Tampilkan postingan dengan label Pendidikan Mental - Moral. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Pendidikan Mental - Moral. Tampilkan semua postingan

Mengajar Anak Egois dan Mau Menang Sendiri

Sumber: Ibu-ibu DI

Tanya

Aku mau sharing saja moms, kemarin kebetulan ada acara HBH di Gelanggang Samudra Ancol. Aku dan keluarga ikut serta. Asyiknya banyak tontonan dan permainan yang lain dari pada biasanya. Karena banyaknya orang mengakibatkan arena tontonan dan arena bermain jadi harus antri. Nah disini masalahnya. Saat aku menemani anak-anakku untuk antri di salah satu wahana yang hanya memperbolehkan anak-anak untuk bermain. Aku melihat seorang anak yang ditemani Ibunya. Diangkat oleh sang Ibu melewati pagar antrian sehingga dia dengan mudah dapat berlari mendapatkan giliran. Padahal didepanya banyak yang mengantri. Untung anakku tidak iri dengan cara mereka. Tapi yang lebih parah ternyata, setelah permainan selesai dan anak-anakku mencapai giliranya untuk bermain, aku lihat anak itu dapat instruksi dari sang Ibu untuk memutar dan bermain kembali tanpa diketahui oleh petugas. Jadi anak itu bermain 2 kali, sementara banyak orang masih mengantri. Benar-benar hebat kerja sama ibu dan anak itu. Dan ternyata aku kenal orangnya, dan aku tahu dia adalah orang yang berpendidikan.

Kalau sudah begitu, tidak aneh rasanya melihat korupsi di negara kita, wong masih kecil saja anak sudah diajarkan egois dan mau menang sendiri. Entah dengan cara apapun.... Sementara aku wanti-wanti ke anak-anakku untuk tidak boleh begitu ya. Itu namanya kamu dzolim sama orang [An]

Jawab

Mba, Jadi ingat waktu jaman daftar sekolah anakku, antri di depan loket buat memasukkan form pendaftaran. Tahu-tahu ada seorang bapak yang berusaha menerobos antrian, plus pakai acara ngomel-ngomel karena antrian begitu penuh dan lama. Setelah beberapa kali menyikut orang, sampailah padaku. Sambil berusaha setenang mungkin, aku bilang begini;
"Pak, tolong sabar dan antri yaa...Kalau bapaknya saja tidak bisa tertib dan disiplin, percuma anaknya disekolahkan disini..."
Hihi... itu bapak yang dandanannya perlente melotot padaku tapi sudah tidak bias bicara lagi, karena bapak-bapak dan ibu-ibu lain yang ada di depanku jadi ikut nengok dan melihat beliau ini. Duh... banyak loh ortu model begini. Dan maaf-maaf, kalau penampilannya biasa-biasa saja sih, bisa dimaklumi kali yaa. Mungkin memang kurang terdidik atau berasal dari lingkungan terbiasa yang seperti itu. Nah, kalau yang sudah dandan necis, dan kalau bicara berselipan istilah bahasa asing. Tapi kelakuan semaunya sendiri, urat malunya sudah putus kali yaa...hi..hi..[Dy]


Sepertinya tidak bisa antri itu memang sebagian dari budaya kita, suka atau tidak suka, orang Indonesia itu paling susah disuruh tertib. Aku heran, dimana sekarang budaya tepa selira yang dulu sangat diagungkan itu, wong kenyataannya berapa banyak orang yang menyerobot lampu lalu lintas, berapa banyak orang yang menyerobot di pintu tol dan lainnya, dan sebagian besar kecelakaan terjadi karena tidak tertib khan? Kemarin aku juga kebetulan main di Jatim Park (Amusement Park di daerah Batu-Malang), meskipun arena permainan itu hanya untuk anak-anak, kenyataannya orang tua ikut campur dalam serobot-menyerobot, walhasil, anakku yang aku sengaja biarkan antri, ya tergeser terus, sama si ayah petugasnya yang ditegur; "Mas, tolong antriannya ditertibkan lagi, biar sama-sama enak dan tidak ada yang terserobot-serobot", walhasil para ortu yang tidak tertib itu melirik suamiku dengan sewot..hehehe Yah...seperti yang Mbak bilang, tidak heran kalau para koruptor semakin subur, ya karena memang diajarkannya seperti ini. Bahkan, tahun lalu aku berkesempatan berangkat haji, terlihat sekali ketidakbisaan antri ini, mulai dari masuk masjid, beli makanan, antri toilet, antri bis sampai terjadi rebutan makanan sumbangan (itu loh, tahun lalu kan ada ada insiden jamaah haji tidak mendapat suplai makanan)...byuh..byuh..padahal hari gini..saat jamaah haji sudah bergeser ke usia muda, harusnya lebih berpendidikan mengingat sebagian besar jamaah haji adalah orang yang lumayan mampu dan banyak yang memiliki jabatan, kenyataannya teteub saja tuh tidak bias antri so, moms yuk kita budayakan lagi tepa selira dan tertib ini, OK lah di era kita belum dapat terlaksana, tapi paling tidak di generasi anak-anak kita, kita harus lebih baik [HK]


Wah saya juga tidak suka orang tua yang mengajarkan anaknya seperti itu. Tidak cuma ngantri bahkan dalam lomba pun ada saja orang tua yang mengajarkan anaknya tidak jujur. Hal itu saya sering temukan dan sepertinya hal itu seperti hal yang biasa saja. Pernah suatu ketika pas saya menemani anak saya lomba melukis, ada salah satu teman lombanya yang memanipulasi usia alasannya takut sama lawan usianya dan yang pasti tidak menang bahkan orangtuanya ikut menjatuhkan mental lawan-lawan anaknya wah itu sangat membuat saya marah karena sejak kecil sudah diajarkan main curang dan berbohong. Bahkan bisa merugikan peserta lain. Saya pikir peristiwa yang mbak alami mencerminkan bahwa anak itu sudah diajarkan kecurangan tanpa memikirkan apakah hal itu dapat merugikan orang lain. Takutnya jika sudah besar nanti kalau dia menghadapi masalah dia hanya memikirkan dirinya sendiri, tidak peka terhadap lingkungan. Malah sekarang ini saya selalu ingatkan anak-anak agar selalu ngantri, tidak boleh curang dan peka terhadap lingkungan. Semoga saja ya mereka selalu ingat nasehat mamanya Amin [EP]

Ada tambahan masukan dari teman yang lain:
Sebaiknya kalau kita melihat hal-hal seperti itu bersama anak kita, langsung tegur saja. Tentu dengan cara yang sebaik-baiknya. Biar anak kita tahu bahwa hal tersebut tidak baik dan kita berhak untuk menegur. Yuk Moms, kita mulai dari rumah kita dan lingkungan kita sendiri untuk
membenahi hal-hal seperti ini. Mudah-mudahan kita bisa mempengaruhi lingkungan yang lebih besar lagi nantinya. Mudah-mudahan, generasi anak-anak kita akan lebih baik [An]

Membentuk Moral Anak

MEMBENTUK moral anak bisa dilakukan lewat story telling (dongeng). Kegiatan membaca dongeng dan berdiskusi antara orangtua dan anak ini dapat dilakukan di rumah.

Anak tentu saja menjadi anugerah terindah bagi setiap orangtua. Namun, ketika sang buah hati beranjak remaja atau dewasa, bisa jadi anak yang telah dibesarkan dan dididik sebaik mungkin, menjadi anak yang tidak mengerti nilai-nilai moral dalam kehidupan.

Kondisi tersebut tentu saja mengecewakan karena apa yang sejak dini ditanamkan, hilang begitu saja. Padahal, membentuk moral anak bisa dilakukan sejak dini, bahkan ketika anak memasuki tahun pertama usianya.

Hal tersebut terungkap dalam seminar pendidikan dan parenting bertajuk Education in the Changing World, di Kemang Village, Jakarta Selatan, beberapa waktu lalu. Hadir sebagai pembicara, Kepala Sekolah Pelita Harapan (SPH) Brian Cox M Ed dan Koordinator Sekolah SPH James T Riady.

Selain dua pembicara tersebut, seminar juga dihadiri oleh Pendiri Layanan Konseling Keluarga dan Karier Roswitha Ndraha, Sport and Arts Director Universitas Pelita Harapan Karawaci Stephen Metcalfe BA, dan Rektor Universitas Pelita Harapan Jonathan Parapak. Berbagai topik seminar diangkat dengan tujuan memberikan yang terbaik bagi anak-anak Indonesia.

Seperti diungkapkan James T Riady, yang membawakan makalah bertajuk Youth with a Vision. Dalam makalahnya, dia banyak menyinggung tentang perkembangan moral anak yang tidak saja didapatkan di sekolah.

"Pengetahuan yang tinggi, tidak menjamin seseorang bisa memiliki moral yang baik. Namun, ketika anak-anak memiliki moral yang baik, otomatis mereka bisa menilai mana pendidikan yang baik dan buruk," papar James. Peran orangtua dalam mempersiapkan anak-anak yang memiliki visi dan masa depan, menurut James, sangatlah penting. Lewat orangtua, anak-anak belajar segala sesuatu.

"Pendidikan formal berfungsi melatih anak-anak untuk memperbaiki lingkungan sekitarnya. Sedangkan dengan pengetahuan moral, anak-anak diajak berpikir dan membangun etika dan karakter dirinya yang baik," tambah James dalam seminar yang diselenggarakan oleh Sekolah Harapan Kita itu.

Sedikit berbeda dengan James, peserta seminar yang juga pengajar di Jakarta, William Pakpahan mengatakan, pendidikan moral untuk anak-anak bisa dilakukan di rumah, bisa dengan membahas buku-buku cerita bersama orangtua, membaca kitab suci ataupun mendongeng.

"Saya memang seorang pengajar, namun saya tidak yakin di sekolah-sekolah formal anak bisa mendapatkan pendidikan moral yang benar-benar bisa menjamin anak kita menjadi anak yang baik," kata pengajar yang juga ayah tiga putra ini. Karena itu, lanjutnya, ketika berkumpul dengan anak-anak saya di rumah, saya menanamkan nilai-nilai moral dengan menceritakan kisah-kisah dalam kitab suci.

Menanamkan pendidikan moral untuk anak-anaknya juga dilakukan William dengan sesering mungkin mengajak anak-anaknya yang masih belia mengunjungi panti-panti asuhan, panti jompo, hingga memberikan sumbangan untuk anak-anak jalanan.

''Pernah suatu waktu anak saya bertanya, mengapa banyak anak kecil menyanyi di lampu merah. Setelah itu, untuk mengetuk hatinya dan menggugah rasa simpatinya, saya mengajak anak saya untuk melihat lebih dekat bagaimana anak-anak kecil itu mencari sesuap nasi," terangnya.

Mengajak anak langsung menyaksikan kejadian sehari-hari yang membuatnya trenyuh, ternyata sangat mengena di benak anak-anak William. "Sejak itu, mereka tidak pernah lagi membuang-buang nasi ketika makan," tutur William. Dari pengalaman tersebut, William berkesimpulan bahwa pendidikan moral harus bisa dipraktikkan pada anak-anak, dari rumah hingga di lingkungan sekitar, termasuk di jalanan.

Tahap Perkembangan Moral Anak

1. Perkembangan kuantitas menuju kualitas
Ketika anak mulai mengenal larangan orangtua, anak cenderung menilai dosa atau kesalahan berdasarkan besar-kecilnya akibat perbuatan yang ditimbulkannya. Misalnya, anak menganggap bahwa menjatuhkan beberapa gelas secara tidak sengaja lebih besar dosanya daripada menjatuhkan satu gelas secara sengaja. Pada tahap awal perkembangan moral, anak tidak memperhitungkan unsur motivasi. Baru pada usia yang lebih besar, ia mulai memahami bahwa kualitas suatu perbuatan harus diperhitungkan dalam menilai benar-salah.

2. Ketaatan mutlak menuju inisiatif pribadi
Pada mulanya seorang anak akan menaati apa yang dikatakan orangtuanya. Inilah kesempatan terbaik orangtua untuk mengajarkan apa yang harus diajarkannya karena masa ini akan cepat berlalu. Setelah itu, anak akan lebih terikat dengan perjanjian-perjanjian. Pada tahap ini, anak akan bermain dengan peraturan yang dapat diubah sesuai perjanjian sebelumnya. Karena itu, teriakan ?'curang'' sewaktu anak bermain akan terdengar keras ketika peraturan bersama ini dilanggar. Anak juga sangat peka terhadap ketidakkonsistenan orangtua bila orangtua melakukan perbuatan yang tidak sesuai dengan yang diajarkannya. Bagi mereka, orangtua pun seharusnya terikat dengan peraturan yang mereka tetapkan bagi anak-anaknya. Bila perkembangan moral anak berjalan baik, pada usia remaja akhir anak telah memiliki prinsip moral yang menjadi miliknya pribadi dan yang mengarahkan tingkah lakunya. Anak tidak mudah lagi dipengaruhi lingkungannya. Sebaliknya, anak akan melakukan perbuatan berdasarkan prinsip moral yang dimilikinya.

3. Kepentingan diri menuju kepentingan orang lain
Tahap awal perkembangan moral anak adalah egosentris karena anak masih memusatkan perhatian pada dirinya. Tujuan suatu perbuatan adalah kesenangan pribadi dan kenikmatan. Bila perkembangan moral anak berjalan baik, barulah pada usia yang lebih dewasa, individu dapat melihat kepentingan orang lain dalam melakukan tindakan moralnya. Bukan itu saja, pengorbanan kepentingan diri dapat dilakukan demi kesejahteraan teman-teman sebayanya. Misalnya dengan membagi permen yang dimilikinya, ataupun mengajak teman-temannya untuk berbagi boneka kesayangan.� (sindo//mbs)

Anak Disuruh Berantem atau Mengalah?

Sumber: ibu ibu DI

Tanya
Aku lagi agak ragu nich. Belakangan ini anakku kalau main sama temannya suka pulang ke rumah dan menangis. Pertama karena dipukul perutnya sama temannya, kemarin ini karena kepalanya kena batu, aku sendiri tidak melihat kejadiannya, intinya dia mengadu kalau dilempar batu, kayaknya sich batu kecil dan mungkin tidak sengaja kali ya, kurang jelas bagaimana. Tapi yang aku bingung, cepat atau lambat dia khan akan bergaul sendiri, jauh dari rumah, dan mungkin sekali dua kali akan bentrok dengan temannya seperti sekarang ini. Nah, aku lagi mempertimbangkan, anakku ini aku suruh melawan temannya atau aku suruh mengalah ya? aku mikirnya kalau aku bilang yang intinya dia memukul balik atau melawan temannya, nantinya malah jadi berkelahi beneran, aku takut anakku nanti jadi agresif, bandel atau sok jagoan. Tapi kalau aku suruh mengalah, nanti keterusan sampai besar tidak bisa `berantem` dan bisanya cuma pulang ke rumah menangis, khan kurang bagus juga. Enaknya bagaimana ya, kalau aku ajak bicara baik-baik, rasanya susah juga memilih bahasa yang mudah dimengerti dia. Sekarang ini sich aku cuma bilang ke dia, kalau temannya memukul, jangan menangis, kasih tahu kalau itu sakit, kalau perlu `tepak` tangannya saja, tapi pelan. Tapi aku tidak tahu apakah dia mengerti dan apakah cara itu efektif.(Mi)

Jawab
Aku mengalami sendiri hal seperti itu, kemudian anaknya aku tanya baik-baik atau aku diam-diam mengintip di sekolah tanpa sepengetahuan si anak. Hal ini lebih aman,karena kita jadi mengetahui apa sebenarnya yang terjadi.(In)

Anakku dulu juga suka dipukul oleh teman cowoknya sampai dia tidak mau sekolah. Pertamanya aku suruh dia bilang ke gurunya tapi masih saja suka dipukul, kemudian aku telpon gurunya,tapi tetap tidak berhasil juga. Kemudian aku bilang ke anakku, "kalau anak itu memukul, balas saja. Kalau tidak bisa memukul, kamu dorong saja. Tapi kalau anak itu tidak nakal tidak boleh memukul atau mendorong". Dan ternyata manjur, anak itu tidak pernah mengganggu anakku lagi, malah kaget karena ada yang berani ke dia.(Ni)

Kalau anakku, aku suruh teriak 'stop' atau 'no' yang keras, biar gurunya dengar. Soalnya kadang-kadang gurunya kan tidak melihat awalnya, nanti kalau anak kita membalas, dikiranya anak kita yang memulai. Sekarang mulai aku ajar untuk galak sama anak laki-laki. Di les berenangnya kemarin, ada anak cowok bandel. Dia suka mengganggu anak-anak perempuan. Jadi tiap anak perempuan dia cipratin air. Guru renangnya juga sudah bosan mengingatkan. Ibunya ada di pinggir kolam, cuma senyam-senyum saja. So, sekarang anakku aku ajarin galak ke anak cowok yang bandel itu. Kalau satu dua kali dikasih tahu tidak bisa, galakin saja. Teriakin! Tapi jangan sesekali membalas. Soalnya kalau satu membalas, nanti jadi berkelahi! Kemudian setiap pulang sekolah, ditanyakan bagaimana ceritanya disekolah. Kalau ada apa-apa, langsung lapor ke gurunya. Tidak masalah kok sering-sering lapor ke gurunya. Kalau di sekolahnya memungkinkan untuk mengamati anakmu tanpa keliatan si anak ( di sekolah anakku ada booth khusus untuk tempat pengamatan), kamu sering-sering saja tongkrongin.(nik)

Anakku belum mulai sekolah sich, ini dipukul oleh teman mainnya. Padahal anaknya lebih kecil. Mungkin memang dasar anakku cengeng kali ya, dan memang aku belum pernah ajarkan atau terang-terangan menyuruh dia membalas atau bagaimana, selama ini memang mainnya selalu sama adiknya dan dia yang jadi jagoan. Nah sekarang, ntah bagaimana, temannya ini kok aku perhatiin mulai rada 'nakal' gitu. Aku pikir, bagaimana dia sekolah, kalau main di rumah saja sedikit- sedikit menangis. (Mi)

Memang kalau bisa anak diajarkan untuk mengemukakan ketidakpuasannya terhadap sesuatu secara verbal daripada secara physical. Di sekolah anakku hal ini sangat ditekankan. Anakky 6,5 th, dulu masih sangat physical. Kalau tidak suka adiknya langsung ditonjok atau dipukul.
Tapi di sekolahnya diajarkan `how to verbalize your feelings`. Baik itu feeling negatif maupun feeling positif. Jadi kalau dia mendapat suatu keadaan yang tidak enak dari temannya (misal: dipukul) maka yang pertama dilakukan adalah mengatakan kalau dia tidak suka dipukul (misalnya dengan berkata:"jangan pukul aku, sakit", don't punch me, that hurts, stop it, dll) dan bukan malah membalas memukul. Memang perlu waktu hingga anak-anak terlatih untuk bisa mengungkapkannya secara verbal. Anakku sekarang jauh berubah dengan dilatih seperti ini. Paling kalau dia sudah tidak tahan, dia pukul juga adiknya karena adikknya memukul dia terlebih dahulu. Kemudian dia bilang ke aku, `I already said stop it bu"!. Paling tidak dia berlatih untuk menahan dulu keinginannya untuk mengungkapkannya secara fisik, baru kalau sudah tidak mempan dia terpaksa menggunakan `physical force`. Tapi lama kelamaan mereka akan terbiasa dan tidak mudah main pukul begitu saja. Untuk positive feeling juga begitu. Kalau dia dibiasakan untuk mengungkapkan betapa senangnya dia hari ini karena dibelikan mainan baru, atau diajak ke Sea World, maka si anak juga akan terbiasa mengapresiasikan perasaan orang lain. Hal ini tentunya tergantung kita untuk rajin-rajin melatih dan menstimulasi. "Bagaimana tadi di sekolah, senang?, Senang tidak tadi menonton bioskopnya"? Let them verbalize their feelings and they would get accustomed to understand other people's feelings.(ind)

Aduuh senengnya yach kalau anak kita sudah berhasil mengungkapkan perasaannya secara verbal. Anakku (cowok) termasuk salah satu yang
sering tidak bisa berbuat apa-apa bila diperlakukan tidak adil, dan karena dia sangat sensitif mungkin hal yang bagi anak lain biasa saja, bagi dia sudah luar biasa, pelariannya dia menanggis. Aku tidak pernah meminta dia membalas memukul atau juga berlaku tidak fair ke teman atau orang lain untuk perlawanan pertama, kecuali kalau sudah diperingati teman tersebut tidak mau mengerti aku minta dia bilang ke gurunya, kalau masih juga belum selesai, dengan terpaksa dia harus bertahan atau melawan aku bolehkan. Aku selalu ingatkan untuk memberitahu atau mengekspresikan kalau dia tidak suka. Pernah di sekolah pak guru meminta anak-anak untuk duduk rapi dan bergilir dipanggil, karena heboh, anakku terlewat dan tidak dipanggil, padahal dari awal dia sudah duduk dengan rapi dan diam. Akhirnya dia menangis karena dia kesal dan merasa diperlakukan tidak adil oleh pak guru. 2 minggu pertama di sekolah (kelas 1 sd) dia menangis setiap hari. Aku berusaha terus mengajak dia mengekspresikan perasaannya, kalau untuk yang positif dia sudah bisa bahkan sangat suka menyenangkan orang lain, bilang terimakasih hadiahnya bagus sekali, kuenya enak, bahkan dia tidak tega kalau aku kecewa dengan sikapnya, dia akan buru-buru meminta maaf dan minta bundanya senyum, tapi untuk yang negatif sampai saat ini (usia 5,10) belum terlalu kelihatan hasilnya.(Ren)

Membiasakan anak-anak untuk mengungkapkan perasaannya, tidak harus (atau tidak hanya) di sekolah saja. Bisa diawali sejak di rumah. Yang namanya anak-anak, pasti suka rewel, kemudian menangis atau diam saja, tidka mau bicara, cuma huh-huh. Nah, kalau anakku lagi begitu, aku selalu bilang, bicara `donk`, use your words please. Meski pun kadang-kadang aku tahu apa yang dia mau, tapi kalau dia tidak mau bilang dan cuma merengek, aku diamkan saja. Memang sepertinya kejam ya, tapi, baiknya buat mereka, belajar bicara yang betul. Selain biar manner-nya baik dan juga mengajarkan keterbukaan dengan anak. Anakku yang besar, perempuan, kan sensitif sekali. Pernah di sekolah, lagi acara parent's party, ada orangtua murid yang memarahi anakku. (Si Ibu ini orang poland, memang agak nyentrik orangnya, anak orang dia marah-marahin). Anakku jadi menangis tidak keruan. Sampai guru-gurunya bingung, karena anakku ini selalu manis di sekolah, tidak pernah menangis seperti itu.Menurut guru-guru disitu, cara bicara si Ibu itu yang salah. Harusnya, kalau ada apa- apa, sebagai orang dewasa kita mesti bicara baik-baik kepada anak- anak. Use our words. Jelaskan, jangan asal membentak dan memukul. Kemudian kalau memang anaknya nakal (bersalah), ya boleh saja dikasih hukuman, tapi jangan sesekali main fisik. Suruh saja masuk ke kamarnya 15 menit, atau tidak boleh main lagi sementara (kasih time out), atau tidak boleh menonton tv. Dll. Pokoknya kasih hukuman yang bergunalah. Seperti misalnya anakku pernah oret-oret tembok, ya aku suruh bersihin sendiri. :) Memang tidak bersih, tapi dia jadi tahu, menggosok tembok itu bikin capek. Ya begitulah. So, always use your wodrs.(nik)

Senangnya anak bisa mengungkapkan secara verbal. Tapi walaupun anakku tidak bisa mengungkapkan secara verbal aku merasa Tuhan selalu kasih jalan untuk menjaga dia. Kejadiannya kemarin, menurut anak tetangga yang setiap hari bareng anakku, kemarin anakku ditusuk- tusuk pakai pensil sama salah seorang anak disekolah karena anakku mengambil air minum kepunyaannya. Anakku cuma diam tidak bisa melawan, tapi teman-temannya langsung menghampiri si anak dan bilang "do you know how painful it is? You may not hurt Jogi, if he took your water, you can tell the teacher or the principal" Aku terharu sekali sama anak-anak itu, mereka membela Jogi dengan cara yang bener-bener luar biasa. Aku setuju, lebih baik mereka mengemukakan ketidaksukaannya secara verbal daripada balas melakukan hal yang sama. (dum)

Kebalikan sama anakku. Anakku ini ceriwis sekali. Kalau lagi protes bisa panjang dan lama ngomelnya. Sekali waktu dia `ngomelin' tetangga sebelah rumah yang suka parkir mobil seenaknya. Dan pas anakku pulang sekolah, mau turun dari mobil, dia langsung cas-cis- cus,"Om A ini gimana sih, baru saja kemaren dibilangin, sekarang udah begini lagi. Aku jadi tidak bisa masuk rumah nih..." dan bla- bla-bla.Tapi manjur juga, besok-besoknya si tetangga parkir di carportnya:-) (Ri).

Ini nasehat, sebenarnya tidak terlalu bijaksana. Anakku aku ajar untuk melawan segala bentuk kekerasan, tapi dalam konteks membela diri. Tapi tidak boleh memulai kekerasan. Artinya kalau dia dipukul temannya, dia harus balas memukul kalau temannya tidak bisa menjelaskan mengapa dia harus dipukul. Tapi dia boleh memulai perkelahian apabila bermaksud membela temannya, apalagi kalau temannya perempuan dan anakku laki-laki, itu harus dibantu bela :-). Membela kehormatan perempuan adalah kewajiban buat anakku yang laki- laki. Kalau anakku perempuan, dia justru harus lebih berani lagi melawan teman-teman yang berusaha menindasnya. Lawan saja sekuat tenaga, pokoknya tidak boleh menangis apalagi terlihat lemah, akan semakin membuat teman-temannya gemar menindas. Jadi anak perempuan tidak boleh lemah apalagi cuma bisa pasrah. Kalau anakku laki-laki, dia tidak boleh memukul perempuan, walaupun si perempuan memukul dia. Tapi ini justru anakku malah kelihatan sangat lembut hati dan suka menangis sedih (bahkan waktu menonton the ugly duckling, bisa- bisanya dia `mewek` nahan tangis sedih waktu si ugly duckling ini pergi dari sarang bebek karena diejek). Kalau rebutan mainan sama temannya juga dia pasti mengalah dan tidak suka memaksa. Kadang aku geregetan juga melihat anakku mengalah terus,tapi aku biarkan saja. (Fer)

Anakku juga lembut hati dan berperasaan halus. Seperti kemarin,dia di sekolah menangis sampai muntah karena melihat temannya dimarahi shabis-habisan oleh susternya. Dan dia tidak suka menyaksikan acara di TV yang penuh kekerasan (tembak-tembakan, pukul-pukulan, dst). Kalau ada acara macam itu, pasti dia lari ke kamar. Sempat juga waktu menyanyi di kelas sambil memukul meja, dia juga nangis. Aku jadi bingung. Anakku itu cengeng atau berperasaan halus ya? Sebab kalau dia dipukul temannya tidak menangis (meski malamnya laporan ke aku). (Q)

Mungkin hanya sensitif saja kali, seperti anakku pagi ini aku diceritakan ibu gurunya katanya sehari menangis sampai 3 kali karena dibilang comberan sama salah satu temannya sampai anakku tanya ke ibu gurunya apa arti comberan itu.(An)

Membangun Kepercayaan diri


Bagi sebagian kita yang punya masalah seputar rendahnya kepercayaan-diri atau merasa telah kehilangan kepercayaan diri, mungkin Anda bisa menjadikan langkah-langkah berikut ini sebagai proses latihan:

  1. Menciptakan definisi diri positif.

    Steve Chandler mengatakan, “Cara terbaik untuk mengubah sistem keyakinanmu adalah mengubah definisi dirimu.” Bagaimana menciptkan definisi diri positif. Di antara cara yang bisa kita lakukan adalah:

    1. Membuat kesimpulan yang positif tentang diri sendiri / membuat opini yang positif tentang diri sendiri. Positif di sini artinya yang bisa mendorong atau yang bisa membangun, bukan yang merusak atau yang menghancurkan.
    2. Belajar melihat bagian-bagian positif / kelebihan / kekuatan yang kita miliki
    3. Membuka dialog dengan diri sendiri tentang hal-hal positif yang bisa kita lakukan, dari mulai yang paling kecil dan dari mulai yang bisa kita lakukan hari ini.
    4. Selain itu, yang perlu dilakukan adalah menghentikan opini diri negatif yang muncul, seperti misalnya saya tidak punya kelebihan apa-apa, hidup saya tidak berharga, saya hanya beban masyarakat, dan seterusnya. Setelah kita menghentikan, tugas kita adalah menggantinya dengan yang positif, konstruktif dan motivatif. Ini hanya syarat awal dan tidak cukup untuk membangun kepercayaan diri.

  2. Memperjuangkan keinginan yang positif

    Selanjutnya adalah merumuskan program / agenda perbaikan diri. Ini bisa berbentuk misalnya memiliki target baru yang hendak kita wujudkan atau merumuskan langkah-langkah positif yang hendak kita lakukan. Entah itu besar atau kecil, intinya harus ada perubahan atau peningkatan ke arah yang lebih positif. Semakin banyak hal-hal positif (target, tujuan atau keinginan) yang sanggup kita wujudkan, semakin kuatlah pede kita. Kita perlu ingat bahwa pada akhirnya kita hanya akan menjadi lebih baik dengan cara melakukan sesuatu yang baik buat kita. Titik. Tidak ada yang bisa mengganti prinsip ini.

  3. Mengatasi masalah secara positif

    Pede juga bisa diperkuat dengan cara memberikan bukti kepada diri sendiri bahwa kita ternyata berhasil mengatasi masalah yang menimpa kita. Semakin banyak masalah yang sanggup kita selesaikan, semakin kuatlah pede. Lama kelamaan kita menjadi orang yang tidak mudah minder ketika menghadapi masalah. Karena itu ada yang mengingatkan, begitu kita sudah terbiasa menggunakan jurus pasrah atau kalah, ini nanti akan menjadi kebiasaan yang membuat kita seringkali bermasalah.

  4. Memiliki dasar keputusan yang positif

    Kalau dibaca dari praktek hidup secara keseluruhan, memang tidak ada orang yang selalu yakin atas kemampuannya dalam menghadapi masalah atau dalam mewujudkan keinginan. Orang yang sekelas Mahatma Gandhi saja sempat goyah ketika tiba-tiba realitas berubah secara tak terduga-duga. Tapi, Gandhi punya cara yang bisa kita tiru: “Ketika saya putus asa maka saya selalu ingat bahwa sepanjang sejarah, jalan yang ditempuh dengan kebenaran dan cinta selalu menang. Ada beberapa tirani dan pembunuhan yang sepintas sepertinya menang tetapi akhirnya kalah. Pikirkan ucapan saya ini, SELALU”. Artinya, kepercayaan Gandhi tumbuh lagi setelah mengingat bahwa langkahnya sudah dilandasi oleh prinsip-prinsip yang benar.

  5. Memiliki model / teladan yang positif

    Yang penting lagi adalah menemukan orang lain yang bisa kita contoh dari sisi kepercayaan dirinya. Ini memang menuntut kita untuk sering-sering membuka mata melihat orang lain yang lebih bagus dari kita lalu menjadikannya sebagai pelajaran. Saking pentingnya peranan orang lain ini, ada yang mengatakan bahwa kita bisa memperbaiki diri dari dua hal: a) pengalaman pribadi (life experiencing) dan b) duplicating (mencontoh dan mempelajari orang lain). Buktikan! Selamat mencoba.

Mendidik Anak Agar Mandiri

Salah satu tugas orang tua adalah mendidik anak agar menjadi mandiri. Sikap mandiri sudah dapat dibiasakan sejak anak masih kecil: memakai pakaian sendiri, memasang tali sepatu, memakai kaos kaki dan berbagai pekerjaan kecil lainnya. Kedengarannya mudah, namun dalam prakteknya pembiasaan ini banyak hambatannya. Tidak jarang orang tua merasa tidak tega atau justru tidak sabar melihat si kecil yang berusaha menalikan sepatunya selama beberapa menit, namun belum juga memperlihatkan keberhasilan.

Atau langsung memberi segudang nasehat, lengkap dengan cara pemecahan yang harus dilakukan, ketika anak selesai menceritakan pertengkarannya dengan teman sebangku. Memang masalah yang dihadapi anak sehari-hari dapat dengan mudah diatasi dengan adanya campur tangan orang tua. Namun cara ini tentunya tidak akan membantu anak untuk menjadi mandiri. Ia akan terbiasa "lari" kepada orang tua apabila menghadapi persoalan, dengan perkataan lain ia terbiasa tergantung pada orang lain, untuk hal-hal yang kecil sekalipun.

Lalu upaya apa yang dapat dilakukan orang tua untuk membiasakan anak agar tidak cenderung menggantungkan diri pada seseorang, serta mampu mengambil keputusan? Di bawah ini ada beberapa hal yang dapat Anda terapkan untuk melatih anak menjadi mandiri.

1. Beri kesempatan memilih
Anak yang terbiasa berhadapan dengan situasi atau hal-hal yang sudah ditentukan oleh orang lain, akan malas untuk melakukan pilihan sendiri. Sebaliknya bila ia terbiasa dihadapkan pada beberapa pilihan, ia akan terlatih untuk membuat keputusan sendiri bagi dirinya. Misalnya, sebelum menentukan menu di hari itu, ibu memberi beberapa alternatif masakan yang dapat dipilih anak untuk makan siangnya. Demikian pula dalam memilih pakaian yang akan dipakai untuk pergi ke pesta ulang tahun temannya, misalnya. Kebiasaan untuk membuat keputusan - keputusan sendiri dalam lingkup kecil sejak dini akan memudahkan untuk kelak menentukan serta memutuskan sendiri hal-hal dalam kehidupannya.

2. Hargailah usahanya
Hargailah sekecil apapun usaha yang diperlihatkan anak untuk mengatasi sendiri kesulitan yang ia hadapi. Orang tua biasanya tidak sabar menghadapi anak yang membutuhkan waktu lama untuk membuka sendiri kaleng permennya. Terutama bila saat itu ibu sedang sibuk di dapur, misalnya. Untuk itu sebaiknya otang tua memberi kesempatan padanya untuk mencoba dan tidak langsung turun tangan untuk membantu membukakannya. Jelaskan juga padanya bahwa untuk membuka kaleng akan lebih mudah kalau menggunakan ujung sendok, misalnya. Kesempatan yang anda berikan ini akan dirasakan anak sebagai penghargaan atas usahanya, sehingga akan mendorongnya untuk melakukan sendiri hal-hal kecil seperti itu.

3. Hindari banyak bertanya
Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan orang tua , yang sebenarnya dimaksudkan untuk menunjukkan perhatian pada si anak, dapat diartikan sebagai sikap yang terlalu banyak mau tahu. Karena itu hindari kesan cerewet. Misalnya, anak yang baru kembali dari sekolah, akan kesal bila diserang dengan pertanyaan - pertanyaan seperti, "Belajar apa saja di sekolah?", dan "Kenapa seragamnya kotor? Pasti kamu berkelahi lagi di sekolah!" dan seterusnya. Sebaliknya, anak akan senang dan merasa diterima apabila disambut dengan kalimat pendek : "Halo anak ibu sudah pulang sekolah!" Sehingga kalaupun ada hal-hal yang ingin ia ceritakan, dengan sendirinya anak akan menceritakan pada orang tua, tanpa harus di dorong-dorong.

4. Jangan langsung menjawab pertanyaan
Meskipun salah tugas orang tua adalah memberi informasi serta pengetahuan yang benar kepada anak, namun sebaiknya orang tua tidak langsung menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan. Sebaliknya, berikan kesempatan padanya untuk menjawab pertanyaan tersebut. Dan tugas Andalah untuk mengkoreksinya apabila salah menjawab atau memberi penghargaan kalau ia benar. Kesempatan ini akan melatihnya untuk mencari alternatif-alternatif dari suatu pemecahan masalah. Misalnya, "Bu, kenapa sih, kita harus mandi dua kali sehari? " Biarkan anak memberi beberapa jawaban sesuai dengan apa yang ia ketahui. Dengan demikian pun anak terlatih untuk tidak begitu saja menerima jawaban orang tua, yang akan diterima mereka sebagai satu jawaban yang baku.

5. Dorong untuk melihat alternatif
Sebaiknya anak pun tahu bahwa untuk nmengatasi suatu masalah , orang tua bukanlah satu-satunya tempat untuk bertanya. Masih banyak sumber-sumber lain di luar rumah yang dapat membantu untuk mengatasi masalah yang dihadapi. Untuk itu, cara yang dapat dilakukan orang tua adalah dengan memberitahu sumber lain yang tepat untuk dimintakan tolong, untuk mengatasi suatu masalah tertentu. Dengan demikian anak tidak akan hanya tergantung pada orang tua, yang bukan tidak mungkin kelak justru akan menyulitkan dirinya sendiri . Misalnya, ketika si anak datang pada orang tua dan mengeluh bahwa sepedanya mengeluarkan bunyi bila dikendarai. Anda dapat memberi jawaban : "Coba,ya, nanti kita periksa ke bengkel sepeda."

6. Jangan patahkan semangatnya
Tak jarang orang tua ingin menghindarkan anak dari rasa kecewa dengan mengatakan "mustahil" terhadap apa yang sedang diupayakan anak. Sebenarnya apabila anak sudah mau memperlihatkan keinginan untuk mandiri, dorong ia untuk terus melakukanya. Jangan sekali-kali anda membuatnya kehilangan motivasi atau harapannya mengenai sesuatu yang ingin dicapainya. Jika anak minta ijin Anda, "Bu, Andi mau pulang sekolah ikut mobil antar jemput, bolehkan? " Tindakan untuk menjawab : "Wah, kalau Andi mau naik mobil antar jemput, kan Andi harus bangun pagi dan sampai di rumah lebih siang. Lebih baik tidak usah deh, ya" seperti itu tentunya akan membuat anak kehilangan motivasi untuk mandiri.

Sebaiknya ibu berkata "Andi mau naik mobil antar jemput? Wah, kedengarannya menyenangkan, ya. Coba Andi ceritakan pada ibu kenapa andi mau naik mobil antar jemput." Dengan cara ini, paling tidak anak mengetahui bahwa orang tua sebenarnya mendukung untuk bersikap mandiri. Meskipun akhirnya, dengan alasan-alasan yang Anda ajukan, keinginannya tersebut belum dapat di penuhi.

Menumbuhkan Percaya Diri Pada Anak

Sifat percaya diri tidak hanya harus dimiliki oleh orang dewasa, tetapi anak-anak juga memerlukannya dalam perkembangannya menjadi dewasa. Sifat percaya diri sulit dikatakan secara nyata. Tetapi kemungkinan besar orang yang percaya diri akan bisa menerima dirinya sendiri, siap menerima tantangan dalam arti mau mencoba sesuatu yang baru walaupun ia sadar bahwa kemungkinan salah pasti ada. Orang yang percaya diri tidak takut menyatakan pendapatnya di depan orang banyak. Rasa percaya diri membantu kita untuk menghadapi situasi di dalam pergaulan dan untuk menangani berbagai tugas dengan lebih mudah.

Untuk anak-anak, rasa percaya diri membuat mereka mampu mengatasi tekanan dan penolakan dari teman-teman sebayanya. Anak yang percaya diri mempunyai perangkat yang lebih lengkap untuk menghadapi situasi sulit dan berani minta bantuan jika mereka memerlukannya. Mereka jarang diusik. Justru mereka sering mempunyai daya tarik yang membuat orang lain ingin bersahabat dengannya. Mereka tidak takut untuk berprestasi baik di sekolah atau untuk menujukkan bahwa mereka memang kreatif. Percaya diri bukan merupakan bawaan dari lahir, juga tidak jatuh dari langit. Anak-anak mudah sekali merasa rendah diri, merasa tidak mampu, tidak penting, karena ada banyak hal yang harus dipelajari, dan orang yang lebih tua tampak begitu pandai. Anak-anak memerlukan dorongan dan dukungan secara terus-menerus. Jika orang tua atau guru dapat berperan dengan baik, anak-anak akan memiliki rasa percaya diri. Jika Anda ingin membangun rasa percaya diri dalam diri anak Anda, tak ada istilah terlambat untuk memulai. Anda justru akan memberikan hadiah terbaik untuk anak Anda dan diri Anda sendiri.

Membangun Rasa Percaya Diri

Walaupun sering memprotes jika merasa dibatasi, anak-anak akan menerima jika mempunyai aturan pasti dalam bertindak. Jika orangtua terus mengubah rutinitas anak Anda atau tidak konsisten dalam hal disiplin, anak akan bingung dan bimbang. Misalnya, hari ini aturannya begini, tapi besok lain lagi. Lusa, anak akan bertanya-tanya, "Sekarang saya harus bagaimana. Yang seperti kemarin atau seperti kemarin dulu?"

Tunjukkan bahwa Anda percaya anak Anda punya kemampuan, dengan memberinya tugas-tugas yang bisa dilakukannya dan menimbulkan rasa ikut memiliki. Sebagai contoh, anak-anak biasanya senang menjawab telepon. Ajari dia cara menjawab telepon yang sopan dan benar. Lalu, beri dia kesempatan untuk melakukannya. Coba juga meminta bantuan anak untuk mengambilkan barang-barang yang akan dibeli di rak pasar swalayan, tentunya barang yang tak mudah pecah, misalnya susu, sabun mandi, dan sebagainya. Tahan diri untuk cepat-cepat turun tangan membantu anak melakukan sesuatu. Membantu boleh-boleh saja, tapi tidak berarti mengambil alih atau langsung ikut campur tangan tanpa dimintanya. Doronglah dia untuk tidak terlalu gampang mengatakan, "Saya tidak bisa," "Saya tak pernah akan bisa," atau "Saya memang bodoh."

Satu hal yang penting orangtua harus menjaga jangan sampai mencap anak "pemalas", "dasar pemalu", "anak bodoh", dan sebagainya. Memang sebagian anak mungkin tak akan terlalu menghiraukan kata-kata seperti itu. Tapi sebagian lain akan membangun identitas dirinya dari komentar-komentar yang negatif ini, meskipun Anda mengucapkannya secara spontan dan sungguh tidak bermaksud merendahkan dirinya.

Tanamkan sikap bahwa berbuat salah bukanlah dosa yang tak terampuni, bahwa nilai seseorang tidak selalu bisa dihitung berdasarkan kesempurnaan hasil kerjanya. Yang penting bukan betul atau salah, tapi bagaimana cara dia melakukannya. Jadikan ini sebagai pedoman untuk diri Anda juga. Hormati dan hargai anak Anda. Jangan mempermalukan dia di depan teman-teman sebayanya, atau di depan orang dewasa lainnya, atau di depan umum. Jika anak Anda berbuat salah, panggil dia ke tempat sepi, atau bicarakan hal itu di rumah. Jika Anda berbicara, gunakan nada suara seperti yang Anda harapkan akan digunakannya saat ia berbicara.

Dengarkan anak Anda dan dorong dia untuk berpikir mandiri. Belajar mempertahankan diri sendiri memerlukan kekuatan besar. Tempat terbaik untuk berlatih menjadi orang yang percaya diri adalah di rumah. Hargai ide-ide yang dinyatakannya. Katakan berulang-ulang kepada anak Anda bahwa Anda percaya dia bisa. Dan bersikaplah positif di depan orang-orang lain tentang apa yang bisa dilakukan anak Anda. Dengan cara begitu, anak akan yakin bahwa Anda benar-benar mempercayai kemampuannya.

Ciptakan peluang untuk pengalaman-pengalaman dan tantangan baru. Perluas minat dan keterampilan anak Anda. Bersedialah menerima usaha yang telah dilakukannya, entah apa pun hasilnya. Jangan hanya melihat hasil akhirnya saja. Daripada mengatakan kepada anak apa yang tak boleh dilakukan, lebih baik katakan apa yang boleh dilakukannya. Misalnya, daripada mengatakan "Kamu tak boleh masuk ke rumah orang tanpa permisi," lebih baik katakan, "Kamu boleh masuk ke rumah orang kalau sudah permisi dan dipersilakan masuk." Sebelum mengomentari perilaku anak yang negatif, pikirlah dulu dua tiga kali, sambil mengingat untuk selalu menekankan hal-hal yang positif.

Si 2 Tahun Dibiasakan Sopan



Dalam menggunakan kata-kata sapaan yang sopan, si kecil perlu pembiasaan. Lebih penting lagi orang tua konsisten berperilaku santun karena merupakan role model bagi anak.

Orang tua senang jika buah hatinya berperilaku sopan pada orang yang ditemuinya. Tapi, bagaimana Della bisa bangga bila Tonny, putranya yang berusia 2,5 tahun, tiba-tiba menyapa “Oom gendut… Oom gendut” pada atasan Della ketika mereka hadir dalam family gathering kantor Della.

Orang tua punya tugas pengasuhan agar putra-putrinya berperilaku baik dan sopan. Tapi, apa sih arti bersikap sopan? Sikap sopan seperti apa yang perlu dikuasai si dua tahun?

Melihat orang dewasa

Bergaul dapat mulai diajarkan seiring berkembangnya kemampuan anak berkomunikasi. Menurut Dr. Karin Grossmann , psikolog perkembangan dari Regensburg, Jerman, begitu si kecil bisa berbicara, ia bisa belajar mengucapkan kata-kata sapaan seperti “selamat siang” atau “sampai jumpa”. Namun dalam menggunakan kata-kata tersebut, diperlukan pembiasaan. Tentu sulit bagi anak untuk menyapa orang lain, bila dalam keluarga Anda tidak ada kebiasaan tersebut.

Hingga usia tiga tahun, anak akan melihat dan meniru apa yang dilakukan orang-orang dewasa di sekitarnya. Mereka adalah role model bagi si kecil. Maka jangan harap anak Anda bisa sopan kalau Anda sendiri tak tahu bagaimana bersikap sopan pada orang lain.

Sebagian orang dewasa berperilaku sangat paradoks. Pada satu sisi berharap si kecil bersikap ramah, meski ia sendiri tidak berlaku demikian. Misalnya, Anda tak perlu kesal bisa seorang anak (bukan anak Anda) tidak menyapa Anda lebih dulu. Apa salahnya bila Anda yang menyapa lebih dulu?

Beri penjelasan

Pada usia kira-kira dua tahun, anak sudah bisa menangkap penjelasan Anda. Misalnya, mengapa harus makan menggunakan sendok dan garpu. Atau, tidak boleh mencecap lidah karena bisa mengganggu kenyamanan makan orang lain.

Bila ia menyakiti orang lain, misalnya mengambil barang milik orang lain tanpa meminta, Anda perlu mulai menerangkan dari perspektif orang lain. Katakan, bila teman anak bilang ingin meminjam mainan, apakah si kecil lebih senang dibanding jika si teman langsung mengambilnya tanpa meminta?

Anda bisa memanfaatkan acara bermain sebagai bagian anak belajar sopan santun. Misalnya, ketika bermain “memberi-menerima”. Ketika meminta, ajarkan si kecil mengucapkan “Boleh minta?” dan ketika menerima mengucapkan “Terima kasih”.

Agar anak lebih cepat dapat menangkap pelajaran sopan-santun, perlihatkanlah mimik wajah yang jelas. Seperti ketika mengatakan, “Halo! Apa kabar?” ucapkan dengan mata membesar dan suara yang lantang. Mimik semacam ini perlu dipelajari anak untuk mengungkapkan sopan santun, bukan sebagai riasan belaka, namun muncul dari dalam dirinya.

Eleonora Bergita

5 LANGKAH AGAR ANAK TAK "SERAKAH"

Tak mau satu, maunya semua! Apa yang harus dilakukan orangtua agar perilaku ini tak keterusan? Suatu sore di hari libur, Immy membuat kue kesukaan anaknya, Bian (4). Begitu selesai, satu stoples berisi kue itu langsung dibawa sang bocah ke kamarnya. "Lo, kok, Mama dan Papa enggak dibagi kuenya, Sayang?" tanya Immy. "Enggak ah. Aku mau semuanya!" Begitu pun di sekolah. Ketika itu ada kegiatan menggambar. Saat guru membagikan satu batang pensil warna untuk masing-masing anak.

Ya, si prasekolah kadang suka berlaku "serakah", tidak mau berbagi dengan teman-teman, adik, bahkan orangtuanya sendiri. Perilakunya malah terkesan egois, bahwa segala sesuatu yang diberikan kepadanya harus lebih banyak dari yang lain, kalau perlu mendapatkan semuanya. Dia akan merasa bangga karena melebihi yang lain, misalnya, "Ayo lihat nih, aku punya tiga pensil warna. Kamu cuma dapat satu!" Jadi, ada keinginan dalam dirinya untuk mendapatkan sesuatu dalam jumlah yang banyak.

Menurut Sani B. Hermawan, Psi., dalam diri si prasekolah ini, berkembang konsep pemahaman bahwa ingin punya sesuatu dalam jumlah banyak. Dengan kata lain, dia masih cenderung mengutamakan kuantitas ketimbang kualitas. Maka bila mendapatkan jumlah yang lebih banyak, dia pun merasa ada kepuasan. "Di sisi lain, pada dasarnya dalam diri anak ada kebutuhan untuk memuaskan diri dengan cara memiliki atau mendapatkan benda atau apa pun sebanyak-banyaknya," kata Direktur Lembaga Pelatihan Daya Insani, Jakarta ini. Perilaku si prasekolah selain tampak "serakah", juga mau menang sendiri, egois dan sederet label negatif lainya. Sifat individualnya masih sangat dominan sehingga apa pun yang dilakukannya masih terpusat pada dirinya sendiri. Alhasil, ketika diberikan sesuatu, dia malah ingin semuanya.

Dalam hal ini, lingkungan sangat memengaruhi perilakunya yang cenderung "serakah" itu. Misalnya, orangtua yang memberi sesuatu selalu banyak atau berlebihan demi membuat anak merasa puas, entah itu makanan, mainan atau hal lainnya. Dengan begitu, anak akan memersepsikan bahwa sesuatu yang banyak itu memang menyenangkan. Contoh, suatu saat sang ayah memberi hadiah pada si prasekolah mainan tertentu. Akan tetapi, di saat yang sama, ibunya pun memberikan mainan. Lantaran itu, si prasekolah pun tak mendapatkan pelajaran atau suatu pengalaman mengenai "apa yang ia dapatkan" tetapi yang ditangkapnya adalah "berapa banyak yang aku dapatkan". Maka tak perlu heran bila kemudian si prasekolah selalu minta sesuatu dalam jumlah banyak.

5 LANGKAH

Nah, perilaku "serakah" tentu tak boleh dibiarkan, bukan? Soalnya, bila tak diantisipasi akan mengganggu proses sosialisasinya. Bisa saja kemudian ia dijauhi temannya atau menjadi bulan-bulanan di antara teman-teman. Mumpung hal itu belum terjadi, maka sebagai upaya antisipasinya, lakukan beberapa hal berikut ini:

1. Beri penjelasan

Jelaskan pada anak bahwa bukan hanya soal jumlah atau banyaknya yang dia dapat, akan tetapi maknanya. Misalnya, ketika guru memberikan masing-masing satu pensil warna dan satu kertas gambar, berarti semuanya itu sama, tak ada yang dibedakan.

2. Ajarkan berbagi

Meski anak usia prasekolah sudah mengetahui konsep berbagi, tapi tak semuanya sudah memahami dengan baik. Jadi perlu terus diajarkan mengenai konsep berbagi ini. Umpamanya, dalam konteks yang sederhana, ketika di sekolah, ajarkan untuk mau berbagi bekal atau kue yang dibawanya dari rumah kepada temannya. Pesankan sebelum berangkat sekolah, "Sayang, Ibu bawakan kamu bekal yang cukup banyak. Nah, nanti di sekolah kamu bagi-bagi sama teman ya." Tak ketinggalan, pesan moral dari konsep berbagi ini, misalnya, "Kalau kamu suka memberi teman, kamu akan disenangi teman."

Nah, dengan seringnya belajar berbagi, lama-kelamaan dia akan terlatih pula untuk tidak menjadi "serakah" lagi. Kemudian, bila anak masih belum mau meminjamkan mainannya, cukup katakan bahwa temannya akan merasa senang bila ia mau meminjamkan mainannya. Atau temannya akan merasa sedih kalau tidak dibolehkan mencicipi makanan miliknya. Dengan begitu, si prasekolah pun belajar untuk berempati pada orang lain.

3. Konsisten

Orangtua sebaiknya bersikap konsisten untuk tidak memberi anak sesuatu secara berlebihan. Boleh jadi si prasekolah jadi uring-uringan atau terus merengek lantaran kemauannya untuk mendapatkan sesuatu dalam jumlah banyak tak terpenuhi. Sekali lagi, kita harus tetap konsisten. Kalau kita "mengalah", justru itu akan dijadikan senjata oleh anak di kemudian hari. Jadi, dalam masa pembelajaran ini, sebaiknya kita tak selalu menuruti kemauannya yang cenderung berlebihan.

4. Dukungan lingkungan

Kalaupun anak mulai mau belajar untuk tidak "serakah" lagi, akan tetapi bila lingkungannya tak mendukung, ya tentu sikap buruknya itu akan sulit diubah. Contoh dari orangtua pun sangat besar pengaruhnya. Tradisi bertukar bingkisan atau makanan dengan tetangga atau bersedekah kepada peminta-minta menjadi contoh yang lambat-laun ikut mengikis sikap serakah dalam dirinya.

Akan tetapi, boleh jadi, si prasekolah sulit untuk meninggalkan perilaku "serakah"nya itu. Soalnya, sesuatu yang dimilikinya itu seolah merupakan bagian dari dirinya. Maka, untuk menghadapi hal ini orangtua perlu usaha yang lebih giat untuk memberi pengertian dan penjelasan pada si prasekolah. Memang, jangan berharap si prasekolah langsung bisa memahami maksud kita. Begitu pun kita tak boleh memaksa anak untuk mau berbagi, karena justru hasilnya takkan maksimal. Toh, secara naluri, tiap orang termasuk anak-anak sebenarnya memiliki kemampuan untuk mau memberi, berbagi dan menolong orang lain. tinggal bagaimana kita mengasah kemampuannya itu.

5. Jangan beri label

Poin terakhir, yang tak kalah pentingnya adalah jangan sampai si prasekolah dijuluki si "serakah" atau si "pelit". Jadi sebaiknya hindari pelabelan seperti itu. Pasalnya, kata-kata ini justru akan membuatnya merasa disalahkan atau tak berharga. Perlu diketahui, pada dasarnya ia memang belum paham mengenai perilaku apa yang diharapkan, lantaran masih memandang dirinya sebagai orang yang paling penting. Ini karena dia masih bersikap egosentris. Jadi sekali lagi, jangan sampai menggunakan julukan yang menyudutkan si kecil.

Sumber : tabloid-nakita.com

Ajarkan Sikap Toleransi dan Pemaaf pada Anak

Sikap toleran dan pemaaf merupakan salah satu kunci sukses bagi anak untuk dapat menjalin hubungan dengan orang lain. Toleransi merupakan awal dari sikap menerima bahwa perbedaan bukanlah suatu hal yang salah. Justru, perbedaan harus dihargai dan dimengerti sebagai ‘kekayaan’. Sikap toleran juga akan mengarahkan anak kepada sikap baik, yaitu pemaaf.

Perilaku toleran dapat dicontohkan orangtua dengan saling memberi kesempatan berbicara dan menyatakan pendapat atau saling memaafkan. Jika anda tidak senang didebat dan mau menang sendiri akan menjadi contoh buruk bagi anak anda. Ucapan dan kata yang sering didengar anak akan membekas dalam ingatannya. Saat memarahi anak, usahakan jangan mengeluarkan kata-kata yang tidak baik.

Seleksilah media dengan seksama seperti bacaan serta tontonan anak agar hal-hal yang kurang baik dapat dihindari. Pilihkan bacaan atau tontonan yang memberikan contoh bagus tentang sikap toleran dan pemaaf. Setiap kali ada contoh menarik, tanyakan bagaimana pendapatnya dan ungkapkan pula pendapat anda. Seperti memuji sikap tokoh kartun yang menerima pendapat temannya. Jika hal tersebut dilakukan secara rutin, anak memperoleh kepastian dan merasa mantap tentang apa yang harus ia lakukan.

Sebaiknya anda juga harus belajar menghargai pendapat anak serta meminta maaf jika anda melakukan kesalahan. [perempuan]

Melatih Kejujuran Anak

Berbohong pada anak-anak sebenarnya bukan sesuatu yang sangat serius kecuali jika menjadi kebiasaan atau kompulsif (berulang terus menerus). Namun jika dibiarkan maka anak akan kesulitan ketika bergaul dengan teman-temannya di sekolah ataupun di lingkungan permainan, yang selanjutnya akan menimbulkan masalah lebih parah pada saat tumbuh dewasa. Mereka akan tumbuh menjadi pembohong. Oleh karena itu sejak dini orangtua harus memberikan pelajaran kejujuran pada anak.

Memberikan hukuman fisik maupun psikis (menampar, memukul, memaki) atas kebohongan yang dilakukan anak cenderung merugikan karena sang anak akan berbohong untuk menghindari hukuman. Anak menjadi tahu bahwa hukuman akan diterima bila ketahuan berbohong tapi bila tidak ketahuan maka aman. Akibatnya anak akan cenderung berusaha agar tidak ketahuan berbohong daripada tidak berbohong. Jadi hukuman bisa meningkatkan kebohongan yang dilakukan pada masa mendatang ketimbang menurunkannya.

Beberapa hal yang bisa dilakukan orangtua untuk melatih kejujuran anak :

1. Selalu menerangkan dan meminta maaf jika tidak menepati janji
2. Jika kedapatan berbohong di muka anak, akuilah, dan jelaskan alasannya
3. Jangan mengatakan kebohongan untuk mendapatkan persetujuan anak
4. Jangan memberikan terlalu banyak aturan pada anak
5. Jangan terlalu sering memberikan hukuman pada anak
6. Jangan langsung marah jika anak melakukan kebohongan, tanyakan dulu mengapa

Oleh Achmanto Mendatu
http://smartpsikologi.blogspot.com/2007/08/melatih-kejujuran-anak.html

Mengenal Aturan Luar Rumah

Berkunjung ke rumah teman atau saudara dapat membawa persoalan tersendiri bagi si lima tahun, karena aturan di tempat itu bisa saja berbeda dengan di rumahnya.

“Kalau di rumah Tante Jo, aku boleh kok tidur malam,” protes si lima tahun Anda suatu kali saat Anda mengingatkannya untuk tidur. Saat itu, ia memang baru kembali setelah menginap beberapa hari di rumah tantenya. Wah…, bagaimana menghadapi protesnya kali ini?

Mengenal aturan

Sejalan dengan kebutuhan sosialisasinya yang meningkat, si lima tahun mulai dapat bermain ke rumah orang lain: temannya, teman Anda atau saudara Anda. Ia bisa saja bingung menemui aturan yang berbeda dengan aturan di rumahnya. Misalnya, jika harus membuka sepatu saat masuk ke rumah teman Anda, sementara di rumah ia terbiasa beralas kaki.

Bisa-bisa ia juga dianggap tak sopan karena, misalnya, membuka pintu lemari es di rumah tetangga, karena di rumah ia terbiasa melakukannya. Atau, ia nyelonong masuk kamar orang tua temannya. Apa yang dilakukannya itu bisa dianggap sesuatu yang tidak sopan. Namun, hal ini tidak dipahami anak.

Memang di usianya kini, anak masih mencari tahu apa yang boleh dan pantas dilakukan dan mana yang tidak. Dengan begitu, menjejalinya dengan berbagai aturan di rumah orang lain bisa membuatnya bingung. Baru di usia sekitar delapan tahun ia lebih fleksibel dalam berpikir apa yang harus dilakukan ketika berada di rumah orang lain. Thomas Van Hoose, Ph.D , asisten profesor di bagian psikiatri pada University of Texas Southwestern Medical School di Dallas, Amerika Serikat menyatakan, “Sampai sebelum usia itu, anak sulit menyesuaikan diri dengan apa yang “dapat dilakukan” di rumah dengan yang “tidak dapat dilakukan” jika berada di rumah lain.”
Bekali, ingatkan, jelaskan

Namun, bukan berarti Anda harus menunggu sampai anak berusia delapan tahun untuk mengenalkannya aturan di luar rumah yang berbeda dengan di rumah. Mudahnya ia menyesuaikan diri dalam berbagai lingkungan nantinya juga ditentukan oleh pengalamannya saat ini.

Sebelum berkunjung ke rumah saudara atau teman, sebaiknya Anda mengingatkan si kecil apa yang diharapkan darinya. Katakan secara sederhana, “Tantemu orangnya sangat rapi dan bersih. Kalau kita di rumahnya, jangan mencoret-coret dinding rumah ya….”

Anda juga dapat mengatakannya ketika sudah berada di rumah si tante saat si lima tahun berperilaku tak pantas, “Adik, mainnya di luar saja, jangan main di kamar Tante Jo.”

Atau, jika si kecil terbiasa meninggalkan piring makannya setelah kosong, sementara di rumah neneknya semua orang meninggalkan meja saat semua selesai makan, Anda dapat mengingatkannya, “Wah… senangnya kita duduk bersama dan mengobrol malam ini.” Namun, pastikan selama menunggu yang lain pergi meninggalkan meja, ajak si kecil terlibat dalam percakapan.

Setelah kembali pulang, ingatkan si kecil aturan yang berlaku di rumah. Bukan tak mungkin si lima tahun protes, karena ia tak lagi dapat menonton televisi sepuas hatinya, misalnya.

Tetap dengar keluhannya, namun jelaskan ia perlu beristirahat atau melakukan hal lain. Tekankan bahwa si kecil perlu bangun pagi. Ia selayaknya segar saat berangkat ke sekolah.

Grahita Purbasantika Nugraha

Budayakan Meminta Maaf kepada Anak

BANYAK orang beranggapan meminta maaf adalah sebuah tanda kelemahan dan menegaskan kesalahan. Namun, sebenarnya meminta maaf adalah sebuah pertanda kebesaran jiwa yang dimiliki.

Walaupun begitu, masih banyak orangtua yang merasa dirinya tidak bersalah setelah membentak maupun memukul anak-anak mereka. Keegoisan orangtua terhadap anak-anak, sebenarnya bisa dimaklumi. Hal ini karena kebanyakan orang dewasa berpikir mereka tidak pernah salah.

Termasuk ketika memarahi, membentak, atau memukul anak-anak mereka yang sengaja atau tidak berbuat kesalahan. Anggapan banyak orangtua hingga sekarang, anak seperti benda, yang bisa diperlakukan seperti apa pun, entah itu dipukul, dibentak maupun diberlakukan dengan cara yang kasar.

Padahal anak-anak memiliki perasaan yang lembut dan sangat sensitif. Karena itu, apa pun perlakuan yang mereka terima akan membekas dan melukai mereka hingga dewasa kelak. Sebagai orangtua, sebaiknya mengenali kondisi emosinya saat akan menghadapi anak yang melakukan kesalahan.

Tenangkan diri terlebih dulu agar bisa mengelola emosi ketika berhadapan dengan anak. Jangan sampai nantinya orangtua bertindak tidak konsisten. Misal, sebelumnya anak tidak dimarahi ketika melakukan suatu tindakan yang menyimpang, tapi karena sedang emosi orangtua jadi memarahi anak.

Hasil penelitian Michelin Agashi dari Universitas Pensilvania menyebutkan, orangtua yang meminta maaf kepada anak, mampu membuat anak yang terluka secara mental merasa lebih baik. "Akan lebih baik lagi jika orangtua meminta maaf kepada anak-anaknya apabila telanjur berteriak, membentak maupun melakukan pemukulan. Dampaknya lebih besar pada rasa percaya diri anak," kata peneliti keturunan Jepang itu.

Selain meminta maaf secara terbuka, Michelin menganjurkan meminta maaf pada anak juga bisa dilakukan dengan perbuatan. Misalnya dengan memeluk atau menyapa anak dengan kasih sayang.

"Ketika orangtua meminta maaf, anak akan belajar bahwa kekerasan merupakan tindakan yang salah. Hal ini akan mengajarkan anak membedakan mana tindakan yang benar dan yang salah," ucapnya. (sindo//nsa)

Si 1 Tahun Mengenal Disiplin

Walau usianya baru satu tahun, si kecil pandai berulah. Dapatkah disiplin diterapkan pada anak-anak usia ini?

Si kecil Bari (1 tahun) tampaknya senang membuat sang ibu, Shinta, kesal. Ia sering menjatuhkan dan melempar mainan yang sedang dimainkannya dengan tiba-tiba untuk melihat reaksi ibunya. Shinta kerap mengadukan hal ini pada temannya, “Gimana ya menghadapi anak seperti Bari? Apakah saya bisa menerapkan disiplin pada anak sekecil Bari?”

Mengapa harus disiplin?

Tentu saja anak seusia Bari dapat mulai diperkenalkan pada disiplin. Bahkan, sejak berusia antara enam hingga sembilan bulan, anak sudah memahami arti perkataan “tidak” atau “jangan”. Di usia satu tahun anak mulai memahami perintah-perintah sederhana.

Disiplin memang perlu diterapkan seawal mungkin, karena sejak dini si kecil perlu memahami konsep “benar – salah”. Walaupun, anak membutuhkan waktu sedikit lama untuk benar-benar memahami konsep tersebut seutuhnya.

Selain itu, si kecil juga perlu disiplin untuk mengajarkan kontrol diri, serta menghargai aturan sedini mungkin. Dengan cara ini anak akan semakin memahami dan menghargai keberadaan orang lain di luar dirinya. Sehingga, anak yang awalnya egosentris, menjadi lebih sensitif pada orang-orang di sekitarnya.

Cara paling mudah bagi anak-anak usia ini untuk mengenal disiplin adalah melalui contoh dan bimbingan. Selain itu, mereka juga membutuhkan pembiasaan dengan pola yang sama dan konsisten.

Mendisiplin tepat

Dalam menerapkan disiplin, beberapa hal perlu diingat:

• Disiplin secara umum dapat bermakna mengajarkan.
• Anak membutuhkan batasan karena ia masih belum dapat mengontrol dirinya sendiri. Batasan orang tua membuat anak merasa nyaman dan aman.
• Jika anak-anak usia ini kerap membuat ulah, jangan dulu berpikir mereka nakal. Mereka hanya bereksperimen dengan dunianya. Mereka kerap melakukan observasi apa akibat dari perilakunya. Hindari memberi label, karena label membuat anak merasa yakin ia nakal atau negatif dan mengembangkan perilaku sesuai label.
• Yang terpenting dalam menerapkan disiplin adalah konsistensi. Jika sekali Anda mengatakan sampah harus dibuang di tempat sampah maka, sampai kapan pun, Anda harus konsisten dengan peraturan tersebut. Aturan yang berubah-ubah membuat anak bingung, sehingga peraturan tersebut tidak lagi berarti bagi anak.
• Anak-anak usia ini memiliki daya ingat yang pendek. Kita tidak bisa mengharapkan mereka langsung memahami apa yang kita ajarkan dalam sekejap. Anda perlu mengulangi berkali-kali hingga si kecil mengikuti aturan yang Anda buat.
• Terlalu banyak kata “tidak” atau “jangan” membuat aturan tidak lagi efektif, karena anak tidak berani melakukan apa pun. Cobalah menawarkan alternatif untuk setiap kata “tidak”. Misalnya dengan mengatakan, “Sayang, buku ayah jangan dimainkan. Ayo kita cari bukumu sendiri dan kita lihat isinya! Pasti asyik!”
• Jika si kecil berbuat kesalahan atau melanggar aturan Anda, sekali-sekali biarkanlah ia menanggung risikonya, jika tidak terlalu membahayakannya. Dengan cara ini anak berkesempatan belajar dari kesalahannya.

Esthi Nimita Lubis

Percaya Diri di Ajang Lomba

TIDAK semua anak bisa tampil di depan umum. Tidak semua anak pula bisa mengikuti lomba membaca ataupun menulis puisi. Lomba seperti ini memang membutuhkan mental dan keberanian yang lebih dari anak-anak lain.

Apalagi dalam setiap lomba yang paling dibutuhkan adalah keberanian untuk tampil di depan umum. Mental yang kuat dan keberanian tampil di depan umum itu dapat dilatih dengan mengikuti lomba membaca ataupun menulis puisi. Anak-anak dilatih untuk mengetahui potensi yang ada di dalam dirinya masing- masing.

Selain itu, anak-anak juga dilatih memiliki perasaan yang halus dan mengetahui nilai-nilai estetika atau sisi keindahan dari sebuah tulisan. "Tidaklah mudah mengikuti lomba membaca atau menulis puisi. Hanya anak-anak yang memiliki mental yang bagus dan rasa percaya diri yang kuat saja bisa melaluinya," papar pengajar yang sering menjadi juri lomba baca ataupun penulisan puisi untuk anak-anak Jatmiko M Nur.

Karena dibutuhkan mental yang bagus dan rasa percaya diri tinggi, untuk mendapatkan anak-anak yang berani tampil di depan umum, Jatmiko M Nur mengaku bahwa mental anak harus dilatih sejak dini. Melatih mental itu bisa terbantu lewat puisi-puisi yang telah dihafal ataupun telah tertanam dalam ingatan anak-anak.

"Biasanya anak-anak akan grogi atau salah tingkah ketika berada di atas panggung. Namun, dengan puisi yang telah dihafal dan dikenal baik, bisa menunjang tumbuhnya rasa percaya diri tersebut," ungkapnya.

Lebih lanjut, menurut Jatmiko, rata-rata anak yang memiliki mental kuat adalah anak-anak yang mudah bergaul dan mudah beradaptasi dengan lingkungannya sehingga tampil di atas panggung bukan masalah bagi mereka.

"Di sinilah peran orangtua sangat penting. Melihat orangtua berada di tempat duduk penonton, biasanya anak-anak lebih berani. Jadi, ada baiknya setiap ada lomba atau anak-anak sedang pentas, disaksikan langsung oleh orangtuanya," ujar pria ramah ini.
(sindo//mbs)

AJARI ANAK MENGELOLA RASA BERSALAH

Pasalnya, jika tidak dikelola dengan baik, perasaan bersalah bisa menyebabkan anak tak punya percaya diri. Bahkan, anak gampang tersulut depresi.

Burhan, bukan nama sebenarnya, sedang asyik bermain layangan. Tiba-tiba angin bertiup sangat kencang hingga layangannya tersangkut di kabel listrik. Bocah prasekolah ini pun berusaha melepaskannya dengan cara menarik-narik benang layangan tersebut. Apa mau dikata, tarikan Burhan alih-alih membuat layang-layang itu terlepas, justru memunculkan percikan api yang kemudian jadi penyebab korsleting hingga aliran listrik di kawasan perumahan tersebut terputus sementara.

Burhan pun panik, mukanya merah padam. Dia pun segera berlari pulang ke rumah lalu bersembunyi di kolong tempat tidur. Rasa takut yang luar biasa membuatnya tak berani keluar rumah selama berhari-hari. Padahal, baik orang tua maupun warga sekitar tidak ada yang tahu dialah yang menyebabkan matinya aliran listrik.

"Burhan memiliki rasa bersalah hingga takut keluar rumah," komentar Marcella Siddidjaja, Psi. Rasa bersalah ini timbul akibat segenap sikap dan tingkah laku yang dilakukan anak tidak sesuai dengan harapan lingkungannya. Saat lingkungan menuntut anak untuk bersikap manis dan menjaga lingkungan di luar rumah, si anak malah bermain layangan dan mengakibatkan padamnya aliran listrik. "Perbedaan harapan dan sikap itulah yang menyebabkan anak merasa bersalah atas apa yang telah dilakukannya."

Namun, lanjut Marcella, rasa bersalah di sini juga memiliki aspek positif. "Rasa bersalah menunjukkan tanggung jawab anak terhadap apa-apa yang dilakukannya. Anak sadar betul bahwa perilaku negatifnya membuat lingkungan tidak senang. Contohnya saat Burhan memadamkan aliran listrik rumah warga se-RW, dia pasti sangat ketakutan karena tahu akibatnya. Yang ada di benaknya, warga se-RW pasti marah kalau tahu dialah yang menjadi biang kerok padamnya listrik di rumah mereka."

Sebetulnya, tukas psikolog dari Unika Atma Jaya, Jakarta ini, rasa bersalah ini menguntungkan. Dengan begitu, anak jadi tahu bagaimana penilaian lingkungan terhadap perbuatan yang dilakukannya. Anak akan lebih paham ada perbuatan-perbuatan atau tindakan yang tidak dikehendaki lingkungan. Bila dilakukan, perbuatan atau tindakan tersebut akan membuat situasi tidak menyenangkan dan inilah yang kemudian memunculkan rasa bersalah pada dirinya. Sekaligus menjadi pelajaran berharga untuk tidak mengulangi perbuatan yang tidak menyenangkan atau bahkan berakibat fatal bagi lingkungannya.

TERGANTUNG PERSEPSI

ANAK tidak otomatis memiliki rasa bersalah. "Rasa bersalah merupakan hasil pembelajaran anak terhadap aturan-aturan yang ada di lingkungannya." Dengan kata lain, tidak ada patokan khusus sejak kapan anak wajib mulai memiliki rasa bersalah. Meski begitu, Marcella mengingatkan, di usia 1-3 tahun, saat anak mulai bisa bahkan lancar berkomunikasi maupun berinteraksi secara mandiri dengan orang lain, anak sudah mulai mengenal aturan. "Saat anak mengenal aturan itulah, rasa bersalahnya mulai muncul," tandas Marcella.

Menurutnya, perasaan bersalah juga dipengaruhi oleh pola asuh orang tua. Artinya, orang tua yang menerapkan pola asuh otoritatif, akan memberikan aturan sampai tahap tertentu, lalu membebaskan sambil mengawasi anak seputar aturan tadi. Anak akan tahu tindakan mana yang dikategorikan sebuah kesalahan dan mana pula yang tidak. Langkah pembelajaran berikutnya, anak jadi tahu bagaimana mengelola kesalahan yang telah dilakukannya. Pola asuh ini, tegas Marcella, merupakan pola asuh ideal karena anak bisa belajar banyak dari kesalahan yang dilakukannya. Dengan pola asuh ini, anak akan langsung mengakui sekaligus meminta maaf dan tidak mengulangi kesalahan yang telah dilakukannya.

Lain halnya dengan orang tua yang menerapkan pola asuh permisif alias serba membolehkan. Anak akan mengalami berbagai benturan karena apa yang dibolehkan di rumah ternyata dilarang di lingkungan sekitarnya yang lebih luas, semisal di rumah tetangga ataupun di "sekolah". Ketidaktahuan anak terhadap aturan menyebabkan dia juga sulit membedakan, mana tindakan yang salah dan mana pula yang tidak. Akibatnya, saat melakukan kesalahan, anak sama sekali tidak menyadari bahwa itu salah.

Dalam psikologi, jelas Marcella lebih jauh, disebutkan bahwa perbedaan antara rasa bersalah dan malu terletak pada kesadaran diri publik maupun si individu/pribadi yang bersangkutan. Jadi, tidak ada yang dapat memastikan seseorang benar-benar merasa bersalah atau tidak terhadap suatu hal, kecuali dirinya sendiri. Sekalipun masyarakat mungkin sudah "memvonis"nya bersalah. Itu sebabnya kita tidak menentukan patokan umum kesalahan mana yang dianggap lebih besar oleh seseorang yang dapat memperbesar rasa bersalahnya. "Besar atau kecil, sepenuhnya tergantung persepsi pribadi."

Marcella lantas mencontohkan kasus anak yang merusak mainan teman saat si teman merebut mainan tersebut darinya. Kasus yang sama bisa dipersepsikan secara berbeda oleh dua anak yang sebaya. Bagi Ani, contohnya, yang terbiasa berbagi mainan dengan 3 orang saudaranya, saling berebut mainan bukanlah masalah besar, hingga bukan merupakan unsur yang mengganggu rasa bersalahnya. Namun saat memecahkan mainan, ia merasa bersalah karena takut dimarahi oleh temannya.
Tidak demikian halnya dengan Ana yang di rumahnya selalu diajarkan bagaimana menjaga dan menghormati barang milik orang lain. Ia akan dibebani rasa bersalah saat mengambil barang temannya tanpa izin. Terlebih jika ia sampai merusak mainan tersebut, rasa bersalahnya makin bertambah besar. Dengan kata lain, besar kecilnya kesalahan (apa yang kemudian dianggap orang sebagai rasa bersalah) sepenuhnya adalah persepsi pribadi. "Meski memang ada pengaruh persepsi besar kecilnya kesalahan dengan besar kecilnya rasa bersalah. Namun tidak otomatis semua hal bisa dikategorikan demikian," tukas Marcella.

JANGAN MENYUDUTKAN

RASA bersalah jika dikelola dengan baik akan membangun rasa tanggung jawab. "Makanya, rasa bersalah mesti ada dan harus terus dikembangkan dalam diri seseorang. Tanamkan bahwa rasa bersalah sampai batas tertentu dibutuhkan oleh setiap individu agar dapat belajar bertanggung jawab."

Namun ia pun mengingatkan ada faktor penting lainnya yang tidak boleh dilupakan, yakni bagaimana sikap orang tua membantu anak mengatasi rasa bersalahnya. "Sebab perilaku orang tua yang tidak tepat justru bisa menyebabkan anak terus-menerus dibayangi oleh rasa bersalahnya." Itulah mengapa, orang tua yang bersikap otoriter akan membuat anak menganggap kesalahannya sebagai sesuatu yang begitu besar dan sulit dimaafkan.

Dampak buruknya, anak jadi takut untuk mencoba sesuatu hanya karena takut salah. Terlebih jika si anak kerap mendapat hukuman yang tak sepadan akibat kesalahan yang dilakukannya. Pada akhirnya anak jadi tidak percaya diri, selain akan sulit berkata jujur terhadap kesalahannya.

Tidak hanya itu. Anak juga amat berpeluang tumbuh jadi pribadi pencemas. Padahal kecemasan yang berlebih akan membuatnya selalu berpikir negatif terhadap segala sesuatu. Kesalahan kecil akan dianggapnya sebagai sesuatu yang dahsyat. Ia cenderung gampang menyalahkan diri sendiri. Bahkan tak jarang mengakui kesalahan orang lain sebagai kesalahannya sendiri. Akibatnya, anak-anak seperti ini akan mudah mengalami depresi.
Itulah sebabnya amat penting bagi orang tua untuk mengajarkan anak bagaimana mengelola perasaan bersalahnya. Caranya, dengan menekankan kepada anak agar berani jujur untuk mengakui atau menyadari kesalahannya. Sebesar apa pun konsekuensinya, anak perlu belajar bahwa ia tetap harus mengakui kesalahan yang telah diperbuatnya.

BUTUH BIMBINGAN

ORANG tua juga mesti mengajarkan kepada anak untuk berupaya memperbaiki kesalahan yang dilakukannya. Atau paling tidak membantu menyelesaikan masalah yang diakibatkan oleh kesalahannya. Bentuk penyelesaian itu sendiri bisa untuk sementara waktu, dan bisa pula untuk seterusnya.

Dengan memperbaiki kesalahan maupun dilibatkan dalam penyelesaian masalah, perasaan bersalah dalam diri anak akan sedikit demi sedikit berkurang. Yang pasti, tegas Marcella, rasa bersalah tidak akan pernah bisa hilang. "Bagaimana mungkin bisa hilang karena itu berkaitan dengan kejadian yang tidak mungkin dihapus."
Konkretnya, sejak dini ajarkan anak untuk bertanggung jawab terhadap kesalahannya. Bahkan sedapat mungkin sebelum ia bisa bicara. Contohnya, saat Sharon yang masih berumur setahun tengah asyik bermain dengan Tasha, kakaknya, tiba-tiba ia memukul kakaknya dengan penggaris. Bila orang tua melihat kejadian semacam itu, apa yang harus dilakukannya?

Pertama, orang tua harus mengatakan pada si adik bahwa ia tidak boleh memukul kakak. Jelaskan konsekuensinya, "Dipukul kan sakit. Kakak bisa menangis atau marah. Bisa-bisa kamu dipukul lagi." Ada baiknya orang tua yang menjadi perpanjangan mulut si adik dengan mengatakan, "Ayo kita minta maaf pada kakak. Kita sayang kakak, yuk.", sambil menuntun tangan si adik untuk membelai atau mengelus tangan si kakak yang sakit karena dipukul. Lalu bimbing anak untuk berani mengatakan, "Maaf, ya, Kak. Sharon enggak akan pukul Kakak lagi."

TAMPIL SEBAGAI TELADAN

JANGAN sekali-kali orang tua memasukkan unsur emosi maupun agresi saat mengajarkan hal ini. "Berusahalah untuk konsentrasi hanya pada poin kesalahan anak." Jelaskan sekonkret mungkin apa kesalahan anak, apa konsekuensinya, dan ajari anak meminta maaf atau melakukan sesuatu untuk menyelesaikan masalah tersebut.

Selain itu, bersikaplah konsisten mengenai aturan dalam pola asuh yang diterapkan pada anak. Jangan sampai, ketika ibu bilang tidak boleh akan satu hal, bapak bilang boleh, atau sebaliknya. Terlebih bila kemudian meluas pada kakek-nenek, om-tante maupun pengasuh dan pembantu. "Sedapat mungkin kompromikan dulu mana yang boleh dan mana yang tidak boleh bersama orang dewasa yang akan mengasuh anak dalam tenggang waktu tertentu, semisal saat ditinggal orang tua ke kantor.

Bila tidak, anak jadi bingung aturan mana yang akan diikutinya. Kebingungan semacam inilah yang kemudian membuatnya terbiasa memilih yang paling enak buat dia. Ia sendiri akhirnya tidak tahu aturan yang berlaku di masyarakat umum, tidak tahu pula mana yang salah dan mana yang benar. Ujung-ujungnya, ia tidak akan merasa bersalah. Nah, bila ia tidak menyadari telah melakukan kesalahan, bagaimana ia bisa memperbaiki kesalahan itu?
Yang tak kalah penting, jadilah teladan bagi anak. Dengan demikian, saat orang tua melakukan kesalahan, jangan segan-segan untuk mengakui kesalahan tersebut. Mintalah maaf, termasuk pada anak, serta berusahalah untuk tidak mengulanginya. Bukankah orang tua merupakan sosok guru terbaik buat anak?
(tabloid-nakita)

JANGAN BIARKAN ANAK DIBELENGGU PANIK

Panik adalah reaksi alami, sehingga wajar bila anak mengalaminya. Dianggap tidak wajar bila kepanikan sudah memunculkan perilaku negatif.

Bagaimana kalau si prasekolah panik? Entah dia berteriak, lari menjauh, atau mempererat pegangan tangan ke tubuh orang tuanya. Rasa panik biasanya diawali dengan rasa takut. Nah, bila anak tidak bisa menguasai rasa takutnya maka akan timbul rasa panik. Takut dan panik sebetulnya merupakan sifat alami yang dimiliki setiap orang. Reaksi ini berguna untuk kelangsungan hidup. "Bila kita tidak punya rasa takut, apa pun akan kita hadapi meskipun mengancam jiwa kita atau tidak ada yang menahan," ungkap Mira D. Amir, Psi.

Jadi wajar bila suatu saat anak mengalami panik. Di usia ini, kan, anak sedang mempelajari lingkungan sekitarnya. Banyak hal yang belum dilihatnya sehingga dia perlu mereka-reka situasi dan kondisi yang ada. Ketika menemukan hal yang asing, sangat mungkin anak akan merasa panik. Apalagi, kemampuan kognitifnya masih terbatas sehingga terkadang sulit baginya untuk bisa langsung memahami situasi lingkungannya atau apa yang baru dilihatnya. Keterbatasannya inilah yang membuat rasa takut dan panik lebih kuat muncul ke permukaan.

Namun, tidak selamanya panik menjadi hal yang wajar dialami anak. Bila dalam kepanikannya ia menunjukkan sifat-sifat negatif, seperti perilaku tantrum, berarti ini sudah tak wajar. "Orang tua harus segera mengatasinya agar pertumbuhan emosi dan kepribadian anak tidak terganggu," ujar Mira. Panik yang berlebihan selain akan mengganggu kemampuan sosialisasinya juga mengganggu pertumbuhan emosi dan perkembangan kepribadiannya.

Ketika sedang bermain bersama teman misalnya, anak tidak mungkin bisa mengembangkan kemampuan sosialisasinya dengan baik jika perasaannya selalu dihantui rasa panik. Panik bila tiba-tiba ada teman yang merebut mainannya, panik karena ketakutan disuruh segera pulang, panik karena pernah dipukul oleh temannya, dan sebagainya. Bila demikian yang terjadi, kemampuan bersosialisasinya yang sudah harus berjalan lancar jadi sulit berkembang atau tidak bisa tumbuh sama sekali. Akhirnya, anak malah menghindari aktivitas bermain bersama teman-temannya.

Selain itu, panik yang terlalu menguasai diri anak akan membuatnya tidak bisa berpikir jernih terhadap apa yang sedang dialaminya. Imbasnya, perilaku tantrum menjadi sarana untuk mengungkapkan kepanikan. Padahal seharusnya, di usia ini anak sudah mulai belajar mengendalikan emosinya dan bukan malah memperburuk perilakunya. Jika tidak terkendali, pertumbuhan emosi dan kepribadiannya menjadi tidak optimal.

KIAT MENGATASI
Umumnya, dengan bertambahnya usia maka respons berpikir anak terhadap apa yang dialaminya akan semakin berkembang. Ketika sebelumnya ia mudah takut dan panik ketika bertemu badut, perlahan ketakutan dan kepanikannya akan menghilang. Hal ini dipengaruhi oleh pola pikir yang semakin terasah dengan lingkup sosialisasi yang semakin meluas. Bila dulu hanya sesekali bertemu badut, kini tidak hanya badut yang sering ditemuinya, mungkin saja ondel-ondel, patung beruang, atau lainnya. "Kenapa harus takut dengan badut, dia kan cuma boneka besar yang tidak akan menjahatiku," misalnya. Atau bila sebelumnya anak sering merasa takut dan panik saat bermain dengan temannya yang agresif, kini dia mulai menyesuaikan diri.

Namun, Mira menyarankan agar sekecil apapun kepanikan itu, sebaiknya kita membantu anak untuk meredakannya. Kepanikan kecil bila terus-menerus terjadi dan didiamkan bukan mustahil akan menumpuk. Bukan mustahil pula anak tumbuh menjadi pribadi yang mudah panik.

Penanganan sederhana bisa dilakukan orang tua di rumah. Misalnya dengan cara memberikan penjelasan mengenai sumber ketakutannya. "Itu, kan, cuma badut, dia itu baik dan lucu kamu tidak perlu takut!" misalnya demikian. Jangan malah meresposnnya secara keliru. Misalnya malah memojokkan, "Kok, sama badut saja takut, dasar penakut!" Kata-kata seperti ini tidak membuat anak keluar dari kepanikannya.

Berikut kiat dari Mira untuk mencegah maupun mengatasi anak yang sedang mengalami panik.

1. Pola Asuh

Pendidikan dalam keluarga adalah hal yang sangat penting untuk mendukung perkembangan kepribadian anak. Sebaiknya kita menghindari pola-pola asuh yang salah. Misalnya, ketika memintanya untuk tidak nakal kita menggunakan ancaman, "Awas, ya, kalau kamu nakal nanti didatangi badut, dia akan mencubitmu dengan keras!" misalnya." Pola pendidikan atau pola asuh seperti ini akan memicu munculnya ketakutan pada anak. Sebaiknya, gunakan pola yang membuat anak terpacu untuk tidak nakal, misalnya dengan memberikan alasan logis, "Kalau nakal nanti kamu tidak disukai temanmu, mereka akan menjauhi kamu. Mau kamu main sendirian?"

2. Ciptakan Situasi Nyaman

Rasa aman dan nyaman merupakan suasana yang kondusif untuk perkembangan kepribadian anak. Janganlah sesekali membuat anak merasa terancam dan ketakutan. Misalnya, ketika harus pergi tidur, anak selalu dibujuk dengan menakut-nakutinya. "Lihat, di luar sudah gelap, kalau kamu tidak tidur nanti ada hantu!" misalnya. Kata-kata seperti ini akan membuat anak merasa takut bahkan panik bila malam tiba. "Jangan-jangan hantu bakal muncul dari dalam gelap!" mungkin seperti ini kepanikannya.

3. Persiapkan Terhadap Hal Baru
Setiap hari, mungkin anak akan menghadapi hal baru. Entah yang menyenangkan atau malah menakutkan. Mempersiapkannya untuk menghadapi hal yang mungkin menakutkan dan membuat panik terkadang perlu dilakukan. "Nanti di Ancol ada badut, kamu tidak perlu takut karena badutnya baik dan lucu!" Misalnya. Atau ketika sedang menyaksikan televisi yang ada badutnya, "Lihat, itu namanya badut, lucu, ya!"

4. Temani Anak Menghadapi Situasi Baru

Jangan membiarkan anak menghadapi kepanikannya sendiri karena dia butuh sandaran untuk berlindung. Berusahalah untuk berada di sisinya dengan menyediakan tubuh kita untuk tempatnya berlindung. Elusan, belaian, dekapan, bisa membuat anak merasa tenang. Jangan malah membiarkannya menangis sendirian karena akan membuatnya bertambah panik.

5. Orang Tua Jangan Ikut Panik

Terkadang sifat tantrum anak karena panik sangat merepotkan orang tua. Menghadapi situasi seperti ini kita jangan malah panik. Kepanikan orang tua akan menambah kepanikan anak.

6. Pisahkan dari Sumber Kepanikan

Bila anak tidak bisa ditenangkan sebaiknya jauhkan dia dari hal yang membuatnya panik. Saat panik karena melihat badut misalnya, maka jauhkan anak dari badut tersebut agar kepanikannya segera hilang.

7. Biarkan Anak Mengeluarkan Emosinya

Karena panik biasanya ada perasaan yang ingin dilampiaskan anak. Entah ingin menangis, berteriak, atau mengepalkan tangannya. Biarkan perilaku anak terekspresikan agar dia bisa melepas luapan emosinya. Jangan malah membentak atau memarahi anak untuk diam. Apalagi ditambah dengan kata-kata yang memojokkannya.

PENYEBAB MUNCULNYA PANIK

Munculnya kepanikan pada anak, menurut Mira, sangat beragam. Bisa karena lingkungan, pola asuh, atau bahkan karena sikap dasar anak yang mudah panik. Inilah beberapa di antaranya:

* Meniru Kepanikan Orang Tua

Di usia balita, anak masih sangat mudah meniru apa yang dilihat dari lingkungannya, termasuk perilaku panik yang sering diperlihatkan orang tuanya. "Bila orang tua mudah panik maka kemungkinan anaknya akan mudah sekali panik," ungkap Mira. Disadari atau tidak, orang tua sering berperilaku panik di depan anaknya. Contohnya, ketika sang ayah pulang dari kantor kemudian dengan panik si ibu berkata, "Ayo cepat pakai bajumu Ayah sudah pulang, nanti kalau bertemu ayah kamu, kan, sudah rapi!" Bila kalimat ini sering didengar anak maka lambat laun akan membentuk pribadi anak yang mudah panik.

* Perilaku Tergesa Orang Tua

Kepanikan anak pun bisa timbul karena kebiasaan orang tua yang sering berlaku tergesa-gesa, berkata terlalu cepat, sehingga terkesan cerewet. Anak yang hidup di lingkungan seperti ini bisa saja membentuk kepribadian yang mudah panik karena sering menghadapi perilaku orang tuanya yang cerewet. Ketika sedang bermain misalnya, anak mungkin akan selalu dihantui oleh kecerewetan ibunya. "Wah, jangan-jangan ibu datang dan memintaku untuk segera tidur, nih!" misalnya. Kepanikan yang semula hanya terjadi saat menghadapi ibunya mungkin saja lalu meluas ke orang lain. Ketika sedang bermain di tetangga misalnya, anak sering merasa tidak nyaman, "Wah, jangan-jangan Tante Mirna seperti ibu, cerewet. Kalau aku dimarahi gimana, nih?" misalnya.

* Karakter Bawaan

Pada anak tertentu, sifat panik muncul karena memang sudah dari sananya. Sejak lahir kepribadian anak sangat sensitif terhadap kejadian di lingkungannya. Ada anak yang mudah panik ketika menghadapi sesuatu, bertemu badut misalnya. Biasanya, kepanikan yang menjadi sifat bawaan ini dipengaruhi oleh situasi saat ibu sedang mengandungnya. Mungkin karena pengalaman buruk yang dialami ibu dan membuat panik, sehingga berimbas pada anaknya.

* Terbiasa Ditakut-takuti

Kebiasaan menakut-nakuti pun akan menciptakan rasa panik pada anak. Misalnya, ketika malam hari anak tidak mau tidur kemudian kita sering menakut-nakutinya, "Awas, kalau kamu tidak mau tidur nanti datang makhluk buas dari ruangan yang gelap itu!" Kalimat demikian akan membuat anak menciptakan halusinasinya sendiri. Nantinya, ketika dia melihat ruangan gelap, suasana gelap, atau kegelapan lainnya akan muncul kepanikan.

* Trauma

Trauma bisa sangat mempengaruhi kepribadian anak selanjutnya karena bayangan trauma akan membekas kuat di dalam diri si anak. Misalnya, anak mengalami kejadian yang sangat tidak diduga sebelumnya. Ketika dia sedang bermain di halaman rumah misalnya, kemudian muncul orang gila tepat di depannya. Dengan wajah coreng-moreng, pakaian carut-marut, serta dengan racauan yang tidak karuan, mungkin akan membuat anak merasa sangat ketakutan. Nah, bila hal ini membuatnya trauma, mungkin di lain waktu jika melihat orang gila lain, kepanikannya akan mudah muncul. Biasanya, kepanikan akibat trauma sulit segera dihilangkan. "Mungkin saja di usia 7-8 tahun kepanikannya terhadap orang gila masih tetap membekas," jelas Mira.

* Sesuatu Yang Asing
Kepanikan bisa timbul karena sesuatu yang asing. Entah badut yang belum pernah dilihat sebelumnya, suara petir yang menggelegar, patung model, atau hal lain. Ketika mendengar suara petir yang menggelegar misalnya, sebenarnya anak berusaha untuk mencerna dan mencari tahu asal suara tersebut. Namun,karena terasa begitu asing dan mengagetkan, rasa paniklah yang muncul lebih kuat.
(tabloid-nakita)

ANAK SELALU MENGALAH, PUPUK DONG RASA PERCAYA DIRINYA

Mengalah sesungguhnya sikap terpuji, tetapi kalau si kecil selalu mengalah berarti ada yang perlu dibenahi.

"Duh, kenapa ya Riri selalu mengalah? Waktu antre main ayunan kemarin, dia selalu saja mendahulukan teman-temannya. Akibatnya ya dia enggak kebagian main. Heran, kok dia enggak berani minta gilirannya." Keluhan serupa diutarakan Ranti, "Sama Bu. Anak saya kalau mainannya diminta langsung diberikan. Bahkan kalau temannya memukul, dia diam saja. Tidak membalas."
Dari kacamata psikososial, menurut Rahmi Dahnan, Psi., sebenarnya anak usia prasekolah sedang belajar mengembangkan kemampuan beradaptasi dan bersosialisasi dengan lingkungannya. Hal yang wajar jika anak merasa malu atau ragu-ragu menjalin pertemanan di lingkungan baru, katakanlah saat pertama masuk Taman Kanak-kanak (TK). Namun, kalau ternyata si kecil keterusan mengalah, tentu ada faktor lain yang menyebabkannya bersikap seperti itu. "Umumnya anak usia ini masih tergolong egois. Kalau ia selalu mengalah tentu ada sesuatu yang terjadi pada dirinya," papar psikolog dari Yayasan Kita dan Buah Hati ini.

Padahal kebanyakan orang akan menilai si pengalah sebagai anak yang baik dan penurut. Memang ada sisi positif dari anak yang sering mengalah. Umpamanya, ia memang seorang yang suka menolong dan memperhatikan kebutuhan orang lain.

Sikap mengalah juga menandakan anak sudah belajar mengontrol emosinya. Anak yang bisa menahan diri untuk tidak berkonflik dengan temannya berarti memiliki kematangan emosi. Selanjutnya kemampuan berpikirnya akan matang pula. Sayangnya, anak dengan sikap yang selalu mengalah ini mudah sekali dimanfaatkan orang lain.

BERAGAM PENYEBAB

Sikap mengalah, lanjut Rahmi, dilatarbelakangi oleh beberapa faktor, di antaranya:

* Kurang pengalaman bersosialisasi

Anak menjadi sosok pengalah karena kurang mendapat pengalaman bersosialisasi; kurang banyak bergaul di lingkungan luar rumah, tak memiliki teman sepermainan atau teman sebaya. Sehari-harinya hanya bergaul dengan orang-orang di rumah. Jadi, ketika dia dihadapkan harus bertemu dengan banyak orang, si prasekolah menjadi canggung karena tak terbiasa. Akhirnya ia memilih lebih banyak mengalah karena membutuhkan lebih banyak waktu untuk beradaptasi dengan lingkungan barunya.

* Takut dijauhi teman

Ada juga anak yang memilih bersikap mengalah karena takut dijauhi, dimusuhi, atau tak dijadikan teman lagi. Anggapannya, dengan mendahulukan kebutuhan teman maka pertemanannya akan terus terjalin. Ujung-ujungnya si prasekolah malah tak memiliki kesempatan bereksplorasi yang sama seperti yang dilakukan teman-temannya.

* Pola asuh otoriter

Sikap selalu mengalah juga bisa terjadi pada anak karena pola asuh orang tua yang kurang tepat. Umpamanya orang tua cenderung selalu keras atau otoriter; selalu melarang dan memarahi jika anak berbuat salah dan tak memberikan kesempatan yang luas pada anak untuk bereskplorasi. Alhasil, anak bisa tumbuh menjadi sosok yang penuh dengan ketakutan dan ragu-ragu untuk memulai sesuatu. Anak juga bisa lebih memilih mengalah ketika temannya berbuat jahat seperti memukul atau menendang. Dia tak mau melawan atau membalas perilaku buruk temannya tersebut.

BERDAMPAK BURUK

Jika keterusan, sikap mengalah ini akan mengakibatkan dampak buruk di kemudian hari, yaitu:

1. Mudah dimanfaatkan teman

Si pengalah akan mudah dimanfaatkan temannya untuk hal-hal yang tidak baik. Ditambah lagi sering dijadikan sasaran kejahilan, selalu diperintah atau disuruh-suruh teman.

2. Kurang kesempatan bereksplorasi

Karena lebih mendahulukan temannya, si prasekolah lebih banyak berdiam diri. Dia hanya menjadi penonton yang memperhatikan keceriaan teman-temannya bermain. Otomatis, kesempatan bereksplorasinya jadi lebih sedikit.

3. Tak mampu berinisiatif
Ketika dihadapkan pada permasalahan dia tak berani bersikap, tak bisa berinisiatif, dan tidak bisa mencari solusi permasalahannya. Dia hanya menurut apa yang diperintahkan orang tua atau temannya. Dia juga tak bisa mengeluarkan pendapat sendiri.

4. Kurang percaya diri

Karena tak banyak berperan dan selalu mendahulukan orang lain, maka anak menjadi kurang percaya diri. Dia tak berani menunjukkan dirinya. Lebih memilih menyendiri, menghindari pergaulan dan akhirnya menjadi sosok yang minder.

PERAN ORANG TUA

Sudah semestinya orang tua peka jika mendapati anak yang selalu bersikap mengalah. Orang tua perlu melakukan langkah-langkah seperti berikut:

* Introspeksi diri

Jika orang tua melihat buah hatinya selalu mengalah, maka harus segera berintrospeksi. Jangan-jangan pola asuh yang diterapkan selama ini kurang tepat; sering marah-marah, terlalu galak, selalu mendikte sehingga membuat anak tumbuh menjadi pencemas, penakut, selalu khawatir, dan ragu-ragu bertindak. Sikap orang tua yang demikian juga secara langsung menghambat kesempatan anak untuk berekspresi, bereksplorasi, dan berinisiatif.

Kalau memang demikian, mau tak mau orang tua mesti mengubah pola asuh dengan memberikan kesempatan luas kepada anak untuk bereksplorasi dan mengungkapkan isi hatinya, apakah itu sedih, kesal, atau gembira. Asal tahu saja, perkembangan emosi sangat berperan penting dalam perkembangan harga diri anak selanjutnya.

* Mengajarkan berkata "tidak"
Anak yang selalu mengalah tentu selalu berkata "ya" pada temannya. Dengan begitu, si prasekolah jadi mudah dimanfaatkan untuk hal-hal yang tidak baik. Untuk itu, ajari ia untuk bisa berkata "tidak" jika disuruh-suruh oleh teman. Tentu saja kalau tujuannya untuk menolong teman yang sedang kesulitan atau terdesak sikap mengalah tetap harus didahulukan. Nah kemampuan untuk mengenali situasi berarti perlu juga dikenalkan pada anak. Kalau situasinya sudah mengarah jadi "dikerjain" maka anak harus bisa secara tegas bilang "tidak".

PERAN GURU

Guru pun harus peka jika ada anak didiknya yang cenderung bersikap selalu mengalah pada teman-teman sebayanya. Dalam hal ini yang bisa dilakukan guru adalah:

* Mengajarkan konsep bergiliran dan berkelompok

Anak 4-5 tahun sebenarnya mampu memahami aturan main walau terkadang masih melanggar peraturan yang ditetapkan, termasuk dalam hal bergiliran. Di sinilah pentingnya peran guru untuk selalu menerapkan tata cara bermain pada semua anak didik. Saat para murid berebut ingin bermain ayunan, minta mereka antre lalu ajarkan untuk bergiliran sehingga semuanya bisa merasakan asyiknya permainan itu. Selain belajar konsep antre, anak juga belajar bersikap sabar saat menanti gilirannya. Pujilah saat mereka dengan sabar mau menunggu gilirannya. Secara perlahan-lahan sikap egois yang tertanam dalam diri anak akan luntur dan si pengalah juga jadi belajar mengenai hak gilirannya.

Permainan kelompok juga dapat menjadi ajang bersikap sportif dan kebersamaan karena saat bermain kelompok anak dapat merasakan makna kalah dan menang. Juga, akan ada teman lain yang bisa diajak berbagi rasa sehingga anak tak merasa sendirian.

* Meningkatkan kemampuan sosialisasi

Selain bertugas mengoptimalkan kelebihan dan meminimalkan kekurangan anak, peran guru juga meningkatkan potensi bersosialisasinya. Guru perlu mendorong setiap anak untuk terlibat dengan seluruh temannya. Intinya, sudah tugas guru untuk menumbuhkan minat bersosialisasi anak karena di usia 4-5 tahun sebenarnya ia sudah memiliki keinginan berkumpul dengan teman sebayanya. Konkretnya, jika ada anak yang terlihat menyendiri dan memilih berdiam diri menonton teman-temannya bermain, langsung ajak ia untuk berbaur. Libatkan anak dengan teman lainnya dan ajak untuk bermain bersama-sama.

Pada anak yang kelihatan selalu mengalah ajarkan untuk melapor pada guru jika ada teman yang berbuat agresif, seperti memukul atau menendangnya. Jadi, bukan hal bijak jika anak pengalah diajarkan untuk balik bersikap agresif. Balas memukul bisa memancing si pemukul untuk bertindak lebih agresif. Nah, tak akan menyelesaikan masalah, kan? Lebih jauh lagi, anak yang tadinya pengalah bisa berubah menjadi sosok yang agresif dan tak tahu aturan.

Namun, tanamkan bahwa diam saja juga bukan solusi bijaksana karena ia akan menjadi sosok yang selalu dikalahkan. Minta anak untuk mengungkapkan perasaannya, misalnya, "Kamu jangan pukul aku dong. Kan sakit!" Guru pun perlu menjadi fasilitator pendamai kedua anak yang bertikai. Beri tahu anak yang menyerang bahwa perbuatannya merupakan sikap yang tidak baik karena dengan begitu temannya jadi sakit dan menangis.

BUANG SIKAP OTORITER

Pola asuh yang tepat akan membuat anak berkembang menjadi sosok yang penuh percaya diri. Jika ternyata ayah dan ibu bersikap otoriter terhadap anak, mulai sekarang tinggalkan hal itu. Bersikaplah lebih baik, antara lain dengan melakukan hal-hal berikut:

* Menjalin komunikasi yang baik

Komunikasi yang terjalin baik akan merangsang anak berani mengungkapkan pendapat atau ide-idenya. Jauhi sikap keras, menghakimi, dan memojokkan karena akan membuat anak enggan berkomunikasi dengan kita. Jadilah teman atau sahabat anak dan bukannya menjadi pihak yang berseberangan dengannya.

* Tidak membedakan anak

Sebaiknya orang tua tidak membeda-bedakan atau membandingkan anak karena setiap anak memiliki potensi masing-masing yang unik. Jadi jangan pernah memaksa si adik harus sama kemampuannya dengan si kakak atau sebaliknya.

* Tidak memberi label negatif

Jangan sekali-kali mencap jelek anak dengan julukan atau panggilan yang buruk. Predikat negatif cepat atau lambat akan menghancurkan konsep diri anak. Salah satu akibatnya adalah anak menjadi pasif dan pengalah karena tidak percaya diri.

* Hargai keberhasilan anak

Hargai atau puji keberhasilan anak karena tanpa pujian, anak merasa apa yang dilakukannya tak berharga. Perasaan tidak dihargai sulit membuat anak percaya diri dan memiliki inisiatif yang tinggi.

* Berikan alternatif pilihan

Hindari mendikte anak tetapi beri ia alternatif pilihan. Misalnya, mau minum susu atau jus? Beri ia kesempatan berpikir. Alhasil, daya pikirnya menjadi terasah dan belajar membuat keputusan sendiri akan memperkuat sikap tegas anak, sehingga ia tidak menjadi orang yang selalu mengalah.
(tabloid-nakita)

RAIH HASIL DENGAN KEPRIBADIAN STABIL

Berbekal kepribadian yang baik, seseorang bisa menyesuaikan diri sesuai tuntutan lingkungannya.

Apa yang sebaiknya kita lakukan agar si prasekolah memiliki kepribadian yang stabil? Rahmi Dahnan, S.Psi., punya jawabannya. Menurutnya, ada upaya-upaya khusus yang harus dilakukan orang tua agar anaknya memiliki kepribadian ideal.

Sebelum mengupas lebih jauh apa saja upaya tersebut, psikolog dari Yayasan Kita dan Buah Hati, Jakarta ini mengingatkan arti kepribadian atau personality yang berasal dari kata persona, yaitu topeng. Artinya, sikap yang secara fisik ditunjukkan seseorang sering tidak sesuai dengan kondisi asli dari dirinya. Misalnya, anak yang kehausan belum tentu mau diberi minuman. Padahal si anak ingin sekali menikmati minuman tersebut. Penolakannya hanya karena ia malu.

Secara ilmiah, kepribadian sendiri merupakan perilaku maupun kebiasaan individu yang terkumpul dalam diri seseorang. Perilaku tersebut digunakan individu yang bersangkutan saat menunjukkan reaksi sebagai upayanya menyesuaikan diri dengan lingkungan. Yang pasti, kata Rahmi, kepribadian bersifat dinamis. Maksudnya, selama anak mau belajar, maka semakin terbuka peluangnya untuk memiliki kepribadian yang kian stabil. Di lain pihak, beban hidup yang berat sangat mungkin akan menggoyahkan kepribadian yang awalnya sudah stabil.

Salah satu poin penting yang menjadi ciri kepribadian stabil adalah mampu menyesuaikan diri dengan berbagai perubahan dan pola kehidupan. Selain itu, perilakunya selalu positif, baik di rumah, sekolah, maupun lingkungan sosialnya. Tak heran jika ia mudah diterima di lingkungan mana pun. Saat dewasa dan sudah berkeluarga, kehidupan rumah tangga senantiasa rukun dan damai.

Tentu saja kepribadian ideal seperti itu belum tentu mudah dimiliki, termasuk oleh buah hati kita. Meski begitu, dengan usaha-usaha tertentu orang tua bisa mewujudkannya. Walau tidak sempurna, tapi bisa mendekati kriteria tersebut.

Pola asuh yang diterapkan orang tua, tandas Rahmi, sangat membantu pembentukan kepribadian yang stabil. Anak yang dibesarkan dengan pola asuh otoriter, misalnya, akan sulit membentuk dirinya jadi sosok yang mandiri. Ia pun sulit mengambil keputusan karena selalu bergantung pada bantuan orang tua. Begitupun sebaliknya, dengan pola asuh permisif yang serba membolehkan, anak jadi binal. Ia merasa bebas melakukan apa saja, bahkan tanpa sedikit pun takut dilarang atau dimarahi orang tua.

Idealnya, orang tua menerapkan pola asuh yang demokratis. Anak mesti mematuhi aturan yang telah disepakati bersama orang tuanya. Namun anak juga punya kebebasan untuk menentukan pilihannya sendiri.

MENEMPA KEPRIBADIAN STABIL

Berikut beberapa upaya yang disarankan Rahmi bagi para orang tua agar si prasekolah memiliki kepribadian stabil:

1. Mengendalikan emosi

Salah satu tolok ukur kepribadian yang baik adalah kematangan emosi. Semakin matang emosi seseorang, akan kian stabil pula kepribadiannya. Di sini, pengendalian emosi merupakan kuncinya. Kapan dan dalam situasi apa dia bisa mengekspesikan emosinya, serta kapan mesti bersabar. Ketidakmampuan mengendalikan emosi, terutama emosi negatif seperti marah, bisa menghambat interaksi anak dengan lingkungannya.

Anak bertemperamen tinggi biasanya sulit bergaul baik dengan teman-temannya. Hal-hal sepele bisa berkembang menjadi persoalan besar. Gara-gara gurauan, contohnya, bukan tidak mungkin anak-anak jadi saling mengejek. Kalau akhirnya salah satu memukul temannya, yang lain tentu enggan bergaul dengannya.

Jika pola asuh keluarga mendukung perilaku ini, dapat dipastikan temperamen tinggi menetap sampai anak tumbuh dewasa. Padahal kalau sifat ini terus bercokol, sangat mungkin anak kesulitan beradaptasi dengan lingkungannya. Konflik yang terjadi, baik di antara rekan kerja maupun dengan atasan, sangat mungkin akan sering terjadi. Akibatnya, kariernya pun akan sulit berkembang. Rugi sendiri kan?

Sementara, anak yang tidak bisa mengungkapkan emosi juga sama buruknya. Anak tipe ini sejak masih kecil biasanya selalu menjadi pengekor alias ikut-ikutan apa saja yang dilakukan orang lain dan teman-temannya. Apakah dia sendiri suka atau tidak pada pilihan itu, agaknya tidak menjadi persoalan penting.

Karakter lain yang juga kental mewarnai sosok berkepribadian kurang stabil adalah kecenderungan untuk selalu mengalah. Jika suatu saat ada teman yang mengganggu, si anak tidak berani menegur, apalagi marah karena takut kehilangan teman. Ungkapan kesedihannya pun jarang diekspresikan pada orang lain. Mungkin dia malu atau takut dianggap sebagai anak cengeng.

Untuk anak usia prasekolah, kemampuan mengekspresikan diri bisa dimulai dengan mengajari anak mengungkapkan emosinya. Saat kesal karena ayah tidak memenuhi janji membelikan mainan, boleh-boleh saja ia melampiaskan rasa kesalnya. Entah dengan sikap cemberut atau bahkan menangis.

Hanya saja pelampiasan rasa kecewa tersebut jangan sampai kebablasan. Contohnya anak boleh marah, tapi jangan sampai mengamuk apalagi merusak barang-barang yang ada di rumah. Caranya, ajari pula si anak untuk mengungkapkan isi hatinya melalui kata-kata, "Aku enggak suka Ayah bohong." Namun hendaknya beri pengertian agar anak tidak mengancaman, apalagi berbahasa kasar.

Anak-anak yang kurang bisa mengekspresikan kemarahannya harus pula diajari bersikap asertif, yaitu sikap untuk menjaga hak-haknya tanpa harus merugikan orang lain. Saat mainannya direbut, kondisikan agar anak melakukan pembelaan. Entah dengan ucapan, semisal, "Itu mainan saya. Ayo kembalikan!", atau dengan mengambil kembali mainan tersebut tanpa membahayakan siapa pun.

Rahmi juga berpesan agar orang tua membebaskan anak mengekspresikan emosi. Jangan membuat pembatasan-pembatasan berdasarkan jender. Cukup sering kan kita mendengar olok-olok terhadap bocah laki-laki, "Ih malu dong! Masa anak laki menangis sih?" Pembatasan-pembatasan semacam itu tentu akan semakin menyulitkan anak laki-laki mengekspresikan emosinya. Padahal, mengekspresikan emosi secara proporsional akan berdampak positif, yaitu melepaskan ketegangan. Boleh jadi orang yang sering memendam emosinya akan cepat tegang dan mudah stres.

2. Memupuk kepercayaan diri

Kepercayaan diri menentukan kualitas hidup seseorang dan ini juga merupakan salah satu tolak ukur kepribadian. Dengan kepercayaan diri yang tinggi dapat dipastikan seseorang bisa mengarungi hidupnya dengan baik. Setidaknya ia bisa menerima tantangan dan mengemban tanggung jawabnya tanpa dikuasai stres dan kecemasan.

Dalam bergaul, ia tidak agresif tapi juga tidak pasif. Anak mampu memosisikan diri di antara kedua sifat tadi. Bukan pemalu, tapi juga tidak terlalu banyak menonjolkan diri sendiri. Individu dengan kepribadian seperti ini tentu relatif mudah diterima lingkungan karena sifatnya yang mudah bergaul. Perbedaan karakter yang dimilikinya bukanlah hambatan. Ia bisa menyelami setiap karakter yang berbeda, dan menemukan titik temu hingga bisa berkomunikasi.

Sedangkan di sekolah, anak mampu mengaktualisasikan dirinya. Prestasi akademisnya lumayan bagus, sementara prestasi nonakademisnya pun bisa dibanggakan. Bakat dan minat yang dimilikinya bisa berkembang. Ia percaya dirinya memiliki kelebihan yang tidak dimiliki oleh orang lain.

Menempa anak menjadi sosok yang mandiri tentu bukanlah tugas sederhana. Akan tetapi hal itu bisa disiasati dengan menempa kemandirian si prasekolah di rumah. Tidak usah dimulai dengan hal yang berat, cukup dengan meminta anak mengerjakan rutinitasnya sehari-hari sendiri. Mulai memakai sepatu, baju, dan makan. Jika aktivitas ini sudah bisa dilakukan anak secara mandiri, lanjutkan ke tahap berikutnya yang lebih berat, seperti membereskan tempat tidur, meja belajar, lalu kamarnya. Ingat, kemandirian bisa memupuk kepercayaan diri anak. Pasalnya, kemandirian sangat erat dengan kemampuan anak untuk melakukan sesuatu.

3. Sosialisasi dan adaptasi

Jangan pula mengabaikan kemampuan bersosialisasi, sebab seberapa jauh anak bisa meniti kesuksesannya amat ditentukan oleh banyaknya relasi yang sudah dijalin. Banyaknya teman juga membuat anak tidak gampang stres karena ia bisa lebih leluasa memutuskan kepada siapa akan curhat.

Agar kemampuan bersosialisasi anak bisa lebih terasah, sedini mungkin orang tua mesti membukakan jalan baginya. Mulailah ketika usia anak menginjak batita, saat anak sudah bisa dikenalkan pada sebayanya, apakah itu sepupu, tetangga, atau anak-anak di kelompok bermain. Silaturahmi antarkeluarga pun sangat efektif membina sosialisasi anak.

Ketika anak menginjak usia prasekolah, orang tua bisa bertanya siapa teman-teman baiknya di "sekolah". Sesekali ajaklah teman baiknya itu bertandang ke rumah. Kemampuan sosialisasi ini bisa mengasah kemampuan beradaptasi. Anak yang senang bersosialisasi bisa mengenal banyak orang berikut sifat, karakter, kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Ia bisa cepat bergaul dengan berbagai tipe orang.

4. Mampu mengatasi masalah/konflik

Sulit dipungkiri, kehidupan memang penuh dengan berbagai konflik. Oleh karenanya, kemampuan memecahkan konflik merupakan modal yang harus dimiliki anak. Semakin baik kemampuannya dalam hal ini, maka kepribadiannya akan semakin stabil. Anak yang pandai mengatasi konflik umumnya akan mudah pula mengatasi masalah dalam hidupnya, entah di sekolah, di rumah, ataupun kelak di tempat bekerja.

Tentu saja, bagi anak usia prasekolah, bantuan orang tua masih sangat diperlukan dalam mengatasi konfliknya. Saat anak mencoba memukul teman, contohnya, orang tua jangan langsung melakukan intervensi. Lebih baik, cegahlah supaya baku pukul tidak terjadi, sambil mengarahkan anak untuk berbaikan kembali dengan temannya. Jika anak sudah mengetahui konsep ini, diharapkan ia akan mudah menyelesaikan konfliknya sendiri. Jangan lupa juga, konflik yang terjadi di usia ini bersifat spontan. Tidak ada rasa dendam dalam diri anak setelah konflik terjadi.

5. Bersikap fleksibel

Anak mesti diajari agar tidak bersifat kaku. Jika ada rencana yang gagal, ia harus mampu mengantisipasinya dengan rencana lainnya. Sikap kaku hanya akan meningkatkan kecemasan dalam diri anak. Contoh konkretnya adalah saat anak akan membeli baju favorit di sebuah mal. Biasakan ia memiliki pilihan lain kalau-kalau baju kesukaannya itu habis terjual. Dengan pembiasaan semacam ini, anak diajari berpikir alternatif.
(tabloid-nakita)