Tampilkan postingan dengan label Peran Orang Tua. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Peran Orang Tua. Tampilkan semua postingan

Hari Pertama Sekolah : Persiapan Mental Anak

Tak terasa si buah hati sudah tumbuh besar dan tiba waktunya untuk belajar di sekolah demi masa depannya. Padahal rasanya baru kemarin ia belajar merangkak dan berbicara.

Perilaku anak menyambut hari pertamanya di sekolah memang berbeda-beda. Ada yang semangat dan girang, namun ada juga yang takut, rewel, malas atau malu. Sikap tersebut sangatlah wajar, terutama karena mereka dihadapkan dengan dunia baru yang masih asing bagi mereka.

Disinilah peran Anda sebagai orang tua diperlukan. Charles E. Schaefer, Ph.D. dari Pusat Pelayanan Psikologi Farleigh Dickinson University pun memberikan beberapa tips yang akan membantu Anda menyemangati si buah hati dalam melawan rasa khawatir dan cemasnya, seperti dikutip dari mykidsbookbee.

1. Beri penjelasan tentang sekolah
Beberapa anak sering merasa cemas dan takut yang berlebihan menjelang hari pertamanya di sekolah. Sebenarnya mereka hanya butuh penjelasan dan pengertian. Ceritakanlah hal-hal yang akan dia temui di sekolah. Katakan padanya bahwa belajar itu menyenangkan, guru-gurunya baik, ruangan kelasnya nyaman, dan banyak teman baru yang akan ia dapatkan.

2. Ceritakan kegiatan seru di sekolah
Sekolah baru sama artinya dengan planet asing bagi anak-anak. Mereka hanya belum mencobanya, yang harus Anda lakukan adalah menceritakan dengan spesifik betapa serunya kegiatan di sekolah. Usahakan mengatakan kalimat semenarik mungkin, jangan katakan kalimat umum seperti "Kamu akan belajar dan banyak main di sekolah".

Jelaskanlah lebih rinci seperti, "Sekolah sangat seru dan menyenangkan. Semua anak akan masuk kelas, meletakkan tasnya di tempatnya masing-masing, lalu guru akan menjelaskan pelajaran seperti membaca, berhitung, bernyanyi dan kamu juga akan bermain bersama teman-teman".

3. Jangan katakan waktu padanya
Anak-anak belum bisa mengerti pentingnya belajar, yang mereka tahu hanyalah bermain. Ketika mulai masuk kelas, mereka pun menanyakan kapan dijemput atau kapan sekolah akan berakhir.

Untuk menjawabnya, sebaiknya hindari mengatakan waktu yang harus dia tempuh untuk belajar di kelas, seperti "Ibu akan menjemputmu 3 jam lagi", atau bahkan "Kamu akan berada di sini sebentar saja". Perkataan seperti itu cukup menakutkan bagi mereka.

Lebih baik katakan yang sebenarnya tanpa menyebutkan berapa lama waktunya di kelas, seperti "Kamu akan senang bersama teman-temanmu sampai-sampai tak terasa ibu datang untuk menjemputmu lagi".

4. Informasikan keberadaan Anda
Saat memasuki kelas dan berpisah dengan orang tua yang mengantar adalah saat yang sulit bagi anak-anak. Mereka sering cemas dan membayangkan dirinya dalam bahaya karena ayah-ibunya tak ada.

Sebagian anak lainnya justru mencemaskan keselamatan orangtuanya. Untuk itu orangtua perlu menjelaskan keberadaan dirinya setelah selesai mengantar anak. Beri dia informasi yang detail seperti, "Ayah akan pergi ke kantor setelah mengantarkanmu ke sekolah" atau "Ibu akan pergi ke pasar untuk belanja".

5. Berikan dorongan positif
Seorang anak yang ketakutan akan mengekspresikan ketakutannya dengan berbagai perilaku, seperti mengisap jempol, ngompol, merengek-rengek, cemberut, marah tanpa sebab, atau mungkin menarik diri dari lingkungan.

Menyikapi perilaku seperti itu, sebaiknya tahan emosi Anda. Jangan mengatakan, "Kamu tidak boleh ngompol lagi, gurumu dan teman-temanmu pasti tidak suka dengan kebiasanmu itu".

Yang ia butuhkan hanyalah dorongan positif dan kata-kata yang menenteramkan, seperti "Ibu tahu kalau kamu tidak akan mengisap jempolmu lagi, kamu kan sudah besar."

Nah, sudah siap kan mengantarnya sekolah?nu/det

Belajar mendengarkan anak

Anak umumnya hanya mau mendengar komunikasi yang menyenangkan. Karena itu, lihat situasi dan kondisi saat berkomunikasi dengan anak. Termasuk memerintah, menegur atau melarang anak. Si kecil cuek? Jangan bingung dulu sebab seperti dipaparkan Sri Razwanti Suciyati, Psi., anak usia ini sudah mulai memahami perintah. Cuma karena sifat egosentris yang dimiliki, anak biasanya hanya mau mendengarkan perintah/pembicaraan menyenangkan saja. "Kalau perintah itu tidak membuat dirinya senang, maka dia akan bereaksi negatif. Salah satunya dengan sikap cuek."

Tak heran ketika orang tua berkata, "Adek beresin mainan ya," atau "Eh Adek kenapa tadi kamu enggak cium tangan kakek?", anak langsung cuek seolah tak mendengar kata-kata orang tuanya. Lain halnya jika orang tua berkata, "Eh, Dek jajan yuk!", atau "Sekarang di teve ada Kapten Tsubatsa lo.", bisa dipastikan si prasekolah langsung memberikan respons positif. Itulah mengapa, jangan sekali-kali menganggap si prasekolah yang cuek tidak mendengar apa pun yang dikatakan padanya. Karena di balik sikap cueknya, sebenarnya anak menangkap isi pembicaraan tersebut. Sikap pura-pura tidak mendengar seperti ini bukan cuma di rumah, tapi juga di "sekolah". "Banyak anak yang di kelasnya seolah tidak memperhatikan penjelasan sang guru. Namun begitu waktu "sekolah" usai, ia bisa menceritakan panjang lebar tentang materi pelajaran kepada orang tuanya di rumah.

Sikap cuek si kecil tidak lain merupakan bentuk penolakan terhadap isi pesan. Saat orang tua menegur si kecil agar berhenti nonton teve, anak menanggapinya dengan cuek karena ia tidak mau aktivitasnya dihentikan. Demikian pula, misalnya, ketika orang tua menegur anak agar tidak main-main dengan kompor, ia sebenarnya tidak mau dilarang main-main kompor. Menurut psikolog yang akrab disapa Ade ini, sikap cuek turut dipengaruhi oleh karakter anak. Anak dengan karakter pasif dan pemalu, biasanya memang lebih cuek daripada anak yang aktif dan terbuka. Begitu juga anak yang bersikap cuek karena belum mengenal orang yang mengajaknya bicara. Itulah sebabnya, sebelum bertanya atau memberi perintah, baik orang tua maupun siapa pun, hendaknya mengenal anak dengan baik. Disamping itu, anak yang pasif perlu dipupuk kepercayaan dirinya agar tidak segan berkomunikasi dengan orang yang belum dikenalnya.

KIAT MENGATASINYA

Psikolog dari Essa Consulting Group menawarkan beberapa kiat untuk mencegah maupun mengatasi sikap cuek anak saat berkomunikasi:

Tunggu Aktivitasnya Selesai

Saat anak terlihat sibuk, tunggulah hingga aktivitasnya selesai. Sebab anak sulit mengalihkan perhatian ketika asyik dengan kegiatannya. Saat anak asyik nonton tayangan kesukaannya, tunggulah berkomunikasi hingga jeda iklan. Akan sia-sia jadinya jika orang tua bicara selagi anak sedang sibuk main/nonton. Kecuali jika pembicaraan itu memang benar-benar penting. Jika ini yang terjadi, tidak ada jalan lain, orang tua mesti memaksa anak menghentikan aktivitasnya. Atau supaya si kecil tidak terganggu aktivitasnya, orang tua boleh saja memberi peringatan beberapa puluh menit sebelumnya. "Nanti sepuluh menit lagi kamu mandi ya." Dengan cara itu, anak memiliki persiapan ketika harus menghentikan aktivitasnya.

Bicara Dekat Anak

Perhatian anak akan mudah terfokus saat orang tua berbicara langsung. Karena itu, baik ketika memberi perintah, berdialog, atau menanyakan sesuatu, usahakan berbicara tidak jauh secara fisik dari anak. Anak pun akan mudah menangkap pesan yang disampaikan orang tua. Sebaliknya, anak akan cenderung tidak memperhatikan ketika seseorang berbicara jauh secara fisik dari dirinya. Orang tua tidak bisa begitu berteriak-teriak dari dapur, sedangkan anaknya sedang asyik bermain di halaman rumah. "Anak tentu akan sulit menangkap pesan orang tua hingga bersikap cuek." Kecuali dalam situasi dan kondisi tertentu, orang tua boleh saja berkomunikasi dari kejauhan. Asal kejauhannya tidak menghambat pesan tersebut sampai kepada si kecil. Akan tetapi orang tua mesti bekerja keras agar pesan tersebut bisa ditangkap anak.

Tatap Mata

Tatapan mata menandakan orang tua bersungguh-sungguh terhadap apa yang diucapkan. Apalagi bila saat itu orang tua sedang mencoba menegur sebuah perilaku buruk si kecil. Cara berkomunikasi seperti itu menandakan orang tua tidak main-main dengan yang diucapkan. Lain halnya jika orang tua menegur namun perhatiannya entah ke mana. Kalau ini yang terjadi, jangan harap si kecil tak bersikap cuek.

Kontak Tubuh

Dalam situasi dan kondisi tertentu, kontak tubuh anak juga perlu. Jenis kontak tubuh ini disesuaikan dengan tujuan komunikasi orang tua. Jika anak terlihat tidak memperhatikan, orang tua bisa membalikkan tubuh sekaligus memegang badan si kecil agar dia memperhatikan pembicaraan. Sikap itu menunjukkan keseriusan orang tua dalam berkomunikasi. Atau saat ingin mengajarkan nilai-nilai, orang tua bisa mendekap anak seraya mengembangkan senyum terlebih dahulu. Setelah itu, barulah orang tua bisa memasukkan pesan-pesan moral kepada anak. Kontak tubuh membuat anak merasa terlindungi sekaligus dicintai.

Bicara Tegas

Sikap tegas berbeda dengan sikap galak. Galak cenderung mengobral ancaman dengan nada bicara tinggi. Sementara sikap tegas hanya menuturkan apa yang tidak boleh dilakukan dibarengi nada bicara yang datar namun jelas, tidak terlalu tinggi dan tidak juga terlalu rendah. Adapun ekspresi orang galak mirip dengan orang yang sedang marah, sedangkan wajah yang tegas cenderung tanpa ekspresi. Sikap tegas membuat anak segan dan tak tergerak untuk melanggar aturan. Berbeda dengan sikap galak yang hanya akan membuat anak takut namun tidak konsisten perilakunya. Di dekat orang tua bisa bertingkah manis, tetapi jika di depan orang lain bisa bersikap sebaliknya.

Ingat juga, jika anak sering digalaki, dia akan kebal saat dimarahi orang tua. Ade punya kasus orang tua galak yang kesulitan mendisiplinkan anak. Saking sering digalaki, anaknya cuek saja saat dimarahi. Padahal orang tua sudah berteriak-teriak marah. Barulah ketika orang tua mengeluarkan suara tertingginya, si anak menghentikan aktivitasnya dan menoleh pada orang tua.

Jika hendak menegur anak yang kelamaan main game, ibu yang tegas cukup berkata, "Adek, ayo naik tempat tidur." Sementara yang galak akan mengatakan hal yang sama dalam ucapan, "Dari tadi kamu nonton teve terus. Pokoknya, kamu enggak boleh nonton teve lagi!" Sikap tegas juga mesti dilakukan secara bertahap. Jika cara satu dirasa tidak mempan, orang tua bisa mencari jalan lain. Misalnya, jika sudah tiga kali diingatkan agar mematikan video game-nya, orang tua bisa mematikan video game tersebut lalu menyuruh anak masuk ke kamarnya untuk tidur.

Ade juga menegaskan, terlalu lembut juga tidak baik buat perkembangan anak. Sebab sikap ini umumnya sulit membuat anak taat aturan. Karena saking sayangnya, orang tua sering tidak bisa bersikap tegas kepada anak. Akibatnya, orang tua tidak tahu mana hal yang benar dan mana pula yang salah. Sangat mungkin anak akan berontak jika suatu saat dia ditegur karena melakukan kesalahan.

Minta Tolong

Jika hendak minta bantuan anak, yang pertama kali harus diucapkan adalah "minta tolong". Memang hal itu tidak serta merta mengikis sikap cuek-nya. Akan tetapi minimal orang tua telah mengajarkan anak bersikap santun. Anak pun merasa tidak dipaksa saat diperintah atau dimintai bantuan.

Kerjakan Bersama

Patut diingat, anak lebih mengingat contoh nyata ketimbang kata-kata. Bahkan meski tanpa disuruh, anak pun akan semangat menjalankan perintah asalkan ia melihat teman atau orang lain menjalani perintah yang sama. Jadi, usahakan memberi contoh terlebih dulu sebelum memberi perintah. Saat melihat mainan anak berantakan, contohnya, orang tua sebaiknya tidak berkata, "Adek ayo beresin mainan. Kalau enggak, Ibu enggak bakalan beliin mainan lagi lo." Akan lebih ampuh bila mengatakan, "Eh mainannya kita beresin sama-sama yuk. Ibu beresin mobilnya, kamu beresin motor-motorannya ya."

Dengan perintah/permintaan seperti itu, Ade menjamin, anak yang tadinya cuek bisa mendadak tergerak membantu ibunya membereskan mainan. Ingat, anak usia ini masih memerlukan bantuan orang tua untuk memupuk kemandiriannya. Kendati dengan berjalannya waktu, bantuan tersebut sedikit demi sedikit mesti dilepaskan, hingga akhirnya si anak bisa mandiri. Selain itu, cara ini pun secara tidak langsung akan mengajarkan pada anak bagaimana menjalin kerja sama. Saat mengerjakan sesuatu, anak dituntut bisa bahu-membahu dengan orang lain. Dengan demikian pekerjaan akan cepat selesai, selain sikap ego yang dimilikinya bisa diminimalkan. "Enggak lucu kan melihat orang lain sibuk bekerja sementara anak ongkang-ongkang kaki."

Berikan Teladan

Teladan sangat bermanfaat buat si kecil. Dengan contoh konkret dari sosok idola, anak mudah menyerap sebuah perilaku. Ketika orang tua hendak mengajarkan pentingnya mendengarkan, mulailah dari memberi perhatian ketika si kecil berbicara. Cara itu akan mengajarkan si kecil bahwa memperhatikan orang yang tengah berbicara padanya merupakan bagian dari sopan santun. Jika tidak memungkinkan karena sedang sibuk, orang tua setidaknya memberikan penjelasan/alasan. Contohnya, "Adek ceritanya nanti ya, Mama sedang sibuk masak nih."

Sumber : tabloid-nakita.com

IKUT BANYAK KURSUS? BOLEH SAJA ASAL ENGGAK DIPAKSA

Sesuaikan pilihan kursus dengan minatnya. Cermati frekuensi dan jumlahnya, serta pilih penyelenggara yang dapat menyelami jiwa anak.

Simaklah kisah yang merupakan pengalaman nyata Dra. Hj. Opih R. Zainal. Ketua Umum Ikatan Guru TK Indonesia ini harus menerima kalau anak sulungnya bukanlah orang yang bergairah dalam menimba ilmu secara akademis. "Semua itu kesalahan saya dan menjadi penyesalan hingga kini. Sewaktu kecil, karena merupakan anak pertama, saya menuntutnya untuk selalu lebih. Termasuk dalam soal pelajaran. Saya jejali dia dengan berbagai kursus. Akibatnya, saat di universitas, dia seperti sudah kehilangan gairah untuk belajar. Kuliahnya membutuhkan waktu lama baru bisa selesai. Saat itu mungkin sudah merupakan titik klimaks kejenuhannya."

Tanpa bermaksud membandingkan, Opih melihat kalau anak keduanya yang dididik dengan lebih "santai", justru selalu bersemangat mengembangkan ilmunya terus-menerus. "Anak saya yang nomor dua mengambil dua kuliah sekaligus dan bisa menyelesaikan kedua kuliahnya hanya dalam 4 tahun. Bisa jadi karena sewaktu dia kecil, saya memberinya banyak kelonggaran untuk bermain dan tidak saya bebani berbagai kursus."

Tak ada maksud apa pun di balik cerita ini kecuali sebagai bahan renungan bagi para orang tua agar tidak memaksa anak untuk mengikuti kursus secara berlebihan. "Saya sering bercerita kepada orang tua lain tentang hal ini agar mereka tidak melakukan kesalahan yang sama dengan yang saya lakukan. Dampak pada anak TK yang diikutkan berbagai macam kursus memang tidak akan terlihat saat itu juga, tapi baru dalam beberapa tahun bahkan berberapa puluh tahun kemudian."
Menurut Opih, banyak anak yang duduk di kelas 2 atau 3 SD tiba-tiba mogok sekolah. "Nah, ini bisa jadi merupakan pertanda kalau mereka terlalu diforsir. Perkembangan mereka seakan disentak-sentak, bukan seperti air mengalir. Dampak yang lebih buruk lagi, nantinya anak bisa drop-out dari SMA atau tidak mau meneruskan kuliah."

TANPA MINAT AKAN KECEWA

Toh, bukan berarti si kecil sama sekali tidak boleh kursus. Boleh-boleh saja. Namun, orang tua mesti jujur dulu kepada diri sendiri, apakah kursus tersebut memang untuk mengembangkan minat dan potensi anak, atau hanya untuk memuaskan ambisi orang tua saja. "Kalau dulu, kan, orang tua selalu menginginkan anaknya menjadi dokter atau insiyur. Saat trend-nya kini berubah, mereka berbondong-bondong ingin anaknya menjadi penyanyi, presenter atau model cilik," ujar Kepala Sekolah TK Al-Ikhlas, Jakarta ini.

Alhasil, ambisi-ambisi tadi memicu mereka untuk memasukkan anak-anaknya ke tempat-tempat kursus seputar dunia entertainment. Bila si kecil berminat mungkin tidak jadi masalah, tapi jika tidak, maka pada akhirnya hanya kekecewaan yang akan didapat anak. Ia tidak bisa menemukan dirinya di situ. "Awalnya, mungkin anak mau kursus karena iming-iming orang tua. Lama-lama akan tampak kejenuhannya sehingga akhirnya membawa anak pada kekecewaan." Inilah yang menurut Opih harus dihindari. Sarannya, orang tua mesti selalu ingat, kursus yang tidak diminati anak hanya akan merupakan suatu siksaan baginya.
Namun sekali lagi, bukan berarti semua kursus selalu berdampak buruk. Bila tujuan kursus adalah murni untuk mengembangkan minat atau potensi yang dimiliki anak, Opih justru menyarankannya. Amati potensi apa yang paling menonjol pada dirinya untuk kemudian dikembangkan. Bila umpamanya, si kecil senang menggambar dan memang terbukti hasil gambarnya lebih bagus ketimbang anak-anak lain, masukkan ia ke sanggar menggambar. "Di sanggar itu, anak akan mendapat pengarahan ahli. Bagaimana gradasi warna yang baik, bagai

mana cara menggambar bentuk orang dengan lebih menarik, dan lain sebagainya. Nah, kursus-kursus semacam ini dapat mempercepat bakat dan minat anak agar menjadi kenyataan," ujar Sekbid Informasi dan Komunikasi Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia ini.

BILA MENGEJAR KETINGGALAN

Lalu bagaimana dengan kursus-kursus yang tujuannya mengejar ketinggalan? Umpamanya, kursus membaca dan menulis bagi anak TK menjelang masuk SD. Untuk soal ini, kata Opih, yang perlu disadari orang tua, lagi-lagi bahwa anak TK tidak mesti langsung bisa membaca saat masuk SD. Ada perkembangan yang lebih penting yang harus mereka miliki ketimbang kemampuan membaca, seperti perkembangan imajinasi, perkembangan motorik halus maupun kasar, dan perkembangan bahasa.

Sayangnya, perkembangan-perkembangan tadi kadang terbengkalai karena guru maupun orang tua malah mementingkan kemampuan baca-tulis anak. "Perkembangan-perkembangan tersebut dianggap enteng karena hasilnya tidak bisa terlihat seketika. Sedangkan membaca, ukurannya lebih terlihat, dari yang belum bisa membaca jadi bisa baca. Makanya ini yang sering dikejar lebih dulu. "

Padahal, lanjut Opih, kemampuan membaca tidak ada gunanya jika anak tidak mengerti makna dari apa yang ia baca. Kemampuan menulis pun akan percuma saat anak tidak dapat mencurahkan ide ke dalam tulisannya. Semua kemampuan tersebut bisa bermula dari perkembangan-perkembangan yang dianggap remeh-temeh tadi. Pelajaran menggambar, misalnya, walau hasilnya tampak hanya seperti benang ruwet, merupakan salah cara untuk dapat mengembangkan imajinasi anak. Coba kita selalu bertanya apa yang anak gambar, "Adek gambar, apa?" ­ "Ini bebek, Ma." ­ "Kakinya enggak kelihatan, ya?" ­ "Iya, soalnya air kolamnya kepenuhan."

Jadi, apa pun alasan yang dicelotehkan anak, semua sah-sah saja karena gambar tersebut merupakan caranya merealisasikan ide-ide yang ada dalam pikiran. "Hanya, antara imajinasi dengan kemampuan motoriknya belum seimbang sehingga hasilnya terlihat berbeda dengan apa yang dimaksud." Lagi pula, ucapan-ucapan yang dikatakan anak mendorong juga perkembangan bahasanya.
Jadi, kembali lagi pada inti persoalan, kursus membaca bagi anak TK tidaklah mutlak. Namun bila toh, dengan berbagai pertimbangan tetap dirasa perlu, Opih memberikan rambu-rambu yang dapat dijadikan patokan. Salah satunya, perhatikan masa peka anak. Kalau masa peka anak sudah timbul, maka latihan baca-tulis akan bisa membantunya. Namun, jika masa peka tersebut belum ada, dalam arti anak belum berminat, maka akan ada tiga pihak yang merasa terbebani, yaitu guru, anak, dan orang tua.

Mendeteksi kepekaannya tidaklah terlalu sulit. Minta saja si kecil untuk mencari bentuk huruf yang sama. Misalnya, kita acungkan pada anak huruf N, lalu katakan, "Coba cari di kartu-kartu itu, bentuk yang sama dengan huruf yang Mama pegang!" Kalau anak sudah bisa melakukannya berarti dia bisa diajarkan membaca," kata Opih. Satu hal lagi yang patut diperhatikan, kursus membaca tidak boleh dengan cara mendril, tapi harus dengan bermain. "Dengan cara berlomba mencari huruf yang sama, misalnya. "

MINAT NAIK-TURUN

Yang perlu dicermati, minatnya terhadap sesuatu kadang menunjukkan grafik yang naik-turun. Hari ini bisa saja ia memperlihatkan antusiasme saat berlatih menari. Hari lainnya ia tampak ogah-ogahan. Tak ada yang perlu dikhawatirkan dari hal itu. Menurut Opih, wajar saja jika anak usia prasekolah mood-nya naik turun. Namun, tetap perlu dicari akar penyebabnya. Jangan-jangan hanya karena masalah sepele. Umpamanya, bagi anak yang ikut les renang, perintah untuk mencelupkan kepalanya ke dalam air bisa menjadi suatu siksaan. "Pelatih yang sabar dan mengerti jiwa anak akan menggunakan taktik lain. Misalnya, kepala anak disiram air dulu. Walau gelagapan, tapi setidaknya ia masih merasa aman karena kepalanya masih ada di atas air."

Untuk itulah Opih berharap penyelenggara kursus mesti dapat menyelami jiwa anak-anak. Bila guru di tempat kursus selalu memberikan kritik, anak-anak jadi takut salah. Waspadai pula jika si kecil sering mengeluh capek karena bisa merupakan indikasi pemaksaan yang tidak disadari. Saat akan berangkat kursus, umpamanya, anak banyak mengajukan alasan seperti sakit perut, mengantuk atau pusing. "Kalau itu terjadi tidak ada salahnya jika orang tua bertanya dengan jujur kepada dirinya sendiri. Apakah anak memang berminat pada kursus tersebut atau jangan-jangan kita saja yang ngotot."

Namun bisa juga keluhan capek tadi disebabkan frekuensi kursus yang terlalu dekat, misalnya seminggu 3 kali. Akhirnya terdengarlah keluhan seperti, "Aduh, kayaknya baru kemarin, deh, aku kursus. Masak sekarang harus kursus lagi." Padahal idealnya, menurut Opih, frekuensi kursus bagi anak TK adalah seminggu sekali atau seminggu dua kali. Akan lebih bijaksana lagi, penetapan jadwal kursus ini melibatkan si kecil. "Jangan mentang-mentang ia masih kecil, lalu orang tua sendiri yang menentukan. Kalau semua serba diatur, anak akan terbiasa tunggu perintah. Akhirnya kalau tidak diperintah, dia tidak akan berbuat apa-apa. Ini, kan sama saja membunuh kreativitasnya."

Selain frekuensi, jumlah kursus pun patut diperhatikan. "Jangan terlalu banyak, karena selain belum memiliki rasa tanggung jawab, ia pun masih selalu ingin bermain. Jadi, maksimal 2 macam saja dalam seminggu."

Opih yakin, jika anak memang berminat, ditambah frekuensi, jumlah kursus, dan penyelenggaranya yang menyenangkan, maka kegiatan ini akan menjadi suatu rekreasi yang indah dan selalu didamba-dambakan anak. Bukankah akan terdengar merdu jika dari mulut mungilnya terdengar, "Kapan sih aku kursus lagi? Aku sudah enggak sabar mau bernyanyi, nih!" Karena dari situlah awal perkembangan imajinasi serta kreativitasnya.

JENIS KURSUS YANG COCOK

Opih sendiri sebenarnya tidak membatasi jenis kursus bagi balita. Selama sesuai minat dan potensinya, kursus apa pun boleh saja. "Bila anak senang bermain dengan angka, ia bisa saja diikutsertakan pada kursus sempoa," kata Opih. Namun setidaknya, ada beberapa kursus yang umum bagi anak-anak TK:

* menggambar

* olahvokal

* mengenal musik

* renang

* komputer

* bahasa Inggris

Pada dua kursus yang disebut terakhir, yaitu bahasa Inggris dan komputer, menurut Opih, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Untuk bahasa Inggris, misalnya, boleh dijalani asalkan si kecil tidak melupakan bahasanya sendiri. Kursus komputer bagi si kecil pun tentu bukan meliputi pengenalan program-program yang rumit, tapi program yang memungkinkannya bermain sambil mengenal teknologi tersebut.
Yang paling penting lagi, kursus untuk anak-anak tidak boleh disamakan seperti kursus untuk orang dewasa. Misalnya, tidak dengan komunikasi satu arah dan duduk diam statis. "Untuk kursus bahasa Inggris, misalnya, bisa dengan bernyanyi. Sedangkan kursus komputer diselenggarakan dengan menggunakan program untuk anak-anak."
(tabloid-nakita)

Mendidik dengan mitos ,bolehkah?

Bila anak terus-menerus dijejali mitos maka daya pikirnya tidak akan berkembang dengan baik.

"Jangan duduk di atas bantal, nanti pantat kamu bisulan!" Percuma saja menanyakan alasannya, karena itulah mitos: anggapan yang sudah memasyarakat tetapi belum tentu kebenarannya.
Sadar atau tidak, mitos sudah sangat kental hidup di lingkungan kita. Bahkan, sejak kecil anak-anak sudah dijejali dengan beragam mitos. Ketika kita melarang mereka agar tidak duduk di atas bantal misalnya, mitos bisul itu yang jadi alasan. Atau ketika kita kesal melihat si kecil memain-mainkan beras, terlontar larangan seperti ini, "Jangan memainkan beras, nanti tanganmu keriting."

MENGAPA MITOS TIDAK EFEKTIF

Mengedepankan mitos sebagai alasan dari sebuah larangan, menurut Ade Irma Shalihah, Psi., adalah tindakan yang kurang tepat. Bagaimanapun, kata Staf pengajar di Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Jakarta ini, mitos merupakan penjelasan yang bersifat tak logis. Kebenarannya masih perlu diuji. Apalagi, seringkali mitos dikaitkan dengan hal-hal gaib padahal anak belum bisa mencernanya.

Memang, kognisi anak usia prasekolah dalam memahami sesuatu sudah lebih berkembang dari sebelumnya. Dia sudah bisa diajak berinteraksi dan berkomunikasi. Namun, taraf berpikirnya masih tetap praoperasional, yakni butuh penjelasan konkret. Bila penjelasan yang diberikan sangat abstrak seperti halnya mitos itu, maka sulit bagi anak untuk memahami apa yang dijelaskan kepadanya.

Misalnya, ketika kita melarang anak memainkan beras karena nanti tangannya keriting, dia akan kesulitan mencerna alasan tersebut. Apa hubungannya antara memainkan beras dengan tangan keriting.

Karena penjelasan berupa mitos sulit dimengerti anak, akhirnya larangan atau perintah yang kita berikan menjadi tidak efektif. Anak yang suka duduk di atas bantal dan memainkan beras akan tetap melakukannya karena alasan larangan yang diberikan tidak bisa dicernanya dengan baik.

MENGAPA YANG LOGIS EFEKTIF

Agar larangan dan anjuran kita terhadap anak bisa dicerna secara efektif, pilihlah kata yang sederhana dan logis. Ketika ingin melarang anak duduk di depan pintu, misalnya katakan, "Kalau kamu duduk di depan pintu, nanti akan menghalangi orang lain yang akan lewat. Lihat, Mama tidak bisa lewat, kan?" bukan dengan mengatakan, "Nanti kamu susah jodoh, lo." Penjelasan "menghalangi jalan" jauh lebih efektif dibandingkan "susah jodoh" tadi. Atau, "Kalau kamu memainkan beras, berasnya jadi berhamburan ke mana-mana, kan? Sayang, dong. Beras itu untuk dimasak jadi nasi dan dimakan oleh kita."

Ketika anak diberi alasan logis, maka mudah baginya untuk patuh terhadap larangan. "Benar, kalau aku duduk di depan pintu, Mama tidak bisa lewat," misalnya. Sangat mungkin dia juga tidak akan mengulanginya di lain waktu. Atau, "Wah benar juga nih, berasnya jadi berhamburan ke mana-mana. Padahal, ini, kan, untuk makan kita semua."

Penjelasan secara logis juga mengajak anak untuk belajar merangkai hubungan sebab akibat yang merupakan dasar logika. Kenapa dia tidak boleh duduk di depan pintu karena orang lain tidak bisa lewat, jadi dia harus pindah.

Sebenarnya hal ini merupakan sesuatu yang sangat sederhana, tetapi bagi anak keberhasilannya merangkai kejadian sebab akibat sangat bermanfaat untuk meningkatkan kemampuan berpikirnya dan merangsang kecerdasannya.

Sebaliknya, kalau setiap hari anak dijejali mitos yang sulit dicerna, selain tidak efektif, ia pun tidak terlatih merangkai hubungan sebab akibat. Kemampuan berpikirnya juga tidak akan berkembang, karena sampai masa dewasanya ia akan selalu mengaitkan segala sesuatu dengan hal-hal yang tidak logis. Bisa saja, akan terbentuk pribadi yang selalu takut dan ragu menghadapi beragam persoalan yang sebenarnya sangat simpel. Kita sama-sama tahu bukan, penjelasan logis sangat dibutuhkan untuk menyelesaikan setiap persoalan.

Bila mitos ini terus-menerus diberikan kepada anak, tidak mustahil ia akan dibuat bingung. Mungkin saja, di kesempatan lain anak mendapat penjelasan yang berbeda, akibatnya ia bingung menentukan penjelasan mana yang harus dianggap benar. Pada akhirnya, kebingungan ini bisa mengganggu proses internalisasi baik ke dalam diri maupun lingkungannya.

Meskipun demikian, penjelasan logis yang diberikan tetap harus dalam batasan. Inilah alasannya:

* Harus disadari bahwa kemampuan berpikir anak usia prasekolah baru sampai di tahapan konkret. Jadi dalam memberikan penjelasan sertai dengan suasana dan benda konkret.
* Selain itu, kemampuan berbahasanya juga masih terbatas karena belum semua kata bisa dipahaminya dengan baik.

* Anak balita sangat berorientasi pada masa sekarang. Dia hanya mampu memperhatikan kejadian yang dialaminya saat ini.

KIAT MEMBERIKAN PENJELASAN

Karena taraf berpikirnya yang masih seperti inilah maka ketika memberikan penjelasan kita harus memperhatikan beragam hal. Berikut hal-hal yang perlu diperhatikan dan kiat menyiasatinya seperti dituturkan Ade:

* Bahasa Anak

Sangat penting memperhatikan tingkat kognisi anak ketika ingin menjelaskan sesuatu, karena setiap anak berbeda kemampuannya dalam menyerap informasi yang masuk. Kalau diperkirakan anak sangat sulit mencerna penjelasan yang kita berikan, pilihlah kata-kata yang sederhana, konkret, singkat, langsung, dan spesifik. Soalnya proses perkembangan pola pikir dan bahasa anak yang masih terbatas. Jangan menggunakan kata-kata orang dewasa yang tidak dimengertinya. Ketika melarang duduk di atas bantal, gunakan gerakan selain kalimat, walau biasanya, kalimat sederhana saja sudah dapat dipahami dengan baik.

