GURU GANTI, "SEKOLAH" BERHENTI

"MaIta enggak mau sekolah lagi. Bu guru Ita ganti."

Di taman kanak-kanak, si prasekolah biasanya memiliki hubungan yang dekat dengan gurunya. Ketika guru tersebut harus diganti, boleh jadi hal itu meninggalkan kesedihan pada siswa-siswinya. Bahkan ada yang sampai mogok sekolah, seperti yang dialami Ita. Namun ayah-ibu tak perlu buru-buru menyalahkan keadaan, sebab penyebab mogok sekolah pada anak balita tidak mutlak disebabkan kehilangan guru favoritnya. "Sebetulnya sikap-sikap yang dimunculkan oleh anak sangat bergantung pada respons dari lingkungan," ucap Rahmitha P.S, psikolog yang juga mengelola SD Hanaeka di Bogor.

Jadi kalaupun kesedihan anak sampai berlarut-larut dan menyebabkannya mogok sekolah, itu karena orang tua dan guru tidak tanggap. Sejak awal, perasaan sedih dan permasalahannya dianggap remeh, padahal semestinya orang tua dan guru menunjukkan simpati dan memberikan penjelasan yang mampu membesarkan hati. Contohnya, "Ita sedih ya Sedih boleh saja, tapi kan masih ada Bu Ana yang juga pandai menggambar yang lucu-lucu."

Jadi sebaiknya orang tua memang mengiyakan sikap sedih anak sehingga ia tahu bahwa perasaan sedih atau kecewa itu bukanlah sesuatu yang buruk. Anak yang memahami adanya beragam perasaan, baik itu sedih, gembira, kecewa dan mampu mengungkapkannya, niscaya akan memiliki kecerdasan emosional. Kelak, anak akan lebih mudah mengungkapkan perasaannya dan mudah berempati terhadap orang lain.
BILA MOGOK SEKOLAH

Lalu, bagaimana bila anak sudah telanjur sedih dan mogok? Sebaiknya orang tua melakukan pendekatan ekstra. Ajaklah anak untuk berbicara dan pilihlah tempat yang memungkinkan anak leluasa mengeluarkan emosi atau kesedihannya. Misalnya, di kamar. Berikut beberapa langkah yang dapat dilakukan:

1. Galilah perasaan anak

Tindakan ini penting dilakukan demi menghindari timbulnya rasa bersalah dalam diri anak. Bisa jadi anak beranggapan bahwa gurunya pergi karena dirinya nakal, tidak mendengarkan nasehat, tidak mengerjakan tugas dengan baik, dan lain-lain. Ini karena umumnya anak-anak berprinsip selalu ingin menye-nangkan orang lain dan sering menyalahkan diri sendiri.

2. Hindari memarahi anak

Memarahi anak akan membuat anak tambah merasa bersalah. Buntutnya si anak bisa jadi malah menarik diri dan menyendiri. Sikap yang sebaiknya ditunjukkan adalah memahami kesedihannya.

3. Bantulah mengalihkan pikiran anak

Umumnya cara berpikir anak masih terbatas. Tugas orang tua adalah membantu mengalihkan perhatiannya dari sosok guru favorit yang digantikan. Caranya dengan mengajak anak berbicara dan mengajukan alternatif penyelesaian. Misalnya, dengan melontarkan beberapa kalimat pancingan. "Ita kan sudah pernah bertemu dengan Ibu Ana, guru yang biasanya mengajar di kelas A2. Ibu Ana itu juga pandai lo. Gambarnya bagus-bagus dan lucu. Yuk, besok kita lihat sama-sama di sekolah."

4. Berikan dukungan

Orang tua dan pihak TK hendaknya memberikan dukungan dengan menghadirkan guru pengganti yang sama kualitasnya. Pilihlah guru yang mampu mengambil hati anak dan peka terhadap kebutuhan anak. Guru pengganti ini hendaknya juga membantu anak beradaptasi. Selain itu harus mampu membuka pikiran bila melihat ada tanda-tanda masalah pada anak didiknya. Dengan begitu kesedihan anak tidak semakin bertumpuk.

DAMPAK YANG MUNGKIN TIMBUL

Bila anak dalam kondisi yang tidak stabil secara emosional, menurut Rahmitha, rasa kecewa dan sedih itu dapat berpengaruh pada banyak hal. Di antaranya kemampuan berpikir, berkonsentrasi, dan bersosialisasi. Semua ini apabila terganggu akan memengaruhi prestasi belajar anak.

Lama masa pemulihan ini sangatlah relatif. Prosesnya dipengaruhi oleh lingkungan, kecerdasan, dan kematangan anak. Jika lingkungan bersikap kondusif, maka makin cepat si anak melupakan rasa kehilangannya. Pun semakin tinggi kecerdasan dan kematangan anak, semakin cepat proses pemulihannya.

TAHAPAN KEHILANGAN

SESEORANG yang mengalami kehilangan, umumnya akan melalui 4 tahapan. Kehilangan rasa karena ditinggalkan oleh orang-orang yang disayangi atau kehilangan barang berharganya. Empat tahapan itu dijabarkan oleh Kubler Ross pada tahun 1969 dalam Teori Kehilangan.

1. Tahap kaget, tak percaya atau mungkin menolak kenyataan yang sebenarnya terjadi

Pada tahap ini umumnya individu yang kehilangan belum menerima fakta yang sebenarnya. Jadi, individu yang kehilangan mengaku tidak apa-apa dan terlihat tegar, bahkan kerap tak menangis. Tahapan ini bisa terjadi dalam beberapa hari.

2. Tahap cemas, menangis, dan muncul rasa takut

Tahap ini dapat terjadi pada hari kelima atau setelah 2 minggu kehilangan. Umumnya, anak yang bersangkutan mulai terlihat sangat sedih dan depresi. Bentuknya bisa berupa tangisan keras yang berbuntut munculnya rasa takut akibat kehilangan itu. Takut akan nasibnya setelah kehilangan.

3. Tahap mulai dapat menyimpulkan

Memasuki tahap ini individu yang kehilangan mulai dapat menerima. Pelan-pelan ia sudah mulai menyadari keadaan seperti kehilangan guru favoritnya. Dalam benaknya mulai muncul pemahaman bahwa guru kesayangannya diganti karena alasan tertentu . Dalam tahapan ini, si anak sudah berangsur-angsur berkurang rasa sedihnya.

4. Tahap menemukan identitas baru

Tahapan ini ditandai dengan sudah tidak adanya kesedihannya atau ia sudah mulai terbiasa serta menerima kondisi sekarang. Misalnya, anak yang kehilangan guru favoritnya sudah mulai menerima kehadiran guru pengganti dan belajar seperti sedia kala.
(tabloit-nakita)

0 komentar: