Paling pas gunakan saja logika.
Mata Rafa (4,5) langsung berbinar-binar melihat ada mainan baru di kelas. Tapi ups..., ia kalah cepat karena mainan itu kini sudah berada di tangan Vanny (4). Langsung saja, Rafa berlari ke arah Vanny dan menyerobot truk mini yang dapat dinaiki itu. Nah, kebetulan Vanny bukan tipe anak yang pasrah. Ia tidak terima mainan yang sudah berada di tangannya disambar orang. Aksi berebut pun tak dapat dihindarkan. Begitulah pemandangan yang lazim kalau anak-anak prasekolah bermain bersama. Apakah mereka anak-anak nakal? Eits, sama sekali bukan. Bertengkar adalah hal biasa mengingat sifat egosentris yang melekat pada anak. Semuanya buatku, punyaku, giliranku, pokoknya segala sesuatu mesti terpusat pada dirinya. Jadi, tak perlu kaget kalau sampai ada anak yang nekat merebut mainan dari tangan temannya. Bagaimana sikap kita? Tahan diri, deh, kalau enggak mau malah dibilang seperti anak kecil. Sikap yang paling bijaksana adalah bertindak sebagai fasilitator, kemudian terapkan metode problem solving untuk menyelesaikan pertengkaran tersebut. Mulai usia 4-5, anak-anak sudah mampu melakukannya, lo. Keuntungannya, kelak si prasekolah jadi terbiasa menyelesaikan permasalahan berdasarkan logika, tidak semata mengandalkan otot alias adu jotos. BAGAIMANA LANGKAHNYA? 1. Saat terjadi pertengkaran dengan si teman, langkah pertama yang mesti dilakukan orangtua adalah melerai pertengkaran itu. Pisahkan kedua sosok yang saling bertengkar tanpa amarah. Selanjutnya, bila ada teman-teman lain yang ikut melihat peristiwa itu, mintalah salah satu di antara mereka menjadi saksi. Bila ada minta pula salah seorang lagi di antara teman-temannya itu menjadi penengah atau hakim. Kemudian, jadikan ajang itu sebagai sarana berlatih dengan menciptakan suasana bagai dalam sidang peradilan. Jadi, ajaklah anak bermain peran. 2. Langkah kedua, mintalah saksi mengemukakan peristiwa yang baru saja terjadi. Tentunya tugas orangtua adalah memancing dengan beraneka pertanyaan kepada si prasekolah agar mampu menceritakan peristiwa yang baru dialami. 3. Langkah ketiga adalah menanyakan kepada "pengunjung" dan hakim, siapa yang bersalah bila mengacu pada penuturan saksi. Mintalah hakim untuk sekaligus memutuskan pihak yang bersalah. 4. Terakhir, meminta yang bersalah untuk meminta maaf kepada temannya. Nah, melalui kegiatan ini orangtua hendaknya bertindak sebagai penuntun, bagaimana cara menyelesaikan permasalahan yang sedang dihadapi, mana yang benar dan yang salah. Sehingga melalui bermain peran menyerupai pengadilan itu, tentunya dengan didukung pemahaman yang sederhana, anak-anak dapat memahami tentang toleransi dan kompromi. BILA TAK TERSELESAIKAN Jika problem solving tadi belum dapat berjalan sebagaimana mestinya, ajukan saja contoh, "Menurut para saksi, Anto memukul duluan tapi Anto tidak mau meminta maaf. Kalau menurut teman-teman bagaimana kalau ada teman yang tidak mau meminta maaf?" Pertanyaan yang dilontarkan ternyata berhasil memancing jawaban dari salah seorang temannya. Misal, "Tante kalau begitu Anto gak usah diajak main aja deh." Sementara itu, si Anto sendiri langsung ngambek dan meninggalkan arena. Dengan demikian konflik yang terjadi berarti belum menemukan penyelesaian. Menghadapi situasi seperti itu, jangan paksa anak yang bertengkar untuk menyelesaikannya. Biarkan saja dulu. Namun kepada teman-temannya yang masih berada di arena sampaikan bahwa alangkah baiknya bila kita bersedia memaafkan terlebih dahulu, walau mungkin orang lain tidak meminta maaf kepada kita. Melalui sikap seperti ini, anak-anak diajak untuk tetap menciptakan suasana yang demokratis. Meski tak menutup kemungkinan ada pula anak-anak yang tidak memahami. Paling tidak melalui cara ini, orangtua sedikitnya telah membuka wawasan si anak untuk menyelesaikan suatu permasalahan dengan cara yang tepat. |
0 komentar:
Posting Komentar