* Kalimat Jelas dan Lengkap

Sebaiknya ketika menjelaskan kepada anak gunakan kalimat langsung dan sederhana yang mudah dipahami. Misalnya, "Budi, jangan duduk di depan pintu karena kamu menghalangi orang yang mau lewat. Duduknya di kursi teras saja!" Kalimat seperti itu selain menjelaskan alasan larangan dengan sederhana, pun menganjurkan di mana sebaiknya ia duduk.

Hindari penggunaan kalimat yang menimbulkan pertanyaan balik, misalnya, "Budi, jangan duduk di depan pintu!" Tidak adanya alasan hanya akan menimbulkan pertanyaan balik, "Kenapa tidak boleh?" Berarti harus ada kalimat lain untuk menjelaskannya agar anak memahami kenapa dia dilarang.

Hindari juga kalimat yang mengandung pilihan, "Kok, kamu senang banget duduk di depan pintu, kenapa enggak di teras saja?" Kalimat seperti ini akan membuat anak memilih mana yang paling disukainya, di depan pintu atau di teras. Bila dia lebih suka di depan pintu, anak tidak akan pindah dan tidak memahami akibat negatif duduk di depan pintu.
* Jangan Menakut-nakuti

Seringkali, larangan dibarengi dengan ancaman yang sifatnya menakut-nakuti anak. "Awas, kalau duduk di atas bantal, di pantat kamu akan tumbuh bisul yang sangat besar!" misalnya. Larangan seperti ini suatu saat akan menjadi bumerang ketika pantat anak ternyata tidak bisulan. Ketika nantinya kita melarang kembali, anak bisa membantah. "Mama bohong, aku enggak bisulan, kok!"

* Jangan Menghujat

Ketika melarang sesuatu sebaiknya hindari kata-kata menghujat, memojokkan, mengancam, dan sebagainya. Orang tua harus ingat bahwa anak usia balita butuh waktu untuk memahami isi perintah. Jadi meskipun kesannya bandel atau tidak bisa dibilangi, tetapi sebenarnya anak hanya butuh waktu. Kalau kita menghujatnya, anak akan merasa disemena-menakan sehingga citra dirinya pun menjadi negatif. Bahayanya lagi, bila nantinya anak meniru kata-kata hujatan yang pernah kita ucapkan.

Jangan berpikir bahwa kitalah yang berkuasa dan boleh berkata semaunya. Hal ini akan membuat anak tidak nyaman berbicara kepada kita. Sebaiknya, berpikirlah bahwa anak harus diperlakukan secara lembut. Ketika kita ingin bicara dengannya, gunakan kata-kata yang halus, tidak bernada tinggi, marah, menghardik, dan sebagainya. Dengan bersikap seperti ini akan membuat anak merasa nyaman kala berbicara dengan kita.

* Jadikan Sahabat

Jadikan anak sebagai "teman atau sahabat" kita. Dengan cinta, usaha dan kemauan untuk terus belajar dari pengalaman akan membuat komunikasi orang tua dan anak menjadi lebih efektif. Tidak ada yang mudah, tapi tidak ada yang mustahil.

* Banyak Membaca

Terkadang, untuk menjelaskan sesuatu kita butuh informasi tambahan agar apa yang kita jelaskan kepada anak tidak salah. Informasi tambahan ini bisa didapat dari buku atau berbagi dengan orang tua lain. Bukankah, apa yang kita jelaskan ke anak harus benar bukan malah membingungkan.

* Sesuaikan Karakter

Kita tahu karakter anak berbeda-beda. Tidak semua anak senang dengan penjelasan yang menggurui, juga tidak semua anak senang dengan penjelasan yang sambil lalu. Bila anak senang dengan sosok menggurui, pilihlah cara ini. Demikian sebaliknya. Hal ini untuk efektivitas penyampaian penjelasan yang kita berikan.

* Beri Penghargaan

Bila anak berhasil melakukan perintah dengan baik, jangan lupa untuk segera memberikan penghargaan berupa perhatian. Banyak anak yang butuh pujian dan bukan hanya perintah atau larangan. Pujian bisa membuat anak bersemangat untuk mematuhi perintah dan larangan.

Perhatian yang kita berikan juga seringkali membuat anak bersemangat untuk bicara. Caranya, misalnya dengan menyejajarkan tubuh dengan anak, melakukan kontak mata, atau mengulang apa yang dikatakan anak untuk memperoleh kejelasan. Dengan begitu, anak merasa bahwa apa yang dibicarakannya itu mendapat perhatian dari orang tuanya dan anak tidak canggung lagi ketika nanti ingin berbicara kembali.

Banyak, kan, orang tua yang tidak tahu bagaimana cara berbicara yang baik dengan anak. Ketidaktahuan inilah yang sering membuat hubungan antara orang tua dengan anak tidak berjalan harmonis. Orang tua selalu berbicara dengan caranya yang padahal sama sekali tidak sesuai dengan keinginan anak.

Agar kreatifitas anak tidak terbatas

Orangtua mesti mau menjadi partner kreatif anak. Yuk, lihat kiatnya!

Ingin si kecil kreatif? Jawabannya pasti ya. Memberikan ragam mainan edukatif menjadi salah satu cara. Ada juga yang mendaftarkan si kecil ikut berbagai kursus semata-mata agar minat, bakat, dan kreativitasnya berkembang optimal.

Namun sebenarnya tak sebatas itu. Kreativitas juga bisa diasah dengan memanfaatkan benda-benda di sekeliling kita, terutama di rumah. Contoh, anak bisa memanfaatkan sofa atau kursi tamu ibarat sebuah mobil atau bus. Bantal bulat bisa dijadikan setirnya. Contoh lain, kardus bekas televisi dan kulkas dipergunakan sebagai rumah-rumahan. Imajinasi anak yang begitu variatif dapat mengubah sebuah benda menjadi sesuatu yang lain.

KETERLIBATAN ORANGTUA

Proses kreatif merupakan wujud aktualisasi diri anak saat ia bereksperimen, bereksplorasi, serta menemukan berbagai alternatif dalam memecahkan masalah yang dihadapinya. Anak pun merasa senang dan bangga ketika wujud kreativitasnya sesuai dengan imajinasi atau harapannya. Nah, agar potensi kreatif ini berkembang optimal, ada beberapa hal yang sebaiknya diperhatikan orangtua, yaitu:

* Berikan kesempatan seluasnya

Berikan kesempatan kepada anak untuk selalu bereksplorasi. Sediakan fasilitas untuk mendukung aktivitas kreatifnya. Tak harus dengan mainan edukatif yang harganya selangit, bisa juga memanfaatkan barang-barang bekas di rumah, misalnya kardus, kaleng susu, botol minuman, dan sebagainya.

* Mendampingi saat bermain

Kedekatan dan interaksi yang hangat serta komunikasi yang baik antara orangtua dan anak sangat penting dalam mengembangkan potensi kreativitasnya. Ini berarti jangan menyuruh si kecil mengutak-atik mainannya sendirian. Sebaliknya, temani ia dengan aktif. Dukung dan dorong minat serta rasa ingin tahunya. Bimbing si kecil untuk selalu berinisiatif agar kepercayaan dirinya tumbuh. Sikap empati juga perlu saat mendampinginya berkreasi.

Jangan lupa, selalu awasi apa yang dilakukan si prasekolah agar ia tidak menggunakan benda-benda yang berbahaya saat bereksperimen, misalnya barang yang mudah terbakar, mengandung bahan kimia, tajam, dan sebagainya.

* Jangan terlalu ikut campur

Biarkan si prasekolah mengembangkan sendiri berbagai ide dalam benaknya. Jangan memaksakan ide kita, harus begini dan harus begitu. Dengan demikian, anak dapat belajar bertanggung jawab dan mandiri. Jadi, bantu si kecil saat dia memang membutuhkan saja. Dengan catatan, bukan membantu secara penuh namun sekadar mengarahkan. Misalnya, menara balok-balokan yang dibuat si kecil selalu saja rubuh. Ternyata susunan baloknya tidak seimbang lantaran balok yang ukurannya kecil ditimpa dengan balok-balok yang besar. Di sini, kita bisa memberi masukan dan contoh bahwa balok yang paling besar ukurannya sebaiknya ditaruh paling bawah, begitu seterusnya. Dengan begitu, terjadi keseimbangan dan menara yang dibangunnya pasti berdiri kokoh.

Biarkan anak menemukan gaya mengasah kreativitasnya sendiri. Dorong ia menggunakan seluruh potensi kreatifnya. Tak perlu dibatasi. Misalnya, ketika ia bermain pasir di pantai orangtua tak perlu takut kotor. Biarkan ia bereksplorasi membuat sesuatu sesuka hatinya, entah itu membuat lorong atau rumah-rumah dari pasir. Sekalipun cara yang dilakukannya sambil telungkup bahkan "jungkir balik" plus belepotan dengan pasir.

Di sisi lain, jangan paksa anak melakukan sesuatu. Lepaskan saja dia melakukan kesenangannya. Beri kebebasan untuk bereksperimen atau mengekspresikan kreativitasnya. Justru jika terlalu dibatasi atau diarahkan, si prasekolah jadi kehilangan kesempatan untuk menempa potensinya. Contohnya, ketika dia menggoreskan pensil warna hitam untuk gambar awan, orangtua jangan protes. Tak perlu memaksa warna awan mesti biru, toh kalau cuaca mendung bukankah langit dan awan tampak hitam?

Satu hal lagi, jangan menuntut hasil. Yang paling penting adalah memerhatikan proses kreatif yang dilakukan si kecil. Hargai dan terima anak apa adanya sebagai pribadi yang utuh. Ingat bahwa setiap anak adalah unik. Lihatlah proses, bukan hasil.

* Jangan emosional

Orangtua juga perlu bersabar, tidak marah atau emosional karena kadang sikap si kecil menjengkelkan bila merasa tak sanggup melakukan sesuatu. Ia bisa ngambek, mutung, bahkan mengamuk. Wajar kok anak mengungkapkan kekesalannya lantaran tak sukses membuat sesuatu.

Jika anak tampak "putus asa", berilah ia motivasi. Jelaskan bahwa anak sebenarnya memiliki potensi untuk berhasil. Kalau si kecil tetap juga tak berhasil, boleh saja orangtua menghibur kegundahan hatinya. Katakan di lain waktu pasti dia bisa menyelesaikan apa yang diinginkannya.

Sekali lagi, orangtua harus berempati. Pahami perasaan si kecil. Jangan malah meremehkannya dengan berkomentar, "Aduh, masa begitu saja enggak bisa." Justru sikap empati dapat mengembalikan kepercayaan diri anak. Nah, jika anak berhasil mewujudkan sesuatu sebagai hasil kreativitasnya, jangan sungkan-sungkan memberikan pujian. Namun perlu diingat, penghargaan atau pujian bukan saja karena anak sudah berhasil menuntaskan aktivitasnya, tapi juga hargai proses yang dilaluinya, yaitu jerih payah, kerja keras, ketekunan serta daya juang dan semangat anak.

ANEKA AKTIVITAS KREATIF

Peralatan atau benda-benda yang dapat digunakan sebagai sarana mengasah kreatif bisa apa saja. Berikut di antaranya:

* Kertas

Dengan cara dilipat atau digunting, kertas bisa dibuat topi, pesawat, bunga atau bentuk binatang dan lainnya. Untuk mempercantik hasil karya itu hias dengan kertas berwarna. Jika ingin membuat layang-layang perlu bahan penunjang seperti lidi dan benang sebagai rangka- nya. Sediakan pula lem atau gunting karena sesekali dibutuhkan. Catlah hasil karya sesuai keinginan menggunakan pensil warna atau cat air.

Si prasekolah juga bisa melakukan aktivitas menggambar. Berimajinasi menuangkan apa yang tergambar dalam benaknya. Setelah itu, poles dengan pensil warna sesuka hatinya. Lagi-lagi, bukan gambar yang dinilai, tapi proses kreatiflah yang perlu dihargai.

* Kardus/kaleng

Dengan bahan kardus atau kaleng bekas berukuran kecil, anak bisa membuat kotak pensil. Ajari anak membuat pola, lalu gunting mengikuti garis. Agar hasilnya lebih indah, hiasi kaleng atau kardus dengan gambar dan lukisan hasil karyanya. Jika kardusnya berukuran besar, si kecil dapat membuat rumah-rumahan dan sebagainya.

* Kain/kaus kaki

Kain atau kaus kaki bekas dapat digunakan untuk membuat boneka. Bagian ujung dibuat seperti wajah dengan gambar mata, hidung, dan mulut. Lalu, pergunakan untuk bermain peran seperti panggung boneka bersama teman-teman. Cara yang lebih sederhana, cukup jari-jemari yang dihias menggunakan spidol, ada mata, hidung dan mulut.

* Balok-balok

Balok-balok alat permainan dapat dibentuk sedemikian rupa misalnya membuat gedung/menara tinggi dan sebagainya.

* Stik es krim

Nah, stik es krim dapat dibentuk menjadi gambar rumah atau kotak pensil dan sebagainya.

* Tanah liat

Tanah liat dapat dibentuk menjadi apa saja, misalnya bentuk binatang, gelas, cangkir, dan lainnya. Orangtua tak perlu khawatir anak jadi kotor karena setelah selesai anak tinggal mandi agar bersih kembali.

* Pasir

Bermain pasir bisa dilakukan di rumah, juga ketika pergi ke pantai. Anak dapat membuat rumah-rumahan atau membuat terowongan. Biarkan dia berimajinasi. Jangan khawatir badannya jadi kotor.
ASAH KREATIVITAS DI SEKOLAH

Selain lingkungan keluarga, peran pihak sekolah (TK) juga sangat penting. Sekolah perlu memberikan kesempatan kepada anak untuk mengekspresikan diri secara luas dan memfasilitasi potensi kreatif anak. Kreativitas akan berkembang dengan baik jika lingkungannya kondusif. Terapkan pola belajar sambil bermain dalam suasana yang menyenangkan dengan memanfaatkan apa pun yang ada di sekolah atau kelas.

Anak juga perlu dihargai sebagai pribadi yang unik. Jangan dituntut sesuai harapan guru. Justru anak mesti didorong dan mendapatkan kesempatan yang luas untuk proaktif dalam proses belajar sambil bermain tersebut. Ajak anak untuk terlibat dalam aktivitas kelas, menyalurkan gagasannya, serta berbagi pengalaman dengan teman dan gurunya.

Sekali lagi, tentunya pihak sekolah perlu memberikan suasana aman dan nyaman selama proses belajar sambil bermain tersebut. Jangan sampai membuat anak tertekan atau tegang karena itu justru dapat menghambat kemampuannya dalam bereskplorasi mengasah potensi kreatifnya. Yang jelas, agar anak kreatif tentu guru maupun orangtua mesti kreatif juga.(tabloid-nakita)

Trik cerdik jawab pertanyaan anak

Respons positif orangtua atas pertanyaan si kecil sangat membantu proses berpikir dan tingkat pemahamannya.

"Bu, mengapa burung bisa terbang? Kok pohon berbuah sih? Apa nama kendaraan beroda tiga itu?" Duh, si prasekolah terkadang bikin mumet dengan berbagai pertanyaannya yang tak kenal waktu. Kalau sudah kehabisan akal, tak jarang orangtua berujar, "Aduh Kakak bawel amat sih!" Atau pertanyaannya yang dianggap sepele atau tak logis ditanggapi dengan jawaban asal-asalan. "Pohon berbuah? Ya...memang dari sononya begitu. Sudah, ah, Papa mau baca koran lagi!"

Tentu respons orangtua yang asal-asalan amat tidak disarankan. Paling bijak tanggapi apa pun pertanyaan anak, yang sepele sekalipun, secara positif. Respons yang baik akan membantu proses berpikir dan pemahaman si prasekolah kelak. Juga tak masalah jika ia ternyata masih belum puas dengan jawaban yang diberikan lantas bertanya lagi, lagi, dan lagi. Orangtualah yang mesti siap menghadapi "gempuran" pertanyaan itu. Misalnya dengan lebih rajin membaca buku agar wawasan dan pengetahuan kita makin bertambah.

MENUNJUKKAN MINAT

Mengapa di usia prasekolah anak sangat gemar bertanya? Ada beberapa alasan yang menyertainya, antara lain:

* Menunjukkan minat. Ragam pertanyaan anak dapat menunjukkan minatnya pada peristiwa atau pemandangan di sekitarnya. Contoh, si prasekolah bertanya, "Mengapa ayam yang tadinya satu bisa bertambah jadi tiga?" atau "Ada berapa banyak mobil yang sedang parkir itu?" Pertanyaan-pertanyaan seperti ini merupakan pertanda anak memiliki minat di bidang matematika/logika.

* Belum paham. Keingintahuan yang belum terpenuhi akan membuat anak terus bertanya sampai ia mendapatkan titik terang. Kalau orangtua merasa sudah pernah menjawab tapi anak tetap melontarkan pertanyaan yang sama, jangan-jangan ia belum memahami penjelasan yang diberikan.

* Cari perhatian. Kalau si kecil selalu mengajukan pertanyaan yang sama, padahal orangtua juga sudah berkali-kali menjelaskan, bisa jadi ia sedang caper alias cari perhatian. Segera cari penyebabnya. Mungkin lantaran si kecil merasa diabaikan karena orangtua tidak menemaninya bermain, orangtua kelewat sibuk dengan pekerjaan, atau ia merasa dibedakan dengan kakak atau adiknya. Agar terus mendapat perhatian dari ayah dan ibunya, si kecil terus menanyakan hal yang sama. Cara ini pun kerap dipakai oleh anak anak yang sebetulnya tidak kurang perhatian. Namun, ketika perhatian untuknya teralihkan, anak berusaha mendapatkannya kembali dengan berbagai cara, termasuk banyak bertanya. Oleh karena itu, lakukan kontak mata saat berkomunikasi agar anak merasa tetap diperhatikan dan dihargai.

KIAT MENJAWAB

Si kecil sebenarnya tak begitu membutuhkan jawaban panjang lebar, apalagi dengan bahasa yang kurang "membumi" karena masih terlalu abstrak di telinga anak. Agar si prasekolah bisa langsung paham jawaban Anda, berikut kiatnya:

3 Hindari penjelasan yang berbelit-belit. Yang dibutuhkan si kecil adalah jawaban dan penjelasan sederhana dengan bahasa yang sesuai kemampuan berpikirnya.

3 Jika masih ragu-ragu dengan jawaban yang akan diberikan, jangan bersikap "sok tahu". Alih-alih mendapat jawaban yang tepat, anak justru menelan informasi yang ternyata salah. Singkat kata, orangtua harus jujur atau terus terang kalau tak bisa menjawab.

3 Ajak anak untuk mencari jawaban dari pertanyaan-pertanyaannya yang sulit. Misalnya, dengan mengajak anak membuka ensiklopedia atau mencari orang yang kira-kira bisa menjawab pertanyaannya. "Yuk kita tanya kakek, mungkin beliau tahu." Atau, "Bagaimana kalau kita besok tanyakan kepada ibu guru. Siapa tahu ibu guru bisa jawab." Kelak si kecil juga belajar bahwa jika mendapati masalah maka dia akan mencari orang yang bisa membantunya memecahkan masalah yang dihadapi atau membacanya dari berbagai buku/literatur.

3 Ajak anak belajar menganalisis hubungan sebab-akibat. Misalnya, ketika anak bertanya, "Ma, kenapa orang naik kuda? Kenapa enggak jalan kaki saja kan punya kaki." Cobalah memancing daya analisis si kecil dengan balik bertanya, "Coba menurut kamu lebih cepat mana orang sampai ke tujuannya, apakah naik kuda atau jalan kaki?" Upaya membalikkan pertanyaan juga merangsang anak untuk menemukan sendiri jawabannya. "Ayo, menurut Kakak kenapa orang naik kuda?".

3 Untuk menjawab pertanyaan "mengapa" sebaiknya orangtua jangan langsung menjawab. Biarkan dia berpikir mencari jawabannya. Maklumi jika jawabannya masih sangat sederhana karena memang kemampuan berpikirnya masih terbatas. Dalam hal ini, orangtua berperan menambahkan atau menjelaskan sesuatu lebih jelas lagi agar pengetahuan dan wawasan si kecil makin bertambah. Misalnya, "Kenapa burung bisa terbang? Karena punya sayap. Nah, burung-burung yang kamu lihat itu terbang untuk mencari makanan yang ada di pohon-pohon dan juga di tanah. Burung membuat sarangnya di pohon, lo."

SI PENDIAM

Tak semua anak usia prasekolah banyak melontarkan pertanyaan. Beberapa di antaranya lebih memilih banyak diam. Kalau ditelusuri ada beberapa hal yang melatarbelakangi perilaku seperti itu:

* Pendiam. Anak tak suka bertanya karena memang ia tipe pendiam; tak terbiasa mengemukakan isi pikirannya dan apa saja yang diinginkannya. Mungkin juga karena kedua orangtuanya pendiam dan jarang mengajaknya berkomunikasi atau berdialog. Harap diingat, anak adalah peniru ulung. Jikalau orangtua tak banyak bicara, anak pun bisa setali tiga uang.

* Kemampuan terbatas. Dengan kata lain, perkembangan si kecil mengalami keterlambatan sehingga kemampuan bicaranya juga terlambat.

* Dianggap sepele dan dimarahi. Orangtua yang tak pernah memberikan kesempatan kepada si kecil untuk banyak bertanya dapat menyebabkan anak jadi lebih memilih diam. Misalnya, setiap pertanyaan anak tak pernah dijawab. Entah karena dianggap sepele atau pertanyaannya sulit dijawab. Misalnya, "Aduh, Papa lagi sibuk nih, tanya-tanya terus sih. Sana main di luar." Atau misalnya, si anak malah disuruh tanya pada ibunya. "Tanya saja sama ibu. Ayah masih kerja enggak boleh diganggu!"

Akibatnya, anak bingung tak punya tempat bertanya. Minatnya untuk bertanya pun pupus di tengah jalan. Dia beranggapan untuk apa bertanya bila malah dimarahi. Di sekolah pun dia jadi jarang bertanya. Anak tumbuh menjadi pribadi yang pasif dan tak percaya diri. Kalau bertanya takut disalahkan atau khawatir ditertawakan. Dampak lebih jauh, kemampuan berpikir dan daya nalar si kecil jadi tak berkembang optimal. Sayang, bukan?

PERTANDA KRITIS, CERDAS, DAN KREATIF?

Konon, anak yang banyak bertanya menandakan kalau ia kritis, cerdas, dan kreatif. Memang hal itu tidak secara langsung berkaitan. Sebagai ilustrasi, anak yang kritis, cerdas, ataupun kreatif umumnya mempertanyakan sesuatu yang butuh jawaban panjang lebar. Misalnya, pertanyaan yang dimulai dengan "mengapa". Akan tetapi perlu diingat pula bahwa indikator kritis, cerdas, ataupun kreatif tak cuma dapat dinilai dari satu aspek itu saja. Ada berbagai hal lain yang patut dijadikan pertimbangan dalam mengategorikan seorang anak cerdas, kritis, atau kreatif. Yang pasti, setiap anak memiliki kecerdasan majemuk. Kecerdasan mana yang paling menonjol tentu masing-masing berbeda.

UNTUK ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS

Anak-anak berkebutuhan khusus, misalnya autis, ADHD, down syndrome dan sebagainya juga terkadang menanyakan sesuatu. Namun, tidak mengarah pada pertanyaan yang bersifat sebab-akibat, tapi lebih pada pertanyaan "apa" atau "di mana". Selain itu, anak berkebutuhan khusus sering mengulang pertanyaan yang sebenarnya sudah pernah dijawab. Adakalanya anak-anak ini pasif atau tidak mengajukan pertanyaan apa pun. Untuk itu, orangtua dan terapis biasanya mendorong anak tersebut untuk bertanya. Misalnya, "Tumben diantar sama papa? Mama ke mana?" Kemudian, anak-anak ini juga dilatih untuk bisa menjawab tidak sekadar bertanya. Memang membutuhkan kesabaran yang lebih dalam menghadapi anak berkebutuhan khusus.tabloid-nakita

MEMBACA RAPOR TK


Apa saja yang perlu disimak?

Sebentar lagi, Anda akan menerima rapor si kecil. Dag dig dug deh rasanya, "Apakah anakku termasuk yang berprestasi? Biasa-biasa saja? Atau malah punya kekurangan?" Ya, meski si kecil masih duduk di bangku TK, orangtua selayaknya melihat rapor sebagai hal serius.

Seiring dengan perkembangan zaman, rapor anak TK pun mengalami penyesuaian di sana-sini. Beberapa TK masih menggunakan pola konvensional, yaitu dengan memberikan nilai B untuk baik, C untuk cukup, dan K untuk kurang. Sementara untuk menilai perkembangan perilakunya, biasanya digunakan standar S untuk sering, SS untuk sangat sering, dan TP untuk tidak pernah. Sampai sekarang penilaian tersebut masih relevan digunakan. Ke sini, beberapa TK memodifikasi rapor anak didiknya dengan memberi catatan pada tiap poin penilaian.

Memang tidak berarti kalau di rapor terdapat nilai K, orangtua harus serta merta "menggenjot" si anak habis-habisan sampai mengusai kemampuan yang dinilai kurang. Oleh sebab itu, pahami dulu apa arti nilai B, C, K, S, SS, TP bagi anak prasekolah.

* Nilai B

Diberikan bila anak sudah mampu mengerjakan tugas yang diberikan tanpa bantuan guru sama sekali. Misalnya anak sudah bisa mewarnai dengan baik, rapi, dan menyelesaikan tugas tepat waktu. Untuk kemampuan mewarnai seperti ini, anak layak mendapat nilai B yang berarti baik.

* Nilai C

Jika anak sudah bisa menyelesaikan tugas dengan baik tapi masih butuh bantuan guru, maka ia akan dinilai cukup. Misalnya untuk kasus yang sama, yaitu pelajaran mewarnai. Anak sudah mampu memegang pensil warna dengan baik dan tugasnya bisa dikerjakan dengan rapi, tapi dalam memilih warna, sesekali anak masih bertanya pada guru. Selain itu anak masih butuh motivasi untuk menyelesaikan tugasnya tepat waktu.

* Nilai K

Nilai K diberikan kalau anak masih butuh bantuan dan dukungan dari guru secara intensif. Misalnya masih perlu penjelasan berulang untuk memahami instruksi guru. Dukungan dan motivasi pun harus sering diulang supaya tugasnya selesai. Beberapa anak meski sudah mendapat perhatian ekstra, tetap saja tidak bisa menyelesaikan tugasnya sesuai harapan.

* Nilai S (sering)

Seorang anak berhak mendapat nilai S atau sering jika sehari-hari ia menunjukkan perilaku tertentu. Misalnya anak Anda sudah mau berbagi dengan temannya kalau diminta oleh guru.

* Nilai SS (sangat sering)

Anak layak mendapat nilai SS bila dalam sehari-hari ia mau melakukan perilaku yang dinilai tanpa perlu diminta guru. Misalnya, menyapa teman lebih dulu saat berpapasan dan sebagainya. Intinya, inisiatif untuk melakukan sesuatu sudah dimilikinya tanpa bantuan guru lagi.

* Nilai TP (tidak pernah)

Anak-anak yang tidak pernah melakukan perilaku yang dinilai akan mendapat nilai TP. Misalnya ia belum bisa berbagi sama sekali, masih "takut" dengan lingkungannya sehingga hampir tidak pernah menyapa teman apalagi guru, tidak mau maju ke depan kelas, tidak pernah menjawab pertanyaan guru, tidak pernah membereskan mainan sehabis dimainkan, dan sebagainya.

ASPEK PENILAIAN

Di TK, anak dituntut menguasai keterampilan sesuai dengan tugas perkembangannya. Inilah perinciannya:

* Motorik kasar

Penilaian meliputi kemam-puan meloncat, melempar, berlari, berdiri satu kaki, melompat engklek, memanjat, berjalan di titian, menendang bola.

* Motorik halus

Penilaian mencakup kemampuan menggunting, menggambar, mewarnai, menempel, menjahit, dan meronce.

* Perkembangan kognitif

Meliputi pengenalan konsep dasar huruf, angka, dan bentuk-bentuk geometris serta variasinya. Sebagai catatan, penguasaan kemampuan ini tidak sama dengan keharusan bisa membaca ataupun berhitung.

* Perkembangan bahasa

Pada poin ini, anak akan dinilai kelancaran bicaranya, penguasaan kosakata, dan kemampuan bercerita pengalaman ataupun imajinasinya.

* Perkembangan emosi

Perkembangan emosi meliputi apakah anak masih mudah menangis, tidak bisa mengenda-likan emosi, atau sudah bisa mengendalikan emosi.

* Kemampuan sosialisasi

Kemampuan sosialisasi yang dinilai adalah kepiawaian anak menjalin relasi dengan teman-temannya. Misalnya kemampuan menyapa, menolong teman, menengahi perselisihan, dan berinteraksi.

HARUS BAGAIMANA?

Bila ada penilaian yang dianggap kurang, biasanya guru akan memberi catatan. Haruskah catatan ini dianggap serius atau justru boleh diabaikan? Sering kali orangtua menganggap enteng dengan berujar, "Ah, masih TK ini. Biar saja ada kekurangan di sana-sini." Sikap seperti ini tentulah kurang bijak. Kalau sekarang mengatakan, "Ah, masih TK ini," bisa jadi di SD pun orangtua akan berkilah sama.

Sebenarnya, catatan tersebut merupakan "imbauan" bagi orangtua untuk bekerja sama dengan guru. Misalnya kemampuan si prasekolah dalam memilih warna kurang berani, dan mewarnainya masih ragu-ragu. Diharapkan dengan adanya catatan tersebut orangtua mau melatih atau memberikan waktu lebih pada anaknya guna mengasah kemampuan yang satu ini. Demikian juga kalau yang dinilai kurang adalah perilakunya, misalnya anak tidak pernah menyapa teman. Diharapkan orangtua lebih aktif membawa anak ke ajang bersosialisasi di sekitar rumah agar dapat berinteraksi dengan lebih banyak sebaya.

Bila catatan yang diberikan menurut orangtua tidak sesuai dengan keadaan anak di rumah, sebaiknya bicarakan baik-baik dengan gurunya. Tak jarang orangtua merasa kemampuan anaknya baik-baik saja. Padahal mungkin saja anak termasuk tipe jago kandang. Diskusikan dengan guru bagaimana baiknya demi langkah penanganan yang tepat.

MASALAH ABSENSI

Di bagian akhir penilaian, biasanya ada rekapitulasi absensi anak. Berapa hari ia sakit, berapa hari ia izin dan berapa hari tidak masuk tanpa keterangan. Kalau absensinya masih di bawah 5 hari, tak masalah. Apalagi jika anak masih duduk di bangku TK A. Di usia ini lazimnya kondisi fisik anak belum optimal. Panas, pilek, batuk, merupakan penyakit langganan yang acap kali muncul dan menyebabkannya harus absen dari sekolah. Lain halnya kalau absensi itu sampai 20 hari atau bahkan satu bulan, biasanya ada masalah lain yang mesti disiasati.

Selain itu, absensi di TK juga terkait dengan latihan daya tahan tubuh anak sebagai persiapan masuk SD. Seperti diketahui, di bangku SD anak harus belajar lebih lama dengan rentang konsentrasi lebih panjang. Kalau di TK kemam-puan ini tidak diasah dan dengan mudahnya orangtua meloloskan keinginan anak untuk tidak masuk sekolah, bukan tak mungkin di jenjang pendidikan selanjutnya anak akan mengalami kesulitan.

Cari tahu mengapa anak malas sekolah, apakah ia mengalami konflik dengan temannya atau dengan gurunya. Selain untuk mengasah kemampuan, sekolah pun harus menjadi ajang bergaul yang menyenangkan.

Dengan demikian, orangtua dituntut bijak menyikapi apa pun isi rapor si prasekolah. Anda boleh saja kecewa tapi jangan memojokkan si kecil serta memaksakan latihan yang hanya akan menghilangkan unsur kegembiraan. Lebih baik, terima kekurangan anak agar bisa memberikan motivasi dan stimulasi yang tepat.

TIP BIJAK

* Jangan bandingkan kemampuan anak Anda dengan yang lain. Anak bisa down karenanya.

* Berikan pujian sewajarnya tiap kali anak menunjukkan kemajuan baru.

* Mengingat banyaknya aspek penilaian, jangan hanya fokus pada satu hal yang dianggap unggul.

* Jangan terlalu menuntut anak melakukan ini dan itu. Apalagi jika kemampuan tersebut sebetulnya bukan merupakan tugas perkembangan di usianya.

Pada prinsipnya, TK adalah tempat anak bermain. Meski demikian, ada yang "salah" dengan sistem pendidikan kebanyakan TK di sini, yaitu menuntut anak menguasai kemampuan yang tidak mesti sekarang dikuasainya. Misalnya ada beberapa TK yang memasukkan mata pelajaran membaca dan berhitung. Kalau sekadar mengenalkan dengan cara menyamarkan dalam permainan tentu tidak masalah. Tapi kalau anak sampai dituntut harus menguasai keterampilan tersebut, itu sudah tidak tepat.(tabloid-nakita)