RAIH HASIL DENGAN KEPRIBADIAN STABIL

Berbekal kepribadian yang baik, seseorang bisa menyesuaikan diri sesuai tuntutan lingkungannya.

Apa yang sebaiknya kita lakukan agar si prasekolah memiliki kepribadian yang stabil? Rahmi Dahnan, S.Psi., punya jawabannya. Menurutnya, ada upaya-upaya khusus yang harus dilakukan orang tua agar anaknya memiliki kepribadian ideal.

Sebelum mengupas lebih jauh apa saja upaya tersebut, psikolog dari Yayasan Kita dan Buah Hati, Jakarta ini mengingatkan arti kepribadian atau personality yang berasal dari kata persona, yaitu topeng. Artinya, sikap yang secara fisik ditunjukkan seseorang sering tidak sesuai dengan kondisi asli dari dirinya. Misalnya, anak yang kehausan belum tentu mau diberi minuman. Padahal si anak ingin sekali menikmati minuman tersebut. Penolakannya hanya karena ia malu.

Secara ilmiah, kepribadian sendiri merupakan perilaku maupun kebiasaan individu yang terkumpul dalam diri seseorang. Perilaku tersebut digunakan individu yang bersangkutan saat menunjukkan reaksi sebagai upayanya menyesuaikan diri dengan lingkungan. Yang pasti, kata Rahmi, kepribadian bersifat dinamis. Maksudnya, selama anak mau belajar, maka semakin terbuka peluangnya untuk memiliki kepribadian yang kian stabil. Di lain pihak, beban hidup yang berat sangat mungkin akan menggoyahkan kepribadian yang awalnya sudah stabil.

Salah satu poin penting yang menjadi ciri kepribadian stabil adalah mampu menyesuaikan diri dengan berbagai perubahan dan pola kehidupan. Selain itu, perilakunya selalu positif, baik di rumah, sekolah, maupun lingkungan sosialnya. Tak heran jika ia mudah diterima di lingkungan mana pun. Saat dewasa dan sudah berkeluarga, kehidupan rumah tangga senantiasa rukun dan damai.

Tentu saja kepribadian ideal seperti itu belum tentu mudah dimiliki, termasuk oleh buah hati kita. Meski begitu, dengan usaha-usaha tertentu orang tua bisa mewujudkannya. Walau tidak sempurna, tapi bisa mendekati kriteria tersebut.

Pola asuh yang diterapkan orang tua, tandas Rahmi, sangat membantu pembentukan kepribadian yang stabil. Anak yang dibesarkan dengan pola asuh otoriter, misalnya, akan sulit membentuk dirinya jadi sosok yang mandiri. Ia pun sulit mengambil keputusan karena selalu bergantung pada bantuan orang tua. Begitupun sebaliknya, dengan pola asuh permisif yang serba membolehkan, anak jadi binal. Ia merasa bebas melakukan apa saja, bahkan tanpa sedikit pun takut dilarang atau dimarahi orang tua.

Idealnya, orang tua menerapkan pola asuh yang demokratis. Anak mesti mematuhi aturan yang telah disepakati bersama orang tuanya. Namun anak juga punya kebebasan untuk menentukan pilihannya sendiri.

MENEMPA KEPRIBADIAN STABIL

Berikut beberapa upaya yang disarankan Rahmi bagi para orang tua agar si prasekolah memiliki kepribadian stabil:

1. Mengendalikan emosi

Salah satu tolok ukur kepribadian yang baik adalah kematangan emosi. Semakin matang emosi seseorang, akan kian stabil pula kepribadiannya. Di sini, pengendalian emosi merupakan kuncinya. Kapan dan dalam situasi apa dia bisa mengekspesikan emosinya, serta kapan mesti bersabar. Ketidakmampuan mengendalikan emosi, terutama emosi negatif seperti marah, bisa menghambat interaksi anak dengan lingkungannya.

Anak bertemperamen tinggi biasanya sulit bergaul baik dengan teman-temannya. Hal-hal sepele bisa berkembang menjadi persoalan besar. Gara-gara gurauan, contohnya, bukan tidak mungkin anak-anak jadi saling mengejek. Kalau akhirnya salah satu memukul temannya, yang lain tentu enggan bergaul dengannya.

Jika pola asuh keluarga mendukung perilaku ini, dapat dipastikan temperamen tinggi menetap sampai anak tumbuh dewasa. Padahal kalau sifat ini terus bercokol, sangat mungkin anak kesulitan beradaptasi dengan lingkungannya. Konflik yang terjadi, baik di antara rekan kerja maupun dengan atasan, sangat mungkin akan sering terjadi. Akibatnya, kariernya pun akan sulit berkembang. Rugi sendiri kan?

Sementara, anak yang tidak bisa mengungkapkan emosi juga sama buruknya. Anak tipe ini sejak masih kecil biasanya selalu menjadi pengekor alias ikut-ikutan apa saja yang dilakukan orang lain dan teman-temannya. Apakah dia sendiri suka atau tidak pada pilihan itu, agaknya tidak menjadi persoalan penting.

Karakter lain yang juga kental mewarnai sosok berkepribadian kurang stabil adalah kecenderungan untuk selalu mengalah. Jika suatu saat ada teman yang mengganggu, si anak tidak berani menegur, apalagi marah karena takut kehilangan teman. Ungkapan kesedihannya pun jarang diekspresikan pada orang lain. Mungkin dia malu atau takut dianggap sebagai anak cengeng.

Untuk anak usia prasekolah, kemampuan mengekspresikan diri bisa dimulai dengan mengajari anak mengungkapkan emosinya. Saat kesal karena ayah tidak memenuhi janji membelikan mainan, boleh-boleh saja ia melampiaskan rasa kesalnya. Entah dengan sikap cemberut atau bahkan menangis.

Hanya saja pelampiasan rasa kecewa tersebut jangan sampai kebablasan. Contohnya anak boleh marah, tapi jangan sampai mengamuk apalagi merusak barang-barang yang ada di rumah. Caranya, ajari pula si anak untuk mengungkapkan isi hatinya melalui kata-kata, "Aku enggak suka Ayah bohong." Namun hendaknya beri pengertian agar anak tidak mengancaman, apalagi berbahasa kasar.

Anak-anak yang kurang bisa mengekspresikan kemarahannya harus pula diajari bersikap asertif, yaitu sikap untuk menjaga hak-haknya tanpa harus merugikan orang lain. Saat mainannya direbut, kondisikan agar anak melakukan pembelaan. Entah dengan ucapan, semisal, "Itu mainan saya. Ayo kembalikan!", atau dengan mengambil kembali mainan tersebut tanpa membahayakan siapa pun.

Rahmi juga berpesan agar orang tua membebaskan anak mengekspresikan emosi. Jangan membuat pembatasan-pembatasan berdasarkan jender. Cukup sering kan kita mendengar olok-olok terhadap bocah laki-laki, "Ih malu dong! Masa anak laki menangis sih?" Pembatasan-pembatasan semacam itu tentu akan semakin menyulitkan anak laki-laki mengekspresikan emosinya. Padahal, mengekspresikan emosi secara proporsional akan berdampak positif, yaitu melepaskan ketegangan. Boleh jadi orang yang sering memendam emosinya akan cepat tegang dan mudah stres.

2. Memupuk kepercayaan diri

Kepercayaan diri menentukan kualitas hidup seseorang dan ini juga merupakan salah satu tolak ukur kepribadian. Dengan kepercayaan diri yang tinggi dapat dipastikan seseorang bisa mengarungi hidupnya dengan baik. Setidaknya ia bisa menerima tantangan dan mengemban tanggung jawabnya tanpa dikuasai stres dan kecemasan.

Dalam bergaul, ia tidak agresif tapi juga tidak pasif. Anak mampu memosisikan diri di antara kedua sifat tadi. Bukan pemalu, tapi juga tidak terlalu banyak menonjolkan diri sendiri. Individu dengan kepribadian seperti ini tentu relatif mudah diterima lingkungan karena sifatnya yang mudah bergaul. Perbedaan karakter yang dimilikinya bukanlah hambatan. Ia bisa menyelami setiap karakter yang berbeda, dan menemukan titik temu hingga bisa berkomunikasi.

Sedangkan di sekolah, anak mampu mengaktualisasikan dirinya. Prestasi akademisnya lumayan bagus, sementara prestasi nonakademisnya pun bisa dibanggakan. Bakat dan minat yang dimilikinya bisa berkembang. Ia percaya dirinya memiliki kelebihan yang tidak dimiliki oleh orang lain.

Menempa anak menjadi sosok yang mandiri tentu bukanlah tugas sederhana. Akan tetapi hal itu bisa disiasati dengan menempa kemandirian si prasekolah di rumah. Tidak usah dimulai dengan hal yang berat, cukup dengan meminta anak mengerjakan rutinitasnya sehari-hari sendiri. Mulai memakai sepatu, baju, dan makan. Jika aktivitas ini sudah bisa dilakukan anak secara mandiri, lanjutkan ke tahap berikutnya yang lebih berat, seperti membereskan tempat tidur, meja belajar, lalu kamarnya. Ingat, kemandirian bisa memupuk kepercayaan diri anak. Pasalnya, kemandirian sangat erat dengan kemampuan anak untuk melakukan sesuatu.

3. Sosialisasi dan adaptasi

Jangan pula mengabaikan kemampuan bersosialisasi, sebab seberapa jauh anak bisa meniti kesuksesannya amat ditentukan oleh banyaknya relasi yang sudah dijalin. Banyaknya teman juga membuat anak tidak gampang stres karena ia bisa lebih leluasa memutuskan kepada siapa akan curhat.

Agar kemampuan bersosialisasi anak bisa lebih terasah, sedini mungkin orang tua mesti membukakan jalan baginya. Mulailah ketika usia anak menginjak batita, saat anak sudah bisa dikenalkan pada sebayanya, apakah itu sepupu, tetangga, atau anak-anak di kelompok bermain. Silaturahmi antarkeluarga pun sangat efektif membina sosialisasi anak.

Ketika anak menginjak usia prasekolah, orang tua bisa bertanya siapa teman-teman baiknya di "sekolah". Sesekali ajaklah teman baiknya itu bertandang ke rumah. Kemampuan sosialisasi ini bisa mengasah kemampuan beradaptasi. Anak yang senang bersosialisasi bisa mengenal banyak orang berikut sifat, karakter, kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Ia bisa cepat bergaul dengan berbagai tipe orang.

4. Mampu mengatasi masalah/konflik

Sulit dipungkiri, kehidupan memang penuh dengan berbagai konflik. Oleh karenanya, kemampuan memecahkan konflik merupakan modal yang harus dimiliki anak. Semakin baik kemampuannya dalam hal ini, maka kepribadiannya akan semakin stabil. Anak yang pandai mengatasi konflik umumnya akan mudah pula mengatasi masalah dalam hidupnya, entah di sekolah, di rumah, ataupun kelak di tempat bekerja.

Tentu saja, bagi anak usia prasekolah, bantuan orang tua masih sangat diperlukan dalam mengatasi konfliknya. Saat anak mencoba memukul teman, contohnya, orang tua jangan langsung melakukan intervensi. Lebih baik, cegahlah supaya baku pukul tidak terjadi, sambil mengarahkan anak untuk berbaikan kembali dengan temannya. Jika anak sudah mengetahui konsep ini, diharapkan ia akan mudah menyelesaikan konfliknya sendiri. Jangan lupa juga, konflik yang terjadi di usia ini bersifat spontan. Tidak ada rasa dendam dalam diri anak setelah konflik terjadi.

5. Bersikap fleksibel

Anak mesti diajari agar tidak bersifat kaku. Jika ada rencana yang gagal, ia harus mampu mengantisipasinya dengan rencana lainnya. Sikap kaku hanya akan meningkatkan kecemasan dalam diri anak. Contoh konkretnya adalah saat anak akan membeli baju favorit di sebuah mal. Biasakan ia memiliki pilihan lain kalau-kalau baju kesukaannya itu habis terjual. Dengan pembiasaan semacam ini, anak diajari berpikir alternatif.
(tabloid-nakita)

0 komentar: