MEWARNAI YANG "MEMATIKAN"

Selembar kertas kosong, jauh lebih baik daripada buku mewarnai

Hampir semua anak prasekolah, apalagi yang sudah duduk di bangku taman kanak-kanak, pasti mengenal buku atau lembar mewarnai. Bukunya pun cukup populer dan banyak tersedia di toko-toko buku dengan isi yang bervariasi. Bahkan di taman kanak-kanak, kegiatan mewarnai juga merupakan salah satu aktivitas yang termasuk dalam program pembelajaran. Bentuknya berupa lembaran sama dengan bahan ajar sederhana yang biasa disebut lembar kegiatan (LK) siswa.

HAMBAT IMAJINASI

Yang jadi persoalan, banyak orangtua bahkan pendidik lebih memilih menyodorkan buku-buku mewarnai kepada anak sebagai sarana untuk melatih kemampuan coret-mencoretnya. Padahal pada buku-buku tersebut yang disediakan hanyalah sejumlah gambar dan anak tinggal memberi warna. Hasilnya, anak menjadi terpaku pada gambar tersebut. Buntutnya, kegiatan mewarnai malah jadi pembelenggu berkembangnya kreativitas anak.

Ketahuilah, penelitian Montessori menemukan, rata-rata pada usia 4,5-5,5 tahun adalah masa peka anak-anak untuk mencorat-coret, sehingga perlu diberikan sarana untuk menyalurkannya. Caranya yang paling tepat adalah dengan memberikan kertas kosong dan biarkan anak mencoret sesuka hatinya. Coretan anak merupakan inspirasi atau imajinasi si anak. Jadi, jangan mendikte anak dengan menyodorkan lembar bergambar yang sudah siap untuk diberikan warna. Tindakan ini hanya akan menghambat berkembangnya kreativitas imajinasi anak.

RESPONS SALAH

Tak kalah penting, respons dari orangtua kala anak sedang mewarnai. Umumnya, yang terlontar adalah respons yang tidak tepat, semisal, "Jangan keluar garis, dong!" atau, "Jangan berantakan ya mewarnainya, bisa-bisa kertasnya jadi kotor." Bahkan ada pula orangtua yang sampai memegangi tangan anaknya agar mewarnainya tidak berantakan. Ini semua adalah tindakan keliru yang malah membuat anak tertekan sehingga dapat menghambat berkembangnya imajinasi anak.

Demikian pula dengan respons, "Lo... kok warnanya itu." Atau, "Jangan diberi warna itu dong, enggak pas." Padahal pemilihan warna yang menurut orangtua tidak tepat itu, hanyalah persepsi orangtua saja. Justru yang harus dilakukan orangtua adalah menanyakan alasan si anak mengapa ia melakukan itu atau memilih warna tersebut, yang mungkin menurut persepsi orangtua tidak naturalis. Umpama, anak menggambar daun dan diberi warna cokelat, padahal umumnya daun berwarna hijau. Nah, tanyakan, "Kok warnanya cokelat, kenapa?" Bisa jadi jawabannya adalah daun ini kering, jadi berwarna cokelat. Inilah imajinasi anak. Bila ini dihambat, buntutnya kelak dapat memengaruhi rasa percaya dirinya.

Bila orangtua ingin memberikan inspirasi kepada anak, sebaiknya orangtua menggambar sendiri di kertas lain, kemudian tunjukkan kepada si prasekolah, "Ini lo, Ibu menggambar pantai, bagus enggak?" Melalui cara ini, anak akan mengamati gambar ibunya dan niscaya ia dapat memperoleh inspirasi dari situ.

PERSIAPAN MENULIS

Kegiatan mewarnai memang dapat melatih keterampilan motorik halus anak sebagai salah satu sarana untuk mempersiapkan kemampuan menulis. Dengan demikian, orangtua/pendidik hendaknya mempersiapkan terlebih dahulu kemampuan anak dalam memegang alat tulis sebelum mulai memperkenalkan kegiatan ini.

Untuk itu, coba amati, apakah si kecil sudah memiliki keterampilan dasar untuk memegang alat tulis (pensil, krayon, pensil warna, dan lain-lain) ataukah belum. Jika belum, sebaiknya berikan sejumlah stimulasi untuk mengembangkan kemampuan tersebut. Ada sejumlah latihan terkait yang dapat bermanfaat untuk melatih motorik halus jari-jari tangan, misalnya, memindahkan biji-bijian dari satu botol ke botol lain, membuat aneka bentuk dengan plastisin, lilin (malam), dan lain-lain. Nah, bila kemampuan memegang pensilnya sudah baik, dapat diberikan kesempatan untuk mencorat-coretkan alat tulis tersebut.

YANG HARUS DIWASPADAI

1. Ketika anak dipaksa melakukan kegiatan mewarnai (disodori buku mewarnai dan diminta untuk mengerjakannya), bukan karena kebutuhan atau keinginan anak itu sendiri, maka kegiatan itu hanya sekadar meningkatkan kemampuan (ability) dari si prasekolah dan bukan menumbuhkan minat/keinginan untuk menulis atau menggambar pada anak. Padahal tujuan utama pemberian beragam kegiatan sebagai stimulasi adalah untuk mengembangkan minatnya. Akibatnya, anak tidak berhasil menemukan konsekuensinya. Contoh, anak tidak akan memahami konsep bahwa kalau tidak bisa menggambar, nanti aku tidak bisa membuat komik, misalnya.

2. Terkadang orangtua/pendidik tidak memerhatikan tingkat kesulitan materi yang disodorkan pada anak. Idealnya memang dari yang mudah, lalu meningkat kepada yang sulit. Kalau anak langsung dihadapkan pada yang sulit, dapat menjadi hopeless atau kecewa, serta merasa dirinya tidak mampu.

3. Beri kebebasan pada anak untuk mengapresiasi sendiri hasil karyanya. Yang penting ada contoh-contoh yang secara naturalistik disampaikan kepada anak. Contoh, dengan melihat langsung atau melalui film, untuk menyampaikan bahwa daun warnanya hijau.
(tabloid-nakita)

0 komentar: