Mengubah KEBIASAAN Tak PERLU

Hanya dengan 5 langkah, si kecil pun siap berubah!

"Ma, kok lewat sini sih? Biasanya, kan, lewat jalan yang ada patung kudanya," protes Indra. Memang, setiap berangkat ke sekolah dia selalu menempuh jalan pintas melewati taman yang dihiasi patung kuda. Namun karena jalan tersebut sedang rusak, Mama harus melewati jalan memutar. Tak tahunya Indra protes karena dia sudah terbiasa melewati jalur yang lama. "Aku tidak mau lewat sini, aku mau lewat jalan yang ada patung kudanya," Indra bersikukuh. Terpaksa, Mama pun berbalik arah dan kembali melalui jalan sebelumnya.

Pernah enggak, diprotes anak karena ia tidak mau mengubah kebiasaan? Bukan hanya soal rute berangkat dan pulang "sekolah" yang biasa dilaluinya setiap hari, tetapi juga kebiasaan-kebiasaan lain semisal bangun telat, tidur agak malam, setiap minggu main ke rumah kakek-nenek, harus keliling kompleks dengan kendaraan sebelum kita berangkat ke kantor, dan sebagainya. Karena sudah menjadi kebiasaan, anak akan protes jika kita mengubahnya sedikit saja.

Akan tetapi, benarkah kebiasaan-kebiasaan pada anak sulit diubah? "Ah, enggak juga, kok!" jawab Anna Surti Ariani, Psi., dari Medicare Klinik Jakarta. Hanya saja, kita harus tahu cara mengubahnya. "Kita harus tahu lebih dahulu, kenapa anak berperilaku seperti itu," tambah Nina, sapaan akrab psikolog ini.

Menurutnya, anak usia prasekolah mulai susah diubah dikarenakan ia sudah bisa memilih kemauannya, bisa berinteraksi lebih baik, juga dapat mengungkapkan ketidaksetujuannya dengan cara mengambek, marah, rewel, bahkan tantrum. Protes lewat pengungkapan emosi yang berlebihan inilah yang akhirnya membuat kita menganggap anak sulit sekali diubah dari kebiasaannya; berbeda sedikit saja dia langsung marah, ngambek, teriak, dan sebagainya. Padahal, kenyataannya tidak demikian. Dengan "sentuhan" yang tepat, si kecil mau kok mengubah kebiasaannya itu.

5 LANGKAH Efektif

1. Beri Penjelasan

Memberikan penjelasan sangat diperlukan untuk mengubah kebiasaan anak. Hal ini harus dilakukan sebelum, sesaat, dan setelah perubahan itu dilakukan. Contoh, ketika kita ingin mengubah kebiasaan anak yang selalu minta keliling kompleks dengan kendaraan, kita harus memberinya penjelasan, "Adek, bagaimana kalau besok kamu main sepeda saja sama si Mbak, karena Mama takut terlambat ke kantor." Kemudian, waktunya tiba, kita beri penjelasan lagi, "Adek bersepedanya sama si Mbak saja ya!" Selanjutnya, setelah berangkat kerja, kita telepon si kecil dan arahkan dengan kata-kata bijak, "Wah, Adek hebat tadi, setuju tidak keliling kompleks, Mama jadi enggak terlambat nih." Penjelasan seperti ini pun bisa diberikan untuk mengubah kebiasaan anak yang lain.

2. Konsekuen

Bila kemudian anak protes karena dia harus mengubah kebiasaannya itu, kita tetap harus konsekuen. Jangan sampai, hari ini kita menolaknya bersepeda setelah magrib, tapi besoknya kita menyetujuinya atau malah mengajaknya. Jadi, kita harus konsekuen kalau memang ingin mengubah kebiasaannya itu. Atasi protesnya dengan penolakan halus, bukan dengan kata-kata kasar atau kalimat yang membuat anak merasa tersisihkan.

Begitu pun bila kita ingin mengubah kebiasaan-kebiasaan lainnya, semisal bangun tidur pagi terlalu siang. Kita harus mulai membangunkannya agak pagi, bisa dengan memindahkannya ke ruang teve dimana hanya ada matras dan lampu ruangan lebih terang sehingga secara perlahan anak akan terjaga. Lakukan secara konsekuen. Jangan malah sesekali lupa, membiarkan anak tidur hingga siang karena akan membuatnya kembali dengan kebiasaannya bangun tidur terlalu siang.

3. Berikan Penghargaan (reward)

Ketika anak mau mengubah kebiasaannya, mau pergi ke sekolah lewat jalan lain, bangun tidur lebih pagi, makan tidak diemut, dan sebagainya, jangan didiamkan begitu saja. Kita perlu memberinya penghargaan, bisa berupa pujian, belaian, atau hadiah stiker, kue kegemarannya, dan sebagainya. Pemberian reward haruslah yang wajar dan tidak berlebihan, agar ketika ingin melakukan sesuatu, anak memang berniat untuk memperbaiki perilakunya bukan karena ingin mendapatkan hadiah. Pasalnya, bila anak berlaku positif hanya karena ingin hadiah, hal ini tidak baik untuk perkembangan kepribadiannya. Setiap melakukan sesuatu dia selalu mengharapkan imbalan, misal.

4. Berikan Sanksi (Punishment)

Pemberian sanksi lebih ditujukan pada akibat yang akan diterima anak bila dia tidak melakukan sesuatu yang seharusnya dilakukan. Bukan berupa hukuman yang memang benar-benar ingin dikenakan ke anak. Umpama, bila dia bangun tidur telat, maka akibatnya dia tidak bisa bermain sepeda ke taman, tidak bisa menikmati kue kesukaannya, dan sebagainya. Dengan adanya punishment ini diharapkan anak bisa bersemangat untuk memperbaiki kebiasaannya, "Wah, kalau bangun kesiangan aku tidak bisa bermain sepeda dengan Windi dong."

Hindari punishment yang bersifat menggurui atau merendahkan anak, semisal, "Makanya, kalau bangun pagi-pagi, biar rasa kalau enggak bisa main sepeda." Kita bisa ubah dengan kalimat yang lebih halus namun mengena di hati anak, "Adek kan kesiangan bangunnya, jadi enggak bisa main sepeda deh." Hal ini akan lebih dipahami anak karena bahasanya sederhana dan tidak menekankan amarah.(tabloid-nakita)

0 komentar: