Sampai dimana kemampuan anak ?

Anak usia prasekolah memiliki kemampuan perkembangan yang lebih baik dari usia sebelumnya. Rangsang berbagai keterampilan yang dimilikinya agar kelak ia tumbuh menjadi pribadi yang cerdas, mandiri dan bijak. Berikut sejumlah aspek perkembangan anak usia 3-5 tahun.

KETERAMPILAN MOTORIK

Dalam teori perkembangan anak, keterampilan motorik berkoordinasi dengan otak. Jadi, amat memengaruhi kemampuan kognitif (berpikir). Contoh, bila mereka terampil menggambar, menggunting atau menempel, maka gerakan-gerakan halus ini kelak akan membantu anak lebih mudah belajar menulis. Anak-anak SD yang sangat kaku memegang pensil dan tulisannya tak beraturan, bisa jadi akibat kemampuan motorik halusnya tak dilatih dengan baik sewaktu kecil.

Di usia prasekolah, gerakan tangan anak (handstroke) sudah pada taraf membuat pola (pattern making). Ini tingkat paling sulit karena anak harus membuat bangun/bentuk sendiri. Jadi, betul-betul dituntut hanya mengandalkan imajinasinya. Misal, menggambar bebas, mencipta mobil balap dari lego atau membangun rumah dari balok-balok aneka warna.

Di sini anak dihadapkan pada pilihan kompleks semisal penggunaan warna dan bidang-bidang geometris. Kemudian, anak diharapkan bisa mengomunikasikan hasil ciptaannya. Misal, "Ini rumahku. Ini tempat aku bobo. Ini tempat tidur Kakak. Di sebelah sini kamar Ayah dan Ibu. Kalau ini, garasi." Meski awalnya mungkin belum berstruktur atau terpola rapi, minimal anak sudah mencoba kemampuan bahasanya dengan mengomunikasikan hasil imajinasinya pada orang lain.

Dengan demikian, dalam patern making, anak bukan hanya dilatih keterampilan motorik halusnya, melainkan juga struktur kognitif dan perkembangan bahasanya. Saat ia membangun rumah dari balok-balok aneka warna, misal, struktur kognitifnya bisa dilihat dari caranya memadukan warna, menyesuaikan bentuk antara kanan dan kiri, dan lainnya. Di sini ia belajar melihat segala sesuatu secara berstruktur, bahkan apa pun yang kelihatannya abstrak.

Sedangkan pada keterampilan motorik kasar, anak usia prasekolah sudah mampu menggerakkan seluruh anggota tubuhnya untuk melakukan gerakan-gerakan seperti berlari, memanjat, naik-turun tangga, melempar bola, bahkan melakukan dua gerakan sekaligus seperti melompat sambil melempar bola.
KETERAMPILAN KREATIVITAS

Kreativitas imajiner (orang, benda, atau binatang yang diciptakan anak dalam khayalannya) dan animasi (kecenderungan mengganggap benda mati sebagai benda hidup) yang merupakan kreativitas awal di masa batita sudah mulai ditinggalkan. Sebagai gantinya, anak prasekolah cenderung melakukan dusta putih (white lie) atau membual. Tujuannya bukan untuk menipu orang lain, tapi karena ia merasa yakin hal itu benar. Ia ingin bualannya didengar. Perlu diketahui, pada masa prasekolah, anak sudah mulai menunjukkan ego dan otoritasnya. Misal, ia melihat seekor naga hitam melintas di depan rumah. Anak ini merasa yakin dan ingin orang lain juga turut meyakininya.

Kelak, sejalan dengan pertambahan usianya dimana anak mulai membedakan antara khayalan dan kenyataan, kebiasaan membual mulai hilang. Sebaliknya, orang dewasa juga jangan membiarkan anak untuk terus-terusan membual berlebihan. Sebab, bila hal ini dibiarkan, membual dan melebih-lebihkan yang dilakukan dengan tujuan mengesankan orang lain, malah berbuah menjadi kebohongan yang mungkin menjadi kebiasaan.
KETERAMPILAN BAHASA

Pada usia 4 tahun, anak mulai dapat merangkai kata lebih banyak lagi. Di usia ini ada sekitar 1.000 sampai 1.500 kata yang sudah dapat diucapkannya. Seiring dengan pertumbuhannya, kata yang dimilikinya akan terus bertambah.

Salah satu bentuk kalimat umum yang paling sering digunakan anak-anak adalah kalimat bertanya. Ini sejalan dengan tahapan perkembangan kognitifnya yang selalu ingin tahu tentang segala hal. Itu sebabnya, mereka cenderung "ceriwis" karena banyak bertanya dan koleksi kata-katanya pun semakin banyak. Kadang kata-kata yang diucapkannya masih terdengar lucu. Hingga banyak orang tua sangat suka mendengar perkataan-perkataan mereka.

Topik pembicaraan yang mereka lakukan, umumnya berpusat pada dirinya. Mereka terutama berbicara tentang dirinya sendiri, pengalamannya bergaul dengan teman sebaya dan hubungan mereka dengan anggota keluarga yang lain. Kadang-kadang, omongan si prasekolah sering meniru gaya bahasa orang dewasa. Namun dalam bentuk yang belum sempurna seperti mengomentari sesuatu hal atau masalah rutin sehari-hari.

Beberapa anak prasekolah sudah mengenal beberapa kosakata asing di luar bahasa ibunya. Ini karena sejumlah lembaga pendidikan prasekolah mengenalkan pengajaran dalam bentuk bilingual (dwibahasa). Bila hal ini menjadi pilihan orang tua bersama anak, perangsangan sebaiknya terus dilakukan sampai tiba waktunya atau si anak siap untuk belajar secara formal, mengingat bahasa Inggris di sekolah dasar, umumnya baru diajarkan di kelas 3 atau 4.

Bila tidak, bisa saja setelah anak "lulus" TK dan bahasa Inggrisnya tak dirangsang lagi, ia lalu jadi lupa. Kendati demikian, saat si anak mulai belajar lagi secara formal, ingatannya akan kembali muncul meski hanya untuk yang berkesan saja. Paling tidak, pelafalannya sudah terbentuk dengan baik. Ini jelas akan sangat membantu si anak ketimbang yang tak pernah mendapatkan perangsangan sama sekali.
KETERAMPILAN EMOSI

Salah satu tolok ukur kepribadian yang baik adalah kematangan emosi. Semakin matang emosi seseorang, akan kian stabil pula kepribadiannya. Di sini, pengendalian emosi merupakan kuncinya. Kapan dan dalam situasi apa dia bisa mengekspresikan emosinya, serta kapan dia mesti bersabar. Ketidakmampuan mengendalikan emosi, terutama emosi negatif seperti marah, bisa menghambat interaksi anak dengan lingkungannya.

Sementara, anak yang tak bisa mengungkapkan emosi juga sama buruknya. Anak tipe ini sejak masih kecil biasanya selalu menjadi pengekor alias ikut-ikutan apa saja yang dilakukan orang lain dan teman-temannya. Apakah dia sendiri suka atau tidak pada pilihan itu, agaknya tak menjadi persoalan penting.

Untuk anak usia prasekolah, kemampuan mengekspresikan diri bisa dimulai dengan mengajari anak mengungkapkan emosinya. Saat kesal karena ayah tak memenuhi janji membelikan mainan, boleh-boleh saja ia melampiaskan rasa kesalnya. Entah dengan sikap cemberut atau bahkan menangis. Hanya saja pelampiasan rasa kecewa tersebut jangan sampai kebablasan. Contoh, anak boleh marah, tapi jangan sampai mengamuk apalagi merusak barang-barang yang ada di rumah.

Jadi, anak prasekolah dapat diajarkan bersikap asertif, yaitu sikap untuk menjaga hak-haknya tanpa harus merugikan orang lain. Saat mainannya direbut, kondisikan agar anak melakukan pembelaan. Entah dengan ucapan, semisal, "Itu mainan saya. Ayo kembalikan!", atau dengan mengambil kembali mainan tersebut tanpa membahayakan siapa pun.

Temper tantrum mulai menyurut di usia 4 tahun dan sebagai gantinya, mereka menunjukkan pola kemarahan yang lebih matang seperti cemberut atau bersikap menentang. Rasa takut ditunjukkan bukan dengan menangis karena kehadiran orang asing seperti pada masa bayi dan batita, melainkan karena malu, dan juga khawatir atau cemas ketika memasuki lingkungan baru, seperti kelompok bermain atau taman kanak-kanak.
KETERAMPILAN SOSIAL

Usia prasekolah memberi kesempatan luas kepada anak untuk mengembangkan keterampilan sosialnya. Di usia inilah ia mulai melihat dunia lain di luar dunia rumah bersama ayah-ibu.

Kemampuan bersosialisasi harus terus diasah. Sebab, seberapa jauh anak bisa meniti kesuksesannya, amat ditentukan oleh banyaknya relasi yang sudah dijalin. Banyaknya teman juga membuat anak tidak gampang stres karena ia bisa lebih leluasa memutuskan kepada siapa akan curhat.

Nah, agar kemampuan bersosialisasi anak bisa lebih terasah, sedini mungkin orang tua mesti membukakan jalan baginya. Mulailah ketika usia anak menginjak batita, saat anak sudah bisa dikenalkan pada sebayanya, apakah itu sepupu, tetangga, atau anak-anak di kelompok bermain. Silaturahmi antarkeluarga pun sangat efektif membina sosialisasi anak.

Ketika anak menginjak usia prasekolah, orang tua bisa bertanya siapa teman-teman baiknya di sekolah. Sesekali ajaklah teman baiknya itu bertandang ke rumah. Kemampuan sosialisasi ini bisa mengasah kemampuan beradaptasi. Anak yang senang bersosialisasi bisa mengenal banyak orang berikut sifat, karakter, kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Ia bisa cepat bergaul dengan berbagai tipe orang.
KETERAMPILAN MORAL

Kemampuan sosialisasi yang berkembang membawa anak usia prasekolah masuk ke dalam berbagai kelompok baru di luar rumah, yaitu sekolah dan lingkungan sekitarnya. Sebagai bagian dari kelompok, anak prasekolah belajar mematuhi aturan kelompok dan menyadari konsekuensinya bila tidak mengikuti aturan tersebut.

Karena anak prasekolah belum mampu berpikir secara abstrak, mereka mendefinisikan "perilaku baik" dalam bentuk tindakan tertentu semisal, mematuhi omongan ibu atau membantu orang lain. Jika tidak melakukan hal-hal tersebut, mereka mengatakannya sebagai "hal yang jelek".

Anak usia prasekolah belajar perilaku moral lewat peniruan. Itulah sebabnya, orang-orang dewasa harus menghindari melakukan hal-hal yang buruk, semisal bicara kasar, memukul, mencela, dan lain-lainnya di depan anak.

Sosialisasi juga membawa anak pada risiko konflik, terutama dengan teman sebaya. Oleh karenanya, kemampuan memecahkan konflik merupakan modal yang harus dimiliki anak. Semakin baik kemampuannya dalam hal ini, maka kepribadiannya akan semakin stabil. Anak yang pandai mengatasi konflik umumnya akan mudah pula mengatasi masalah dalam hidupnya, entah di sekolah, di rumah, ataupun kelak di tempat bekerja.

Tentu saja, bagi anak usia prasekolah, bantuan orang tua masih sangat diperlukan dalam mengatasi konfliknya. Saat anak mencoba memukul teman, contohnya, orang tua jangan langsung melakukan intervensi. Lebih baik, cegahlah supaya saling pukul tidak terjadi, sambil mengarahkan anak untuk berbaikan kembali dengan temannya. Jika anak sudah mengetahui konsep ini, diharapkan ia akan mudah menyelesaikan konfliknya sendiri. Jangan lupa juga, konflik yang terjadi di usia ini bersifat spontan. Tak ada rasa dendam dalam diri anak setelah konflik terjadi.

KETERAMPILAN JENDER

Anak prasekolah sudah mampu membedakan pria dan wanita yang dilihat dari penampilan yang berbeda, pakaian yang berbeda dan rambut yang berbeda. Beberapa anak juga mulai memahami organ-organ tubuh yang berbeda pada pria dan wanita karena orang tua mereka mulai memperkenalkannya, entah lewat pengamatan langsung atau lewat buku-buku. Tetapi tidak semua anak di usia ini punya keterampilan membedakan melalui anatomi fisik/organ intim karena beberapa orang tua masih enggan membicarakan soal peran seks pada anak mereka di usia prasekolah.

Kemampuan membedakan jender juga dipelajari mereka lewat alat bermain dan peran-peran umum yang dimainkan ayah dan ibu. Misalnya, anak lelaki bermain bola dan anak perempuan bermain boneka. Ayah memperbaiki mobil, bertukang, sementara ibu berkebun dan memasak di dapur.

Kemampuan jender anak usia prasekolah lebih banyak dikenalkan oleh orang tua dan anak usia prasekolah belajar memerankan jender dengan meniru. Misalnya, anak lelaki meniru gaya pakaian ayahnya dan anak perempuan meniru cara berdandan ibunya.

KETERAMPILAN BERMAIN

Karena kemampuan motorik kasar-halusnya sudah jauh berkembang, anak usia prasekolah terampil menggunakan seluruh anggota tubuhnya. Bahkan secara bersamaan sekaligus. Misal, ia sudah pandai melakukan dua aktivitas sekaligus seperti melompat sambil melempar bola.

Anak juga mulai mengenal permainan yang bersifat konstruktif. Yang paling umum adalah membuat benda dan menggambar. Selain itu, pengenalannya terhadap konsep bentuk dan warna juga sudah terasah sehingga ragam mainan yang dapat dimainkannya juga lebih banyak. Umpama bermain pasir, tanah, balok, cat, kertas, lem, melukis, dan lain-lain.

Didukung oleh kemampuan bicaranya yang juga berkembang pesat, anak prasekolah mulai mengerti aturan permainan sederhana. Mereka sudah bisa bermain secara berkelompok semisal petak umpet, bekel, atau permainan lain yang melibatkan lebih dari satu orang. Dengan demikian, ia juga sudah bisa diajak menerima konsekuensi sanksi apabila menyalahi aturan. Saat itu ia juga bisa diajak mengenal sportivitas.

Secara sosial, ia mulai bergaul dengan orang lain di luar dirinya. Hal ini menyebabkan anak mulai segan bermain sendiri. Ia menyadari bahwa bermain bersama beberapa teman ternyata menyenangkan. Keterlibatannya dalam suatu permainan pun sangat aktif, tak lagi sebatas menonton. Ia ingin mengambil peran dan semangat berkompetisi mulai berperan di usia ini. Setelah menguasai suatu keterampilan, ia menginginkan bentuk permainan yang lebih menantang dan menguji kemampuannya, seperti lomba lari, main peran-perangan, lempar tangkap bola, lompat jauh, main kartu domino dan sebagainya.

Beberapa permainan yang mengarah ke jender, seperti anak perempuan bermain boneka, masak-masakan, atau menjahit, dan anak laki-laki bermain bola atau robot mulai dimainkan. Ini karena orang-orang dewasa di sekitar mereka mulai memperkenalkan peran seks yang berimbas pada pemilihan mainan.(tabloid-nakita)

0 komentar: