Sumber: ibu ibu DI
Tanya
Aku mau curhat masalah pendidikan anakku. Anakku sekarang lagi di PGS (Play Group Senior) TK Katolik di Cisalak, memang aku udah denger lama & liat langsung lulusan TK / SD disitu pasti diterima di SD / SMP Katolik Jakarta yang favorit. Tapi pertimbangan kita pertama kali masukin ke situ karena deket aja biar anakkutidak capek. Dengan berjalannya waktu dan mulai tahun ajaran 2002/2003 kemaren sistemnya balik lagi ke semester. alamak pelajaran PG udah kayak gitu, aku kasihan sama anakku. Apalagi kemaren aku dapat Buku Penghubung yang isinya Target Semester II. Aku jadi tambah bingung & sedih, anak umur segitu udah harus bisa semua.
Ini aku tulis disini juga target semester II PG di TKK Perboen...
Bahasa:
* mengenal & menulis huruf C s/d O
* mengenal & menulis huruf vokal (A, I, U, E, O)
Daya Pikir
* mengenal & menulis angka 3 s/d 10
* mengenal & menghitung jumlah benda
PR setiap Senin & Kamis
Sedangkan semester I kemaren itu udah nulis huruf sampai D, lalu angka sampai 4. PR tiap Rabu. Anakku sekolah enjoy aja, pokoknya semangat, kalau badan dia sehat pasti harus sekolah. Sekolahnya Senin - Jumat jam 8.00 - 10.30. Kemaren pertengahan Desember ambil raport semester memang tidak ditulis rangkingnya di buku raport tapi kita ortu dikasih tau, yang rangking 1 - 3 ditulis di papan. Malah ada beberapa ortu yang udah ngelesin anaknya di guru yang ex pernah ngajar di Perboen. Aku sich tidak pengaruh krn anakku masih kecil. Tapi kalau liat target semester ini & waktu kita, ortu, kadang pulang sampai rumah paling telat aku jam 19.00, itu juga tidak pernah nemenin dia bikin PR selalu eyang utinya, aku bingung moms. Tolong ya, apapun pendapat moms aku akan pertimbangkan buat bikin hati ayem. Thanks. (Im)
Jawab
Aku mau share pengalaman pribadi aja dan pengetahuanku mengenai perkembangan anak usia 0-6 th, mungkin bisa jadi bahan pertimbangan. Kalau menurut pendapat para ahli, umur 0-6th memang usia paling penting untuk meletakkan dasar² yang kuat pada seorang anak. Karena perkembangan otak mereka paling tajam pada usia segitu (50% org dewasa). Tapi jangan lupa juga bahwa dunia mereka adalah bermain. Belajarpun harus dibuat sedemikian rupa supaya menjadi suatu permainan yang menyenangkan untuk anak. Kenapa sekolah sekarang menerapkan target seperti itu, karena kalau dihitung², waktu anak di sekolah itu pendek sekali sementara kurikulum yang ditetapkan begitu padat, belum lagi jumlah anak di kelas yang begitu banyak sementara gurunya hanya satu. Bayangkan pula, berapa orang yang harus mendapat perhatian khusus. Kalau aku sendiri sekolah buat anakku yang terutama adalah di rumah. Karena menurut aku pribadi, tugas ibu yang utama adalah nomer satu anak (no excuse pekerjaan, sorry agak extrem), orangtua adalah guru yang pertama dan utama bagi mereka. Kenapa aku bilang "no excuse", karena sebenarnya "belajar" (bermain) dg anak itu tidak membutuhkan waktu berjam² seperti kita belajar, spend at least 5 minutes a day continually.
Karena kondisi otak anak yang sudah 50% orang dewasa spt aku katakan diatas, jadi mereka mampu menyerap dg cepat. Jadi tugas ortu untuk meramu target sekolah itu menjadi suatu permainan yang menyenangkan dirumah. Klo aku prinsipnya, mendingan susah sekarang karena masih kecil dan lucu daripada nanti begitu masuk SD, pelajaran sudah semakin banyak dan anak juga sudah punya mau sendiri. Sedangkan pengalamanku dg anakku, meskipun tdk ada pr dari sekolah aku biasakan dia punya tugas dari aku. Misalnya, nulis lima kata sehari, lain hari aku kasih soal matematika 5 nomer. Dan aku kasih reward yang bisa dikumpulkan dan ditukar hadiah pas week end. Sementara, aku gak terlalu sulit mengenalkan huruf krn dari pertama aku sudah pake metode Glen Doman yang mengajar bayi membaca (mungkin Ima sudah baca postinganku sebelumnya mengenai ini). Bahkan sekarang membaca kata² yang panjang pake awalan, akhiran dan sisipan juga dia sudah bisa. Sorry, ini bukan mau pamer or what. Tapi bener² memang seharusnya kita yang harus berusaha. Kalau tidak nanti masuk kelas satu belum bisa baca, bisa ketinggalan pelajaran kan. Dan menurut aku, klo kita pake metode yang tepat, tidak ada tuh sebetulnya takut anaknya bebannya terlalu berat atau apa. Karena ya itu, rasa keingintahuan mereka itu masih besar sekali. Klo menurut aku, anak yang tdk suka sekolah atau susah klo sekolah, itu krn mungkin, gurunya tdk menarik buat mereka (tdk dpt memenuhi rasa ingin tahu mereka) dan ortu tdk membiasakan bahwa belajar itu merupakan permainan yang menyenangkan, bukan karena anaknya overload. Sedikit cerita waktu ngambil raport anakku kemarin, ada ibu² yang panik dan tanya "anaknya udah bisa baca belum bu"?, ya dengan bangga aku jawab "sudah". "Aduh gimana ya anak saya belum bisa baca, dia malas, saya jadi malas ngajarinnya". Gimana anaknya mau bisa, kalau mamanya aja males. Atau ada yang lain lagi, saking paniknya anaknya di-lesin baca dan tulis. (Ir)
Soalnya aku rada cerewet untuk urusan beginian, sampai aku pernah debat sama ketua Yayasan tempat anakku sekolah, yang ngejelasin bahwa di situ anak akan bisa apa aja, tergantung pada kita maunya jadi apa. Ini target ketua yayasannya atau target muridnya. Sekolah bisa mengarahkan mau bisa bhs inggris, lancar baca tulis, sempoa, tari dll..dll.., setelah lulus TK. Ini untuk yang setelah lulus TK, bukan PG. Makanya kalau PG seperti ini aku akan bener-bener waspada, ngawasin anakku. daripada aku menyesal di kemudian hari. Kalau menurut aku
musti di urut bener-bener nih cara belajar mengajar, kesiapan mental anak, tingkat persaingan, bagaimana pengaruhnya terhadap psikologi anak, koordinasi sama semuanya yang sehari-hari ama anak (eyang, guru dll). Tapi aku takutnya karena target semester sekolah yang ketat jadi kurang perhatian terhadap pembelajaran yang lain seperti akhlak, sopan santun, pengenalan terhadap lingkungan, kemandirian, dll, yang menurut aku justru yang paling utama untuk di PG. Bukan pelajaran alam arti yang sebenernya. Disamping takut berefek jenuh bagi anak di kemudian hari. Mbak, kok sampai les segala, padahal kan masih kecil ya, lagian juga waktu sekolahnya juga udah lama ya , 5 jam 5 hari seminggu. Anakku cuma 2 jam 3x seminggu. Takutnya anak-anak itu belajar bersaing bukannya di mulai belajar sharing ya? (Al)
Dari situ aja kita udah bisa tau bahwa ini PG atau TK mesti mutunya bagus banget. Tidak hanya dari segi main-mainnya tapi juga dari segi pendidikannya. Itu pasti, kalau tidak gitu tidak mungkin bisa diterima di SD/SMP Katolik (atau swasta) favorit. Kalau menurut aku sekarang anak kan masih PG, walaupun di sekolahnya ada target yang harus dicapai untuk anak seusianya, sbg orang tua, aku akan membiarkan saja anakku belajar sesuai dengan kemampuannya. Tidak harus aku paksakan karena takutnya nanti malah anak stress. Tapi kalau si anak enjoy aja aku rasa tidak ada salahnya. Mungkin saja memang semangat belajar anak tinggi. Kalau masalah mbak tidak punya waktu buat anak untuk menemaninya belajar tentu itu adalah resiko ibu yang bekerja jadi tidak bisa dibikin apa² lagi. Tapi jangan lupa mbak masih punya waktu dihari sabtu dan minggu, bisa dimanfaatkan dengan menciptakan suasana bermain sambil belajar yang fun banget antara mbak, suami dan si kecil. Pasti akan kebayar mbak. Mbak sendirikan tidak terpengaruh dengan ortu lain yang khusus mengikut-sertakan anaknya les ini dan itu, itu udah bagus banget. Biarin segala sesuatunya mengalir seiring dg kemampuan anak bertumbuh. (Sn)
Kalau menurut aku, kurikulum sekolah tidak bisa diutak atik, yang kita bisa protes, cara guru ngajar dan menghadapi anak yang belum bisa ngikutin kurikulum itu, kalau di sekolah anakku, emang mirip gitu kurikulumnya waktu PG dulu, tapi yang penting, kalau si anak tidak mau ikut nulis, atau tidak bisa, ya tidak papa, si anaknya sendiri gimana? mau dan bisa ngikutin tidak? tapi terus terang aja, aku rencana tidak masukin anak keduaku ke sekolah anakku yg pertama karena itu, jadinya untuk PG anakku tetep di tempat english activity class nya yang sekedar bermain, biarin aja ntar belajar serius nya mulai di TK (Dn)
Kurikulum di sekolah waktu anakku PG gak begitu nyeremin. Tapi kalu aku inget² memang sejak PG anakku sudah diajar mengenal huruf besar dari kecil A-Z dan angak 0-10 juga bisa menuliskannya. Aku juga gak tahu kenapa, tapi perasaan sih caranya gak dipaksain ke anak, artinya gak pernah anakku ngeluh krn kebanyakan 'belajar' gitu, dan gak pernah ada PR. Barangkali krn anakku sekolah cukup lama, tiap hari senin-jumat 8.00 - 12.00 wkt masih PG, jadi gak perlu PR dan di sekolah waktu utk 'belajar baca tulis' nya banyak, jadi gak diburu², barangkali ya. Dan setahuku gak ada seorangpun anak di kelas anakku, bahkan sekarang (di TKA) yang udah ngeles ini itu kecuali musik, beladiri atau ngaji sih ada. Coba Mbak perhatiin gimana cara guru² tersebut mencapai target kurikulum mereka. Kalau kamu amati caranya sreg sama kamu, artinya fun dan gak menekan anak, barangkali kamu bisa lega. Tapi kalau caranya terlalu menekan anak, bikin anak unhappy, kamu perlu kasih 'solusi' sama guru²nya. (St)
Anakku sekolah di PG Katolik juga. Tapi kayaknya santai banget. Kayaknya tidak ada pelajaran menulis. Biasanya tiap minggu ada tema tersendiri, misalnya minggu ini tentang hewan. Minggu depan ttg.keluarga, minggu depan ttg. jenis² kendaraan. Jadi belajarnya ya itu doang, nama² hewan, kebiasaannya, pokoknya begitu² aja deh. Paling yang ada pelajarannya adalah agama. Itu pun sambil cerita. Di rapor tidak ada nilai apa², isinya cuma komentar guru ttg. Kemampuan anak, daya pikir, motorik, sosial, disiplin dllnya. Di bagian daya pikir, cuma diceritain kalau anak udah bisa/tidak mengingat warna, bentuk, nama hari, things like that. Di sekolah kalau tidak mewarnai, melipat, menempel, menggunting, menggambar ya begitu-begitu aja kok. Kaya' jamannya kita TK dulu, cuma sekarang 'maju' ke PG. Tetanggaku aku intip rapor anaknya yang TK-B, juga tidak ada nilai, hanya komentar², apa yang harus diperbaiki, dllnya. PR-nya juga kayaknya tidak ada, kalau ada juga tidak berat, soalnya tetanggaku tidak pernah ngeluh tuh, sejak TK-A terus ke TK-B. Tapi anak² TK-B itu udah pada bisa baca. Jadi kayaknya di sekolah anakku pengenalan huruf itu dimulai di TK-A. (Rn)
Anakku yang TKA aja baru belajar huruf, itupun belajarnya pake metode lagu. Jadi mereka belajar huruf sekaligus bunyinya melalui nyanyi, contohnya gini: Jellyfish, Jumping jeh jeh jeh jeh jeh jeh, Jeh is the sound of J. atau Orange, Octopus oh oh oh oh oh oh , Oh is the sound of O segitu aja yang aku ingat, tapi kalau anakku ingat dari A to Z. Lama-lama dia bisa juga tidak pake PR dan les-les an. Makanya aku bener-bener milih kalau urusan sekolah, aku tidak mau anakku dijejali sesuatu sebelum waktunya dan hal-hal yang tidak perlu.Seperti anakku, yang dipelajari di SD kelas satu ya, Bahasa (latihan menulis huruf cetak, huruf kecil, huruf sambung), Matematika sederhana, Art (menggambar, etc), Music Clasic (cuma nyanyi dan denger music clasic), Olahraga, Agama. Pokoknya tidak aneh-anehlah. (Dm)
Aku ngeri baca target semesterannya anak, ngebayangin aja, pastinya anak² yang seperti sulungku tidak akan mungkin diterima di situ, aku setuju sama Mbak Di menurutku, kalau memang anak menikmati sekolah regardless dia bisa menuhin target kurikulum atau tidak dan guru²nya juga tidak melupakan kebutuhan mendasar anak muridnya, yaitu sesuai nama tingkatan sekolahnya: main..main..main... kayanya tidak papa deh terus di sana... malah bagus kalau mbak bisa nularin pemikiran ke sesama orangtua untuk tidak pasang target, apalagi mengejar ranking. yang paling penting lagi menurutku mbak sendiri ngerasa ayem, tentrem & nyaman anak sekolah di sana karena biasanya orangtua kan punya 'feeling', dan jangan lupa disampaikan ke guru²nya, karena siapa tau mereka jadi lebih rileks, tidak ngoyo ngejar target kurikulum kalau tau dan yakin bahwa mereka didukung oleh orgtua muridnya. (Hn)
PG anakku juga mirip seperti sekolahnya anaknya mbak Ri juga pakai tema, tapi bulanan, misalnya bulan ini temanya pergi ke desa, dari mulai ngeliatin telur ayam diperemi induknya sampai netas, nanem sayur²an di kebun (dan dipanen lho.. utk dibawa pulang tiap murid, mandi di kali (sebenernya sih berenang, tapi dekorasi di kolam renangnya dibikin seperti di desa, masak tiwul lalu dimakan bareng², sampai naik delman keliling sekolahnya, aku bilang tidak terlalu santai kok mbak. tapi memang ternyata mereka belajar banyak, walau keliatannya tidak ada 'pelajaran'nya, sambil nyanyi, sambil rebutan sekop, antri cuci tangan, sambil ngeloyor ke sana sini memang tidak pernah diajari baca-tulis, perasaan nyanyi dan joget melulu kerjanya. Tapi ternyata jogetnya itu penuh makna, aspek verbal, musik, kelenturan tubuh, visual, interpersonal, motorik halus dll diusahakan seimbang tapi tentunya tiap anak penekanannya beda² untuk anak yang motorik halusnya udah lumayan kuat diasah aspek² lainnya, diajarin manjat, loncat. Jadi kalau penilaianku walaupun sistem pengajarannya klasikal, perhatian individualnya cukup intensif laporan perkembangan (raport), untuk tiap aspek itu dijabarin rinci dan dikasih liat "kemajuan" si anak. Jadi malu aku kalau inget waktu itu mengeluh ke gurunya karena anakku kalau yang lain lagi tekun denger cerita sibuk cerita sendiri (ngedalang) dalam bahasa planetnya, trus gurunya bilang gini "Ibu.. walaupun ini sesuatu yang sangat wajar dan manusiawi ayo kita liat si anak dari sudut pandang kemajuan dia sendiri dari belum bisa menjadi bisa, jangan pake anak lain jadi target, karena tiap anak beda bu, tiap anak istimewa!" malah gurunya yang bilang ke aku tidak papa kalau memang anakku belum siap masuk TK jangan dipaksain masuk cuma karena dari segi umur udah layak di TK (Hn)
Kalau anak-anak seperti anak kita tidak bisa diterima disitu, bukan karena mereka tidak bisa ngikutin pelajaran, tapi karena gurunya aja yang tidak sabar ngajarin anak-anak seperti anak-anak kita. Sekolah yang katanya favorit belum tentu cocok dengan anak kita. Pokoknya semua kembali ke kita, karena kita yang tau betul mana yang paling cocok dengan anak kita itu. Aku nyari sekolah anakku sampe kesana kemari, tes kesana kemari. Mulai dari sekolah yang bagus, sekolah khusus anak bermasalah, sampe sekolah yang mahal banget dan mau nerima anak-anak special ini, tapi begitu aku pelajari lagi rasanya tidak cocok buat anakku. Akhirnya aku ketemu satu sekolah yang baru buka, yang begitu ketemu sama gurunya langsung ada perasaan tenang. Terus lihat kurikulumnya juga OK, dan ternyata teman-temannya juga luar biasa, jadi kalaupun di kelas dia tidak bisa duduk diam tapi teman-teman dan gurunya tidak marah. Mudah-mudahan anakmu bisa ketemu sekolah yang cocok nantinya ya,kapan-kapan boleh ketemu sama anakku. (Dm)
Kalau boleh tahu dimana sekolahnya mbak Hn, Ri ? Yang kayak gini yang aku mau, tapi disekitar tempat tinggal ku kayaknya belum ada. Anakku di PG/TK deket kompleks Galaxy, Kalimalang. Biar kata sekolah Katolik, tidak se'serem' yang kukira. Ya itu lah, kerjaannya cuma begitu² aja. Pernah juga ada anak PG yang hiperaktif di tahun ajaran yang lalu. Sampai naik kelas ke TK-A masih suka kangen PG, dan 'kabur' dari kelas TK-nya, nyari guru PG-nya dulu. Tapi aku lihat sendiri, mereka tidak langsung 'hayo balik lagi sana ke kelasmu'... tapi dibiarin dulu kangen²an sebentar, terus dianterin lagi. Memang buat guru anak kecil aku pikir memang kita harus lihat betul² ya, apa mereka sabar atau tidak. Makanya aku tidak sekalian bayar sampai TK uang masuknya, meski lebih murah kalau paket begitu, tapi aku bayar UM playgroup aja. Mungkin, karena guru²nya juga udah 'mateng', sebab aku lihat mereka udah pada punya anak yang usianya kira² TK juga. Bukan bilang kalau guru yang. belum punya anak, atau masih muda tidak bagus. Tapi mungkin yang udah punya anak seumur begitu (atau lebih gede lagi) udah tau sendiri based on experiece sepanjang hari di rumahnya, emang anak umur segitu menanganinya perlu kesabaran ekstra. Waktu permulaan masuk sekolah, anakku yang sekelas berdelapan ditangani oleh 3 guru (yang. satunya kepsek) dan 1 suster. Biar kata kepseknya udah setengah baya, tetap aja ikut ngegendong anak² yang berontak 'takut sekolah'. Aku senengnya di situ, selain untuk sekolah, tidak ada kutipan macem², kecuali satu kali dalam satu semester bergantian ibu murid masak makanan untuk murid sekelas, itu juga sebenernya ada uang sih, dari sekolah ke kita, tapi karena pasti ala kadarnya, kita pasti nombok. Terus waktu Aksi Natal, ada pengumpulan sumbangan sukarela untuk Panti asuhan. Itu mah terserah mau sekilo gula putih juga boleh, mau sekarung beras juga silahkan. Bahkan perayan Natal sekolah juga ortu tidak dikutip apa² tuh. (Rn)
0 komentar:
Posting Komentar