Ini bagian dari berkembangnya keterampilan sosial. Yang penting, jelaskan rambu-rambunya.
Keinginan menyambangi anak tetangga yang sebaya umumnya justru berawal dari pengalaman bergaul di "sekolah". Taruhlah si anak usia ini tadinya sendirian di rumah dan hanya bergaul dengan bapak ibu dan pengasuhnya. Pengalaman di "sekolah" mengajarkan ternyata asyik lo bisa bertemu dan bermain dengan teman sebaya. Nah, karena tak ingin kehilangan suasana bermain yang mengasyikkan dan menyenangkan ini, akhirnya anak mulai lirik kiri kanan kalau-kalau ada tetangga yang kebetulan punya anak usia sebaya dengannya.
Faktor pendorong lainnya, anak usia prasekolah umumnya dianggap sudah tak merepotkan lagi sehingga orangtua jadi sering mengikutsertakannya ke berbagai acara pertemuan. Pemerkayaan pengalaman seperti ini tentu saja memberi wacana pada anak bahwa pergaulan tak hanya sebatas tembok rumah.
Akan tetapi meski senang menyambangi tetangga, sejujurnya anak usia prasekolah belum paham konsep bertetangga. Termasuk siapa yang dimaksud dengan tetangga dan bagaimana anak usia sebaya dengannya.
Faktor pendorong lainnya, anak usia prasekolah umumnya dianggap sudah tak merepotkan lagi sehingga orangtua jadi sering mengikutsertakannya ke berbagai acara pertemuan. Pemerkayaan pengalaman seperti ini tentu saja memberi wacana pada anak bahwa pergaulan tak hanya sebatas tembok rumah.
Akan tetapi meski senang menyambangi tetangga, sejujurnya anak usia prasekolah belum paham konsep bertetangga. Termasuk siapa yang dimaksud dengan tetangga dan bagaimana sopan-santun bertetangga. "Konsep" bertetangga yang ada dalam benak mereka sangatlah sederhana, yakni, "Aku ke sini karena aku senang lihat ada anak seumuranku yang rumahnya di sebelah rumahku."
Kalaupun ia kemudian jadi rajin bertandang biasanya karena ia menemukan hal-hal menyenangkan lainnya. Jadi, tak hanya pertimbangan sebaya. Melainkan sangat mungkin karena si anak tetangga tadi punya banyak mainan yang menarik dan mau meminjamkannya, atau orang-orang yang ada di sana menye-nangkan. Lebih-lebih kalau di rumah tetangga ia menemukan suasana yang "hidup" sementara sehari-hari ia kesepian di rumah sendirian hanya dengan pengasuh, sementara ibu bapaknya bekerja nyaris sepanjang hari.
BERIKAN BATASAN
Bermain ke tetangga sebetulnya memberi kontribusi positif pada berkembangnya keterampilan sosial anak. Jadi, kenapa harus dilarang? Di pemukiman yang cukup padat, umumnya tak ada kendala bagi anak untuk bermain dengan tetangganya. Namun, tak demikian halnya bila jarak antara satu rumah dengan rumah lain cukup jauh atau tertutup pagar tembok yang tinggi.
Akan tetapi, bila anak prasekolah hendak bermain ke rumah tetangga, orangtua tetap harus memerhatikan faktor keamanannya. Awalnya, begitu anak usia prasekolah melangkah ke luar pagar rumah untuk pergi ke tetangga dekat (apalagi yang agak jauh), ia wajib ditemani orang dewasa. Jadi, jangan pernah membiarkan mereka pergi ke luar rumah sendirian. Meskipun jaraknya dekat, keamanan selama di perjalanan itulah yang harus dipikirkan.
Selain itu, kalau anak memang mulai senang nenangga, sebagai orangtua kita harus memberi rambu-rambunya. Bila tahu anaknya asma dengan faktor pemicu debu atau bulu-bulu hewan, contohnya, ya jangan segan-segan untuk berulang kali mengingatkannya. Misalnya, "Kak, si Toni kan pelihara kucing. Kamu boleh main ke rumahnya tapi jangan dekat-dekat kucingnya ya." Atau, "Kalau di rumah Toni, mainnya enggak usah di karpet deh." Begitu juga anjuran untuk menasehatinya agar tidak makan penganan yang selama ini menjadi pemicu kekambuhan asmanya. Agar efektif, tak ada salahnya pihak tetangga pun diberi tahu mengenai hal ini untuk ikut mengawasi. Tentu saja cara menyampaikannya jangan sampai membuat tetangga yang didatangi si kecil justru tersinggung karena merasa "dikuliahi".
Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, semisal pelecehan seksual, perlu juga dipesankan pada anak agar siapa pun tak boleh menyentuh tubuhnya atau melepas bajunya. Contohnya, "Kalau mau pipis, permisi aja ke kamar mandi. Kan kakak sudah bisa pipis dan cebok sendiri. Atau kalau enggak, minta tolong dianterin pulang." Pembekalan seperti ini sangat perlu untuk berjaga-jaga. Soalnya, sebagai orangtua kita tidak tahu persis siapa saja yang menghuni rumah tersebut dan bagaimana sifat/karakter masing-masing. Belum lagi kalau ada tamu lain yang datang.
Idealnya, setiap kali anak bermain ke luar rumah, meskipun hanya ke rumah tetangga, haruslah ditemani orang dewasa, semisal pembantu atau pengasuhnya. Bila ibu atau ayah hanya bisa menemaninya saat mengantar atau menjemput, tegaskan pada anak mengenai rambu-rambu selama berada di rumah tetangga.
ETIKA BERTETANGGA
Ketika anak mulai senang nenangga, sebetulnya inilah kesempatan pas bagi orangtua untuk mengajarkan etika bertetangga. Di antaranya waktu yang tepat untuk bertandang dan berapa lama sebaiknya di sana. Jadi, ketika anak pamit pergi bermain ke tetangga, orangtua dapat mengiyakan sembari mengingatkan tentang batasan yang sudah diberikan.
Contohnya, "Oke, mama antar. Mama kasih waktu kamu main di sana sampai jarum jam yang pendek ada di sini ya (sambil menunjuk angka tertentu). Nanti mama jemput. Kamu kan harus mandi sore. Begitu juga si Anto temanmu." Dengan begitu anak akan mengerti, kalau sudah dijemput berarti acara main ke tetangga harus disudahi. Jadi, sewaktu ibu datang menjemput, anak tak perlu lagi merengek-rengek atau menangis tak mau pulang.
Pembatasan waktu bertandang ke tetangga ini merupakan bagian dari etika bertetangga. Bila tak ada batasan, sangat mungkin anak akan main sesuka hati sampai berjam-jam. Apalagi bila bermain di rumah tetangga itu amat menyenangkan hingga ia "lupa" waktu. Padahal di usia prasekolah anak belum bisa mengatur waktu. Dalam arti, seberapa lama tenggang waktu tertentu. Pokoknya, selama ia masih merasa asyik bermain, ia pasti akan berlama-lama di sana.
Hal semacam ini mungkin saja bakal mengganggu privasi si pemilik rumah. Bukankah ketika orangtua si anak tetangga pulang dari kantor, mereka juga ingin bercengkerama dengan anaknya tanpa ada intervensi dari anak kecil lain yang bukan keluarganya? Oleh sebab itu, waktu yang tepat untuk nenangga adalah sore hari sekitar 1-2 jam. Sebaiknya hindari menyambangi tetangga di akhir pekan karena umumnya setiap keluarga ingin menghabiskan akhir pekan mereka bersama keluarga inti.
TIDAK MAU PULANG
Seperti telah dijelaskan, hidup bertetangga yang baik dapat dibina sejak dini lewat penanaman etika bertetangga. Alangkah tak bijak membiarkan anak berjam-jam main, tidur, makan, bahkan mandi pun di rumah tetangga!
Kalau anak sampai keasyikan main di rumah tetangga lantas emoh pulang, sebaiknya orangtua introspeksi: apa sih yang menyebabkan anak lebih betah di sana. Mungkin saja ibu si anak tetangga pintar masak hingga anak lebih lahap makan di rumah temannya. Seharusnya ini mendorong ibu untuk tak malu bertanya pada ibu tetangga mengenai resep masakan tersebut semata-mata untuk menyediakan masakan terbaik bagi buah hatinya.
Selain contoh seputar urusan makanan, orangtua juga perlu bersikap "penasaran" tentang apa yang membuat anak senang bertandang ke rumah tetangga. Mungkin suasananya begitu nyaman yang ditunjukkan lewat sikap hangat para penghuni rumah tetangga kepada anak kita. Atau ruangan yang lapang dan terjaga kebersihannya hingga anak bisa bebas bermain. Tentu saja tak perlu kita datang sendiri menyelidikinya. Untuk mengetahuinya, kita bisa menggalinya lewat anak. Mintalah ia menggambarkan seperti apa suasana di sana.
PERAN TUAN RUMAH
Seperti halnya anak kita yang bermain ke rumah tetangga, kita juga perlu menerapkan peraturan ketika anak tetangga bermain ke rumah kita. Namun perlu diingat, yang sebenarnya menjadi tuan rumah bagi si tamu cilik yang akan berkunjung adalah buah hati kita. Makanya akan lebih pas jika batasan tersebut disampaikan lewat anak kita. Jangan sampai kita menegurnya yang justru membuat anak merasa kita "menjahati" temannya.
Untuk menetapkan apa saja yang menjadi batasan, buat dulu kesepakatan dengan anak kita. Misalnya, ketika temannya akan datang, beri batasan di mana anak akan menerima tamunya untuk bermain. "Nanti mainnya di ruang tengah aja ya, Nak. Jadi, enggak usah masuk-masuk ke kamar Mama ya. Kalau mainnya sudah selesai, tolong beresin sama-sama." Singkatnya, kontrol bisa dilakukan lewat anak sendiri. Bila ia sepakat dengan orangtuanya tentu dia tidak akan mengajak temannya masuk kamar. Ini lebih enak ketimbang kita menegur si anak tetangga langsung yang berpotensi membuat ibunya tersinggung bila anaknya mengadu.
SI PENYENDIRI
Benarkah si penyendiri tak bisa bergaul?
Ada beberapa hal yang membuat anak tak mau bergaul dengan sebayanya. Si anak merasa rendah diri, anak lebih suka melakukan kegiatan sendiri, atau anak yang justru memiliki tingkat kecerdasan luar biasa.
Sebagai contoh, anak-anak yang tergolong sangat cerdas biasanya memang cepat bosan bila harus mengobrol dengan teman sebayanya. Pasalnya, pemikiran mereka melesat jauh lebih cepat dibandingkan dengan kemampuan serupa si teman." Yang ada dalam benaknya, "Mendingan aku ngobrol sama orang gede."
Jadi, tak ada gunanya memaksa. Toh lingkup pergaulan sosial tak hanya sebatas dengan tetangga. Anak dapat juga bergaul di sekolah atau di sanggar tempatnya menekuni hobi. Begitu pun bila anak lebih suka melakukan kegiatan sendirian. Bukan berarti ia tak bisa bergaul, lo! Hanya saja ia memang lebih suka menekuni hal-hal yang berkaitan dengan diri sendiri, seperti membaca, bermain komputer, menggambar dan sejenisnya. Anak-anak ini lazimnya masuk dalam penggolongan anak yang memiliki kecerdasan interpersonal yang tinggi.
Lain halnya bila anak ternyata sulit bergaul dengan rekan sebayanya, baik itu di sekolah ataupun di rumah. Bila demikian, tentu saja orangtua harus mengulurkan bantuan agar anak mau bergaul. Caranya? Pelajari dan pahami dulu kondisi anak. Apakah ia sulit bergaul gara-gara merasa minder dan selalu merasa kurang dibandingkan dengan teman-temannya? Jika ini yang terjadi, bangkitkan harga dirinya dengan menonjolkan apa yang menjadi kelebihannya.
Selanjutnya, orangtua harus bisa membuka pergaulan anak. Misalnya, ajak anak tetangga bertandang ke rumah kita. Lumerkan relasi pertemanan diantara mereka dengan melibatkan diri dalam permainan. Pujilah anak bila ia mampu bergaul dengan teman-temannya. Tetapkan jangka waktu yang pendek lebih dulu. Lama-kelamaan, ketika si anak sudah terbiasa, waktu bermain ini dapat diperpanjang dan anak bisa saling mengunjungi.(tabloid-nakita)
0 komentar:
Posting Komentar