akan berdampak negatif pada anak. Nama alat kelamin anak hendaknya disebutkan sesuai nama ilmiahnya. "Sebutkan saja bahasa latinnya vagina untuk alat kelamin perempuan dan penis untuk kelamin laki-laki. Jika anak-anak sudah mulai dikenalkan sejak kecil saat beranjak remaja, nama-nama itu tidak menjadi bahan tertawaan karena tidak tahu," saran wanita ayu ini.
(sindo//tty)
Pendidikan seks tidak hanya terbatas pada pemahaman organ seksual beserta fungsinya. Pendidikan seks didefinisikan sebagai pendidikan mengenai anatomi organ tubuh yang dapat dilanjutkan pada reproduksi seksual dan peran yang harus dijalankan.
Dengan mengajarkan pendidikan seks sedini mungkin, menghindarkan anak dari risiko negatif perilaku seksual. Karena dengan sendirinya, anak akan tahu mengenai seksualitas dan akibat- akibatnya bila dilakukan tanpa mematuhi aturan hukum, agama, dan adat istiadat, serta kesiapan mental dan material seseorang.
Ada penekanan makna yang lebih luas sebagai individu perempuan maupun laki-laki, yakni seorang perempuan bisa menghargai keperempuanannya. Sementara, seorang pria dapat menghargai kelaki-lakiannya sehingga masing-masing menghargai lawan jenisnya.
Pendidikan seks sudah bisa dimulai saat anak masih bayi, bahkan sejak dalam kandungan. Limpahan kasih sayang akan membuat bayi merasa nyaman. Tak hanya secara emosional, juga fisik, yaitu rasa nyaman dengan tubuhnya. Rasa nyaman pada tubuh ini sudah menjadi bagian dan pendidikan seksualitas.
Sedini mungkin, anak sudah mulai dikenalkan mengenai perbedaan jenis kelamin berikut anggota-anggota tubuh. "Supaya kelak anak tidak shock dan mengalami gagap sosial. Dalam artian, tidak mengerti keadaan dirinya dan orang lain," kata psikolog dari RS St Elisabeth, Semarang, Probowatie Tjondronegoro.
Berbarengan dengan hal tersebut, anak juga diajari dengan kesopanan dan norma- norma yang ada. Sebagai contoh, orangtua meminta anak menggunakan handuk saat keluar dari kamar mandi, lalu mengenakan pakaian di dalam kamar. Bisa juga langsung memakai baju di kamar mandi. Dengan memulai dari hal-hal sederhana, kelak saat beranjak dewasa, anak memahami bahwa ada hal-hal yang bersifat pribadi yang seharusnya tidak dipertontonkan di depan orang lain.
Contoh lain, orangtua dapat pula mengajari anakanak membersihkan alat kelaminnya sendiri. Mengajari anak untuk membersihkan alat genitalnya dengan benar setelah buang air kecil (BAK) maupun buang air besar (BAB) agar anak dapat mandiri dan tidak bergantung dengan orang lain. Pendidikan ini pun secara tidak langsung dapat mengajari anak untuk tidak sembarangan mengizinkan orang lain membersihkan alat kelaminnya. Masih ada contoh lagi, Probo menyebutkan, saat anak hendak pipis dan memelorotkan celananya sebelum masuk kamar mandi, orangtua bisa mencegahnya. Ajarkan anak untuk membuka celana di dalam kamar mandi kalau mau pipis.
Melalui pembelajaran pendidikan seks sedini mungkin diharapkan ada konsep diri positif. Dengan begitu anak berupaya menjaga dan menghargai diri dan lawan jenisnya. Pendidikan seks juga harus mengenalkan perbedaan lawan jenis. Anak perempuan perlu tahu apa yang terjadi pada anak laki-laki, seperti perubahan fisik, emosional, dan lain-lain. Begitu juga anak laki-laki mengetahui hal-hal yang terjadi pada anak perempuan, seperti soal menstruasi.
Cara menyampaikan pendidikan seksual itu pun tidak boleh terlalu vulgar karena justru akan berdampak negatif pada anak. Nama alat kelamin anak hendaknya disebutkan sesuai nama ilmiahnya. "Sebutkan saja bahasa latinnya vagina untuk alat kelamin perempuan dan penis untuk kelamin laki-laki. Jika anak-anak sudah mulai dikenalkan sejak kecil saat beranjak remaja, nama-nama itu tidak menjadi bahan tertawaan karena tidak tahu," saran wanita ayu ini.
(sindo//tty)
SI KECIL MASTURBASI MASAK IYA SIH!
Jangan panik dulu. Si kecil cuma ingin memenuhi rasa keingintahuannya saja, kok!
Ketika mendapati si kecil memainkan alat kelaminnya, biasanya muncullah rasa jengah. Beragam reaksi akan ditunjukkan oleh orangtua. Ada yang langsung menghentakkan tangannya sambil memarahi, memberi nasihat panjang lebar, dan pastinya mengeluarkan ultimatum untuk tidak lagi melakukan kegiatan tersebut.
Padahal, asal tahu saja, kepanikan yang berlebihan dari orangtua bukanlah tindakan tepat. Kepanikan justru akan menimbulkan rasa ingin tahu yang lebih jauh dari si prasekolah, "Mengapa kok perbuatan yang aku lakukan bikin panik Ibu dan Ayah?" Buntutnya, si kecil pun terdorong untuk melakukan lagi demi memenuhi rasa ingin tahunya yang lebih jauh. Atau, pada kasus yang lebih ekstrem, dalam diri si kecil akan tertanam suatu prinsip bahwa alat kelaminnya adalah sesuatu yang tabu. Keadaan ini tentu saja akan memberikan pengaruh terhadap identitas seksualnya kelak.
Sebetulnya, yang dilakukan anak saat "memainkan" alat kelaminnya adalah sekadar untuk memenuhi rasa ingin tahunya. Apalagi usia prasekolah merupakan masa eksplorasi sebagai upaya untuk memenuhi rasa keingintahuannya yang besar. Dalam benak si prasekolah hanya muncul pemahaman bahwa dengan melakukan kegiatan itu ada rasa enak atau nyaman yang ditimbulkan. Namun pemahaman tersebut berbeda sekali dengan pemahaman yang ada dalam benak orangtuanya, sebab orangtua atau orang dewasa yang telah memiliki pemahaman tentang perilaku seksual menganggap itu adalah masturbasi yang menghasilkan sebuah kenikmatan dan berhubungan dengan hasrat serta fantasi seksual. Sayangnya, orangtua kerap memandang anak-anak sebagai manusia dewasa mini. Akibatnya sering menyamaratakan pemahaman itu.
MENGHILANG DI USIA SEKOLAH
Tentu saja, tidak setiap anak di usia prasekolah senang memainkan alat kelaminnya. Hal ini tergantung minat pada masa eksplorasi tersebut. Bila si prasekolah memang memiliki minat yang tinggi atau memiliki rasa ingin tahu yang tinggi pada anggota tubuhnya, bisa jadi ia akan mengalami kegiatan ini pada saat meraba alat kelaminnya. Atau, bisa jadi juga kegiatan itu terjadi secara kebetulan. Misal, saat ia sedang memainkan bantal di wilayah kemaluan dan merasakan kenikmatan. Rasa yang timbul, keingintahuan yang tinggi dan proses eksplorasi terhadap bagian tubuhnya, mendorong si kecil untuk mengulangi perbuatannya.
Jadi, tak perlu khawatir jika mendapati si kecil sedang memegang atau memainkan alat kelaminnya karena perilaku ini merupakan bagian dari konsekuensi proses perkembangan yang dialaminya.
Perilaku ini bukan sebagai suatu perilaku yang bertujuan untuk menyalurkan hasrat seksual. Selain itu, patut diperhatikan pula, kegiatan mengeksplorasi anggota tubuhnya ini akan menghilang seiring dengan pertambahan usia. Umumnya saat ia memasuki usia sekolah, karena di usia sekolah, ia akan lebih banyak melakukan aktivitas fisik seperti bermain lari-larian, memanjat, dan lain-lain. Kendati demikian, bukan berarti boleh dibiarkan saja ketika si prasekolah sedang memainkan alat kelaminnya. Mengingat kecenderungan manusia untuk mengulang-ulang suatu perilaku/perbuatan yang menyenangkan, sehingga bukan tak mungkin akhirnya menjadi kebiasaan. Yang penting, bagaimana kita menyikapinya secara bijaksana sehingga dapat memenuhi rasa keingintahuannya.
ALIHKAN PERHATIANNYA
Lantas, apa yang sebaiknya dilakukan orangtua saat mendapati si prasekolah sedang mengeksplorasi alat kelaminnya? Orangtua hendaknya dapat mengontrol emosi. Jangan menunjukkan rasa kaget yang berlebihan; kendalikan dan berusahalah untuk tampil wajar.
Bila orangtua marah-marah sambil berteriak itu tabu, tidak boleh dilakukan, malah bisa berdampak pada perkembangan anak selanjutnya. Bisa jadi anak akan memiliki anggapan atau pemahaman bahwa kegiatan yang dilakukan itu memang benar-benar tabu karena mengundang kemarahan orangtuanya.
Dampak yang mungkin ditimbulkan pada perkembangan anak selanjutnya adalah timbulnya antipati terhadap perilaku seksual di usia remajanya atau dewasanya kelak. Bahkan bisa juga terjadi penyimpangan dalam perilaku seksual. Atau, malah menyalurkan hasratnya tersebut pada kegiatan yang lain yang kemungkinan malah membahayakan.
Lebih baik, alihkah perhatian anak dengan mengajaknya melakukan kegiatan yang menyenangkan lainnya seperti bermain kucing-kucingan susun balok, membacakan buku cerita, dan lainnya. Diharapkan konsentrasinya tidak lagi tertuju pada kegiatan mengeksplorasi alat kelamin yang dilakukannya.
EREKSI SEJAK DI KANDUNGAN
Perkembangan seksualitas di usia prasekolah hanya terbatas pada perkembangan perilaku.
Pada rentang usia prasekolah, anak tidak mengalami perkembangan fungsi seksual, karena pada tahapan ini hormon-hormonnya belum berfungsi secara maksimal. Umumnya sebelum masa pubertas, pertumbuhan itu berlangsung sangat lambat, kemudian akan lebih cepat pada masa pubertas. Jadi, yang dapat diamati hanyalah perkembangan perilakunya atau psikoseksual. Karenanya, tak perlu kaget bila mendapati si prasekolah sedang melakukan eksplorasi atau memainkan alat kelaminnya. Itu adalah suatu hal yang wajar di rentang usia ini.
Bahkan menurut hasil penelitian dari The Kinsey Institute -sebuah lembaga yang bergerak di bidang penelitian tentang seksualitas manusia, gender dan kesehatan reproduksi di Indiana University menyatakan, semenjak dalam kandungan anak sudah mengalami ereksi. Jadi tak perlu heran, bila bayi laki-laki yang baru bangun tidur tampak tegang alat kelaminnya, walaupun fungsi susunan sarafnya belum sempurna dan kadar hormon androgennya masih sangat rendah. Sedangkan kelamin bayi perempuan biasanya tampak berlendir.
Perkembangan Psikoseksual
Mengacu pada pendapat Sigmund Freud yang dikenal dengan teori psikoanalisisnya, perkembangan psikoseksual terbagi menjadi 4 fase, yaitu:
1. Fase Oral
Berlangsung dari lahir sampai usia 2 tahun. Anak mendapatkan kenikmatan melalui mulutnya. Itu terlihat saat anak menyusu pada puting payudara ibunya maupun memasukkan segala sesuatu ke mulutnya.
2. Fase Muskuler
Berlangsung dari usia 2 sampai 3 tahun atau paling telat di usia 4 tahun. Pusat kenikmatan anak berpindah ke otot; ditandai dengan kesenangan dipeluk, memeluk, mencubit, atau ditimang-timang.
3. Fase Anal Uretral
Berlangsung dari usia 3 atau 4 sampai dengan 5 tahun. Pusat kenikmatan anak terletak pada anus/dubur dan saluran kencing. Jadi wajar bila si anak suka menahan BAB (buang air besar) atau BAK (buang air kecil).
4. Fase Genital
Berlangsung dari usia 5 sampai 7 tahun. Pusat kenikmatan dirasakan pada alat kelamin; ditandai dengan senang memegang alat kelaminnya. Seiring kemampuan berpikirnya yang meningkat, umumnya muncul rasa ingin tahunya akan anggota tubuhnya. Salah satunya adalah alat kelaminnya. Orangtua kadang terkejut melihat anak memegang alat kelaminnya, padahal ia hanya sekadar ingin tahu, "Ini apa ya..., kok bentuknya begini?"
PERSIAPKAN DIRI
Setiap anak akan sampai pada tahap keingintahuan mengenai tubuhnya sendiri, mengenai fungsi-fungsi organ tubuhnya dan juga perbedaan-perbedaan dengan milik orang lain. Untuk itu anak akan banyak bertanya. Karenanya, orangtua hendaknya mempersiapkan diri dengan menambah pengetahuan untuk menghadapi pertanyaan yang mungkin akan dilontarkan anak, sehingga anak dapat memperoleh jawaban yang memuaskan dan benar. Nah, bagaimana sebaiknya orangtua bersikap?
1. Memahami rasa keingintahuan anak.
Orangtua hendaknya jangan sungkan-sungkan untuk memberikan penjelasan. Umpama, dengan membiasakan menyebut nama alat kelamin anaknya. Hindari menyebutkannya dengan istilah-istilah tertentu. Harapannya, kelak anak pun akan terbiasa dan tidak menganggap kata-kata itu sebagai sesuatu yang tabu. Bila pertanyaan seputar alat kelamin tidak terlontar dari mulut si prasekolah, maka orangtua wajib memunculkannya.
Semakin dini diperkenalkan akan semakin baik. Tak perlu khawatir anak tidak mampu menangkap karena otak anak bagaikan jendela yang terbuka dan selalu siap menerima meski tak langsung dimanfaatkan atau dipahami. Kelak saat si prasekolah beranjak besar dan telah memahami tentang seksualitas, ia tidak asing lagi dengan nama-nama alat kelamin dan tidak menganggapnya sebagai sesuatu yang tabu.
2. Berikan penjelasan sesuai dengan daya tangkapnya.
Diperlukan kreativitas untuk mendapatkan jawaban yang sesuai dengan tingkat pemahaman anak. Dalam rentang usia ini, anak memiliki pemahaman sebatas hal-hal yang konkret saja. Mereka ingin mengenal tentang perbedaan bentuk, selanjutnya fungsi dari benda tersebut secara sederhana.
3. Tak perlu berbohong ataupun menghindar.
Berbohong dapat membuat anak merasa ada sesuatu yang disembunyikan yang justru dapat memacu rasa keingintahuannya. Contoh, ada burung di celananya. Bisa-bisa anak akan penasaran, kok burung bisa ada di dalam celananya.
Jangan pula menghindar karena hanya akan membuat anak makin penasaran. Bisa jadi anak malah mencari informasi dari orang lain, sementara informasi yang diberikan belum tentu benar dan tepat.
4. Tenang dan jangan malu.
Anak-anak belum membayangkan fungsi seksual dari organ tubuh manusia karena mereka belum mengerti. Bila menghadapi ulah si kecil yang paling diperlukan adalah tenang, kemudian memberikan jawaban dan penjelasan terbaik untuk keingintahuan mereka.
KONSULTASI GRATIS
Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia (YKAI) memberikan layanan konsultasi, informasi dan konseling seputar pertumbuhan dan perkembangan anak, pergaulan, seksualitas, pendidikan, dan lain-lain lewat telepon dan tatap muka (dengan perjanjian terlebih dahulu) di 021-3902600 dan 021-3905747 serta email di http//anak.i2.co.id
Ketika mendapati si kecil memainkan alat kelaminnya, biasanya muncullah rasa jengah. Beragam reaksi akan ditunjukkan oleh orangtua. Ada yang langsung menghentakkan tangannya sambil memarahi, memberi nasihat panjang lebar, dan pastinya mengeluarkan ultimatum untuk tidak lagi melakukan kegiatan tersebut.
Padahal, asal tahu saja, kepanikan yang berlebihan dari orangtua bukanlah tindakan tepat. Kepanikan justru akan menimbulkan rasa ingin tahu yang lebih jauh dari si prasekolah, "Mengapa kok perbuatan yang aku lakukan bikin panik Ibu dan Ayah?" Buntutnya, si kecil pun terdorong untuk melakukan lagi demi memenuhi rasa ingin tahunya yang lebih jauh. Atau, pada kasus yang lebih ekstrem, dalam diri si kecil akan tertanam suatu prinsip bahwa alat kelaminnya adalah sesuatu yang tabu. Keadaan ini tentu saja akan memberikan pengaruh terhadap identitas seksualnya kelak.
Sebetulnya, yang dilakukan anak saat "memainkan" alat kelaminnya adalah sekadar untuk memenuhi rasa ingin tahunya. Apalagi usia prasekolah merupakan masa eksplorasi sebagai upaya untuk memenuhi rasa keingintahuannya yang besar. Dalam benak si prasekolah hanya muncul pemahaman bahwa dengan melakukan kegiatan itu ada rasa enak atau nyaman yang ditimbulkan. Namun pemahaman tersebut berbeda sekali dengan pemahaman yang ada dalam benak orangtuanya, sebab orangtua atau orang dewasa yang telah memiliki pemahaman tentang perilaku seksual menganggap itu adalah masturbasi yang menghasilkan sebuah kenikmatan dan berhubungan dengan hasrat serta fantasi seksual. Sayangnya, orangtua kerap memandang anak-anak sebagai manusia dewasa mini. Akibatnya sering menyamaratakan pemahaman itu.
MENGHILANG DI USIA SEKOLAH
Tentu saja, tidak setiap anak di usia prasekolah senang memainkan alat kelaminnya. Hal ini tergantung minat pada masa eksplorasi tersebut. Bila si prasekolah memang memiliki minat yang tinggi atau memiliki rasa ingin tahu yang tinggi pada anggota tubuhnya, bisa jadi ia akan mengalami kegiatan ini pada saat meraba alat kelaminnya. Atau, bisa jadi juga kegiatan itu terjadi secara kebetulan. Misal, saat ia sedang memainkan bantal di wilayah kemaluan dan merasakan kenikmatan. Rasa yang timbul, keingintahuan yang tinggi dan proses eksplorasi terhadap bagian tubuhnya, mendorong si kecil untuk mengulangi perbuatannya.
Jadi, tak perlu khawatir jika mendapati si kecil sedang memegang atau memainkan alat kelaminnya karena perilaku ini merupakan bagian dari konsekuensi proses perkembangan yang dialaminya.
Perilaku ini bukan sebagai suatu perilaku yang bertujuan untuk menyalurkan hasrat seksual. Selain itu, patut diperhatikan pula, kegiatan mengeksplorasi anggota tubuhnya ini akan menghilang seiring dengan pertambahan usia. Umumnya saat ia memasuki usia sekolah, karena di usia sekolah, ia akan lebih banyak melakukan aktivitas fisik seperti bermain lari-larian, memanjat, dan lain-lain. Kendati demikian, bukan berarti boleh dibiarkan saja ketika si prasekolah sedang memainkan alat kelaminnya. Mengingat kecenderungan manusia untuk mengulang-ulang suatu perilaku/perbuatan yang menyenangkan, sehingga bukan tak mungkin akhirnya menjadi kebiasaan. Yang penting, bagaimana kita menyikapinya secara bijaksana sehingga dapat memenuhi rasa keingintahuannya.
ALIHKAN PERHATIANNYA
Lantas, apa yang sebaiknya dilakukan orangtua saat mendapati si prasekolah sedang mengeksplorasi alat kelaminnya? Orangtua hendaknya dapat mengontrol emosi. Jangan menunjukkan rasa kaget yang berlebihan; kendalikan dan berusahalah untuk tampil wajar.
Bila orangtua marah-marah sambil berteriak itu tabu, tidak boleh dilakukan, malah bisa berdampak pada perkembangan anak selanjutnya. Bisa jadi anak akan memiliki anggapan atau pemahaman bahwa kegiatan yang dilakukan itu memang benar-benar tabu karena mengundang kemarahan orangtuanya.
Dampak yang mungkin ditimbulkan pada perkembangan anak selanjutnya adalah timbulnya antipati terhadap perilaku seksual di usia remajanya atau dewasanya kelak. Bahkan bisa juga terjadi penyimpangan dalam perilaku seksual. Atau, malah menyalurkan hasratnya tersebut pada kegiatan yang lain yang kemungkinan malah membahayakan.
Lebih baik, alihkah perhatian anak dengan mengajaknya melakukan kegiatan yang menyenangkan lainnya seperti bermain kucing-kucingan susun balok, membacakan buku cerita, dan lainnya. Diharapkan konsentrasinya tidak lagi tertuju pada kegiatan mengeksplorasi alat kelamin yang dilakukannya.
EREKSI SEJAK DI KANDUNGAN
Perkembangan seksualitas di usia prasekolah hanya terbatas pada perkembangan perilaku.
Pada rentang usia prasekolah, anak tidak mengalami perkembangan fungsi seksual, karena pada tahapan ini hormon-hormonnya belum berfungsi secara maksimal. Umumnya sebelum masa pubertas, pertumbuhan itu berlangsung sangat lambat, kemudian akan lebih cepat pada masa pubertas. Jadi, yang dapat diamati hanyalah perkembangan perilakunya atau psikoseksual. Karenanya, tak perlu kaget bila mendapati si prasekolah sedang melakukan eksplorasi atau memainkan alat kelaminnya. Itu adalah suatu hal yang wajar di rentang usia ini.
Bahkan menurut hasil penelitian dari The Kinsey Institute -sebuah lembaga yang bergerak di bidang penelitian tentang seksualitas manusia, gender dan kesehatan reproduksi di Indiana University menyatakan, semenjak dalam kandungan anak sudah mengalami ereksi. Jadi tak perlu heran, bila bayi laki-laki yang baru bangun tidur tampak tegang alat kelaminnya, walaupun fungsi susunan sarafnya belum sempurna dan kadar hormon androgennya masih sangat rendah. Sedangkan kelamin bayi perempuan biasanya tampak berlendir.
Perkembangan Psikoseksual
Mengacu pada pendapat Sigmund Freud yang dikenal dengan teori psikoanalisisnya, perkembangan psikoseksual terbagi menjadi 4 fase, yaitu:
1. Fase Oral
Berlangsung dari lahir sampai usia 2 tahun. Anak mendapatkan kenikmatan melalui mulutnya. Itu terlihat saat anak menyusu pada puting payudara ibunya maupun memasukkan segala sesuatu ke mulutnya.
2. Fase Muskuler
Berlangsung dari usia 2 sampai 3 tahun atau paling telat di usia 4 tahun. Pusat kenikmatan anak berpindah ke otot; ditandai dengan kesenangan dipeluk, memeluk, mencubit, atau ditimang-timang.
3. Fase Anal Uretral
Berlangsung dari usia 3 atau 4 sampai dengan 5 tahun. Pusat kenikmatan anak terletak pada anus/dubur dan saluran kencing. Jadi wajar bila si anak suka menahan BAB (buang air besar) atau BAK (buang air kecil).
4. Fase Genital
Berlangsung dari usia 5 sampai 7 tahun. Pusat kenikmatan dirasakan pada alat kelamin; ditandai dengan senang memegang alat kelaminnya. Seiring kemampuan berpikirnya yang meningkat, umumnya muncul rasa ingin tahunya akan anggota tubuhnya. Salah satunya adalah alat kelaminnya. Orangtua kadang terkejut melihat anak memegang alat kelaminnya, padahal ia hanya sekadar ingin tahu, "Ini apa ya..., kok bentuknya begini?"
PERSIAPKAN DIRI
Setiap anak akan sampai pada tahap keingintahuan mengenai tubuhnya sendiri, mengenai fungsi-fungsi organ tubuhnya dan juga perbedaan-perbedaan dengan milik orang lain. Untuk itu anak akan banyak bertanya. Karenanya, orangtua hendaknya mempersiapkan diri dengan menambah pengetahuan untuk menghadapi pertanyaan yang mungkin akan dilontarkan anak, sehingga anak dapat memperoleh jawaban yang memuaskan dan benar. Nah, bagaimana sebaiknya orangtua bersikap?
1. Memahami rasa keingintahuan anak.
Orangtua hendaknya jangan sungkan-sungkan untuk memberikan penjelasan. Umpama, dengan membiasakan menyebut nama alat kelamin anaknya. Hindari menyebutkannya dengan istilah-istilah tertentu. Harapannya, kelak anak pun akan terbiasa dan tidak menganggap kata-kata itu sebagai sesuatu yang tabu. Bila pertanyaan seputar alat kelamin tidak terlontar dari mulut si prasekolah, maka orangtua wajib memunculkannya.
Semakin dini diperkenalkan akan semakin baik. Tak perlu khawatir anak tidak mampu menangkap karena otak anak bagaikan jendela yang terbuka dan selalu siap menerima meski tak langsung dimanfaatkan atau dipahami. Kelak saat si prasekolah beranjak besar dan telah memahami tentang seksualitas, ia tidak asing lagi dengan nama-nama alat kelamin dan tidak menganggapnya sebagai sesuatu yang tabu.
2. Berikan penjelasan sesuai dengan daya tangkapnya.
Diperlukan kreativitas untuk mendapatkan jawaban yang sesuai dengan tingkat pemahaman anak. Dalam rentang usia ini, anak memiliki pemahaman sebatas hal-hal yang konkret saja. Mereka ingin mengenal tentang perbedaan bentuk, selanjutnya fungsi dari benda tersebut secara sederhana.
3. Tak perlu berbohong ataupun menghindar.
Berbohong dapat membuat anak merasa ada sesuatu yang disembunyikan yang justru dapat memacu rasa keingintahuannya. Contoh, ada burung di celananya. Bisa-bisa anak akan penasaran, kok burung bisa ada di dalam celananya.
Jangan pula menghindar karena hanya akan membuat anak makin penasaran. Bisa jadi anak malah mencari informasi dari orang lain, sementara informasi yang diberikan belum tentu benar dan tepat.
4. Tenang dan jangan malu.
Anak-anak belum membayangkan fungsi seksual dari organ tubuh manusia karena mereka belum mengerti. Bila menghadapi ulah si kecil yang paling diperlukan adalah tenang, kemudian memberikan jawaban dan penjelasan terbaik untuk keingintahuan mereka.
KONSULTASI GRATIS
Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia (YKAI) memberikan layanan konsultasi, informasi dan konseling seputar pertumbuhan dan perkembangan anak, pergaulan, seksualitas, pendidikan, dan lain-lain lewat telepon dan tatap muka (dengan perjanjian terlebih dahulu) di 021-3902600 dan 021-3905747 serta email di http//anak.i2.co.id
Langganan:
Postingan (Atom)