Untuk dapat bercerita, si prasekolah harus pandai memilih dan merangkai kata-kata. Ia bahkan sering menambahkannya dengan bumbu fantasi. Di situlah letak kreatifnya.
"Bu, tadi Kiki mau main ke rumah. Tapi, kan, pintu pagar rumah kita dikunci jadi dia manjat tembok samping rumah kita. Terus ketahuan mamanya, jadi, deh, dia dimarahin ," cerita Emir kepada ibunya yang baru saja pulang kerja. Belum lagi cerita lainnya, terkadang film yang ditontonnya, kejadian di taman kanak-kanak dan lainnya. Tentu saja, sang ibu merasa senang karena anaknya hobi bercerita. Namun, adakalanya ibu harus mengernyitkan dahi ketika cerita si anak kedengaran agak sedikit aneh atau tak lazim. Benarkah kejadiannya seperti itu ataukah hanya berupa khayalan si kecil belaka?
Memang, ungkap Henny E. Wirawan. M.Hum., Psi, dari Universitas Tarumanagara, Jakarta, anak usia prasekolah sedang senang-senangnya bercerita. Walaupun ada juga yang "pendiam" alias kalau tidak diminta, tidak bersuara. Jadi, kemampuan bercerita ini juga ada kaitannya dengan kemampuan dasar yang dibawa sejak lahir. Ada anak yang memang keterampilan verbalnya lebih baik daripada anak lainnya, tapi ada juga yang lebih banyak diam, tak banyak bercerita. Ia lebih suka bereksplorasi tanpa banyak bicara atau bercerita. Kalaupun bicara seperlunya saja.
Namun demikian, kemampuan verbal setiap anak sebetulnya bisa dikembangkan. Seperti diketahui, kemampuan verbal ini berkaitan dengan kemampuan otak kiri dalam hal logika berpikir verbal. Jika kemampuan berbicara dan bercerita ini dimiliki seorang anak berarti kecerdasan verbalnya memang lebih baik. Namun, kemampuan verbal yang baik ini bila tidak dikembangkan dengan baik, hasilnya pun akan biasa saja. Sebaliknya, anak yang mungkin kemampuan verbalnya biasa saja, jika dikembangkan dengan stimulasi yang baik, hasilnya akan lebih baik.
PERAN LINGKUNGAN SANGAT BESAR
Menurut Henny, sebenarnya kemampuan verbal pada setiap anak bisa distimulasi sejak lahir. Caranya, dengan mengajak si bayi bicara, meski ia belum mengerti. Dengan cara ini ia terbiasa mendengar kata-kata.
Selanjutnya, ketika anak sudah mulai bisa bicara, orang tua pun tetap harus terus menstimulasinya. Beri reward tiap kali anak mampu mengucapkan sesuatu, semisal dengan pujian, "Aduh, pintarnya anak Mama." Begitu usia dan kemampuan verbalnya bertambah, usahakan agar orang tua selalu menanggapi anak secara positif. Bila anak banyak bertanya, berilah penjelasan secukupnya sesuai dengan usia perkembangannya, tak perlu berpanjang lebar. Begitu pun bila si anak bercerita, orang tua hendaknya mendengarkan dengan baik. Anak akan merasa senang karena merasa dirinya memang diperhatikan. "Menghadapi anak seperti ini jangan redam keinginannya dalam bertanya ataupun bercerita," saran Henny.
Bila anak cenderung lebih banyak diam, dorong dan pancing kemampuan verbalnya itu. Ajarkan ia untuk mengekspresikan perasaannya. "Bagaimana perasaanmu hari ini, Sayang?" Setidaknya anak mau mengungkapkan isi hatinya walau tak harus dengan bercerita panjang lebar. Orang tua juga bisa memancing anak agar mau bercerita tentang pengalamannya di "sekolah", di rumah, atau di perjalanan dari "sekolah" ke rumah.
Biasanya, bila memang si kecil senang bercerita, tanpa perlu ditanya atau dipancing pun dia akan bercerita. Tentunya kita tidak bisa mengharapkan anak usia ini mampu menceritakan sesuatu dengan sejelas-jelasnya, secara runtut atau seperti halnya suatu karangan. Meski demikian, setidaknya sudah ada usaha dari dirinya yang harus orang tua hargai. Umumnya, ungkap Henny, anak-anak yang dibesarkan oleh orang tua yang selalu memberikan tanggapan positif seperti itu akan lebih terampil dalam berkomunikasi.
Namun yang harus diingat, latihan bercerita ini jangan sampai dipaksakan. Siapa tahu bakat si anak memang bukan pada kemampuan verbal, tapi visual atau pemikir, yang tak banyak memerlukan kemampuan berbicara.
KEUNTUNGAN SUKA BERCERITA
Dengan senang bercerita, setidaknya anak sejak kecil bisa dilatih bertukar pikiran. Dengan cara ini, orang tua juga bisa lebih memahami diri anaknya karena tahu isi hati dan kemauannya, sehingga tak salah dalam bertindak.
Untuk anak sendiri, ia bisa mengembangkan kemampuannya dalam berimajinasi. Orang tua bisa memancingnya dengan menyodori gambar dan minta si anak bercerita tentang gambar yang dilihatnya. Bisa juga sambil melatih daya ingat si anak, misalnya dengan menceritakan kembali apa yang pernah dilihat atau didengarnya dari suatu film, dongeng, atau lainnya.
Dengan bercerita, anak juga akan bertambah perbendaharaan katanya. Bukankah ia akan banyak menggunakan kata-kata dalam bercerita? Hal ini berarti melatihnya berbahasa. Apalagi bila kemudian anak sering bersosialisasi dengan orang lain, hal ini akan melatih kemampuannya berkomunikasi.
"Sebetulnya, anak yang senang bercerita bisa dibilang kreatif. Adakalanya dengan berimajinasi dan menggunakan kosakata muncul banyak ide. Bahkan mungkin ide yang tak lazim," tambah Henny. Sampai-sampai kadangkala kita dibuatnya bertanya-tanya, apakah yang diceritakan itu benar dari apa yang didengar dan dilihatnya, ataukah berupa fantasi?
Memang, diakui Henny, sulit membedakan apakah yang diceritakan anak berupa khayalan dan kenyataan. Bagaimanapun, di usia prasekolah anak masih sangat lekat dengan imajinasinya. "Nanti setelah berusia 7 tahun, barulah anak mulai melihat sesuatu secara konkret, mana yang khayalan dan kenyataan."
Bila mendapati cerita anaknya berdasarkan khayalan belaka, hendaknya orang tua jangan menuduh atau menganggapnya berbohong. Berilah kesempatan kepada anak untuk berimajinasi, sambil diarahkan mana yang kenyataan dan khayalan.
JIKA TERLALU BANYAK CERITA
Hanya saja, saran Henny, sejak dini orang tua harus mengarahkan agar ide-ide kreatif anaknya bersifat positif. Jangan sampai merusak, mengganggu, dan menyusahkan orang lain. Misalnya, kemampuan dan kesenangannya bercerita susah dihentikan atau over talkactive. "Jangan sampai hal ini berkelanjutan sampai di usia besarnya nanti," kata Henny.
Bila anak over talkactive, hendaknya orang tua melatihnya untuk mengendalikan "nafsu" bicara. Ingatkan ia untuk selalu memberi kesempatan pada orang lain berbicara atau bercerita. Jauhkan ia dari sikap memonopoli pembicaraan. Juga biasakan anak untuk kemudian mendengarkan saat orang lain bicara. "Kak, sekarang gantian, giliran Adek yang cerita sama Mama tentang kejadian di rumah tadi siang."
Bila kemauan dan kemampuan mendengarkan orang lain tidak ditanamkan, nantinya anak akan punya kecenderungan bersifat egois dan tidak menghargai orang lain. Akibatnya, ia kelak akan menemui kesulitan dalam pergaulan di masyarakat.
(tabloid-nakita)
0 komentar:
Posting Komentar