9 Ketrampilan sosial

Inilah bekal untuk menjalin hubungan yang seimbang dengan sebayanya.

Hubungan pertemanan yang seimbang dapat diperoleh jika anak memiliki rasa percaya diri dan bisa menghadapi berbagai masalah serta mencari solusinya. Keterampilan sosial juga membuatnya mudah diterima oleh anak lain karena mampu berperilaku sesuai harapan lingkungannya secara tepat.

Begitu pula, anak-anak yang diberi banyak kesempatan untuk bermain dan bergaul cenderung akan memiliki keterampilan sosial yang tinggi ketimbang anak yang sehari-harinya di rumah saja. Uniknya, semakin sering anak bergaul dan mempunyai pengalaman langsung dengan banyak situasi sosial, maka di usia sekolah IQ-nya akan bertambah 10-15 poin. Artinya, keterampilan sosial juga membantu perkembangan kognitif anak.

Nah, apa saja keterampilan sosial yang harus dimiliki seorang anak dan bagaimana cara menstimulasinya? Indri Savitri, M.Psi., dari Lembaga Psikologi Terapan UI memaparkannya berikut ini.

1. KENAL DIRI

Ini merupakan bagian dari kecerdasan diri/intrapersonal yang diperlukan anak untuk bisa menjalin hubungan sosial yang baik dengan orang lain. Kenal diri tak hanya sebatas mengenal identitas: siapa namanya, siapa nama orangtuanya, di mana tempat tinggalnya, apakah jenis kelaminnya—lelaki atau perempuan—dan identitas lainnya, tetapi juga mencakup apa kesukaannya, harapan dan keinginannya, maupun perilaku dirinya seperti apa dalam menghadapi lingkungan. Jadi, anak memiliki kesadaran akan dirinya sendiri (awareness).

Keterampilan kenal diri akan membantu anak untuk bisa memilih sendiri kegiatan yang ingin dilakukan, dengan teman/orang seperti apa dia akan bermain, serta bagaimana ia bisa bersikap menghadapi situasi sosial yang ditemuinya dan bisa mencari alternatif lain. Contoh, anak sudah mengenal identitas dirinya sebagai anak perempuan dan ia ingin bermain dengan teman perempuannya untuk bermain boneka. Ketika temannya tidak mau bermain, dia bisa melakukan alternatif lain dengan bermain peran bersama anak lainnya. Jadi, anak sudah tahu apa yang menjadi keinginan dirinya. Ia tidak bersikap marah pada temannya yang tidak mau main boneka dengannya.

STIMULASI:

Dapat diberikan sejak usia sebelumnya, sekitar 1 tahun. Sambil bermain orangtua pura-pura bertanya mengenai identitas anaknya, "Nama Adek siapa sih?" "Rumahnya di mana, ya?" "Nama ibunya siapa?" dan seterusnya. Seiring usia bertambah, orangtua juga memasukkan nilai-nilai mana yang boleh dan tidak, baik dan buruk pada si anak. Selain itu, bantu anak untuk menggali apa yang jadi kesukaan, keinginan dan harapannya, "Oh, Adek sukanya mobil-mobilan Batman ini ya." Kenalkan juga sikap dan perilaku seperti apa yang diharapkan dari anak, "Sayang, kalau bicara tak perlu sampai berteriak-teriak seperti itu. Adek kan, bisa bicara baik-baik." Lakukan lewat contoh konkret dalam kehidupan sehari-hari. Semakin lama anak akan mengenal dirinya dengan lebih baik.

2. KENAL EMOSI

Pengenalan aneka emosi seharusnya sudah lebih baik lagi di usia prasekolah. Anak yang mengenal emosinya dengan baik akan belajar mengatur dan mengendalikan emosinya sehingga bisa bersikap dan berperilaku sesuai tuntutan lingkungan. Contoh, saat marah, si kecil bisa mengendalikan amarahnya dengan tidak memukul atau mengamuk, melainkan dengan mengungkapkannya baik-baik secara verbal. Bisa juga anak memberikan isyarat pada lingkungannya, semisal, "Jangan berisik dong, aku sedang pusing. Nanti aku bisa marah nih." Anak yang tak bisa mengendalikan emosinya dapat mengalami hambatan dalam menjalin hubungan sosial dengan orang lain. Ia bisa dijauhi teman-temannya lantaran sikapnya yang tidak disukai, selain juga bisa timbul konflik dalam berinteraksi.

STIMULASI:

Kenalkan anak pada beragam emosi yang ada dan dialaminya serta bahasa tubuh dirinya maupun orang lain. Ketika anak tampak senang, misalnya kenalkan emosi tersebut, “Wah, rupanya Adek lagi senang, ya. Apa sih yang membuat Adek senang sekali?” Atau, “Kok, wajahmu cemberut sih, lagi kesal, ya?” Bantu anak untuk mengungkapkan apa emosi yang dirasakannya. Bisa saja anak mengatakan, “Aku kesal karena robotku diambil Todi.”Ajarkan pula bagaimana anak mengungkapkan ekspresi emosinya dan harus bersikap. “Adek boleh marah sama Todi karena Todi telah mengambil robot Adek, tapi Adek tidak memukul ya. Bilang baik-baik sama Todi untuk mengembalikan robot Adek.”

3. EMPATI

Anak harus memiliki keterampilan untuk mengerti dan merasakan emosi orang lain serta mampu untuk merasakan dan membayangkan dirinya berada di posisi orang tersebut. Keterampilan sosial ini diperlukan dalam melakukan hubungan sosial untuk menumbuhkan rasa saling menghargai, menghindari dari kesalahpahaman, juga melatih kepedulian dan kepekaan sosial anak.

STIMULASI:

Caranya sama seperti dalam mengenalkan emosi pada anak. Orangtua pun perlu mencontohkan pada anak dalam kehidupan sehari-hari. Umpama, ketika anak sedang sedih, orangtua turut berempati dengan mengajaknya bicara, “Kenapa Adek bersedih seperti itu?” Mungkin anak menjawab, “Habis, kelinciku satu-satunya mati.” Orangtua menunjukkan empati dengan memahami perasaan anak. “Bunny, memang tidak ada lagi. Mama paham kamu sedih.” Contoh lain, ketika melihat si kecil kelelahan, orangtua bisa mengatakan, ”Aduh, capek sekali ya Adek tadi jalan di kebun binatang?”Di usia ini anak masih dalam tahap peniruan, sehingga semakin sering anak belajar dari contoh yang ada, keterampilan diri berempati semakin terasah. Mungkin akan tampak dari hal-hal sederhana, semisal ketika dia melihat ibunya capek sepulang kerja, mungkin dia akan bertanya, “Mama, capek, ya? Sini aku bantu pijitin.” Atau, ketika sedang bermain ada temannya yang diam saja atau menangis, si kecil akan peduli, “Kamu kenapa menangis?”

4. SIMPATI

Keterampilan untuk mengerti perasaan dan emosi orang lain ini, biasanya dipengaruhi oleh emosi iba atau belas kasihan dan ada suatu tindakan yang ingin dilakukan. Berbeda pada orang dewasa, semisal kalau ada teman yang dimarahi bos maka teman lainnya bersimpati dengan membelanya, maka pada anak ketika ada temannya diganggu oleh teman lainnya, dia menunjukkan simpatinya dengan memberitahukan hal itu kepada gurunya. Jadi, dengan memiliki simpati, anak dapat menghayati perasaan orang lain, memiliki kepekaan sosial yang tinggi, tak bersikap semena-mena pada orang lain, memunculkan sikap pemurah. Semua nilai ini amat dibutuhkan dalam menjalin hubungan sosial dengan orang lain.

STIMULASI:

Caranya dengan paparan (pengalaman secara langsung). Ketika sedang jalan-jalan dan bertemu anak jalanan di perempatan lampu merah, orangtua menjelaskan pada anaknya, “Itu lihat, Dek. Kasihan ya. Bajunya sudah jelek, dia cari uang untuk bisa makan. Coba, Adek kasih nih uang recehan lima ratus.” Atau lewat pemberitaan di media mengenai orang kelaparan dan orang yang tak beruntung lainnya.

5. BERBAGI

Keterampilan sosial ini diperlukan anak untuk memperoleh persetujuan sosial dengan membagi apa yang jadi miliknya. Anak dituntut untuk merasakan kebersamaan dengan berbagi kepunyaannya. Keterampilan sosial ini mengajarkan pada anak untuk tidak mementingkan dirinya sendiri, bisa menghargai milik dirinya maupun orang lain, juga menimbulkan sifat pemurah.

STIMULASI:

Caranya, ajarkan berbagi secara konkret dalam kehidupan sehari-hari. Contoh, ketika anak berebut kue dengan adiknya, ajarkan bagaimana anak harus berbagi dengan saudaranya. Ketika anak bermain bersama temannya dan terjadi rebutan mainan, ajari anak untuk berbagi mainan dengan cara bergiliran memainkannya.

6. NEGOSIASI

Di usia ini anak masih negativistik sehingga perlu diajarkan keterampilan bernegosiasi agar ia bisa mengungkapkan pendapat dan keinginannya dengan cara yang diterima, serta membantu anak menyelesaikan masalah yang dihadapi, dan bagaimana anak bersikap dalam menghadapi berbagai situasi sosial yang ada dan mungkin tak menyenangkan. Selain juga dapat menghindari timbulnya konflik. Biasanya sekitar usia 5 tahunan anak sudah percaya diri untuk melakukan negosiasi.

STIMULASI:

Caranya, jalinlah komunikasi yang baik dengan anak dalam kehidupan sehari-hari, serta contoh konkret yang dilakukan. Ajari anak untuk selalu mengungkapkan perasaan, keinginan, maupun pendapatnya. Orangtua hendaknya menjadi pendengar yang baik, mau mendengarkan apa yang diungkapkan anak. Misal, orangtua ingin anak merapikan mainannya tapi si anak tak juga melakukannya. Nah, tanyakan pada anak alasannya, lalu beri penjelasan, dan bantu anak membereskan mainannya secara bersama-sama. Begitu pun dalam situasi sosial di sekolah. Umpama, anak diejek oleh temannya. Nah, ajari anak untuk tidak lari menghindar dengan menangis, tetapi ungkapkan rasa tidak suka yang diterima dari perlakuan temannya dan utarakan apa yang dia harapkan dari temannya.

7. MENOLONG

Keterampilan sosial ini terkait dengan keterampilan sosial lain seperti simpati dan empati. Menolong menumbuhkan kesadaran diri pada anak untuk membantu orang lain, dapat mengembangkan sikap kepedulian sosial anak sehingga anak pun bisa diterima dalam lingkungan kelompok pertemanan maupun lingkungan sosial lain yang lebih luas.

STIMULASI:

Lakukan dengan contoh konkret dalam kehidupan sehari-hari. Tentunya bagi anak usia ini diberikan tugas yang sesuai usianya. Contoh, orangtua mengajari anak membantu adiknya yang terjatuh untuk kembali berdiri, menolong ibu dengan membantu membereskan mainannya setiap usai bermain, dan sebagainya.

8. KERJA SAMA

Di usia ini anak sudah bermain secara berkelompok dan bersama-sama. Keterampilan bekerja sama dibutuhkan untuk anak belajar saling menghargai dan menghormati, tidak mementingkan diri sendiri, merasakan kebersamaan dengan lingkungan sosialnya.

STIMULASI:

Dapat dilakukan di rumah maupun saat anak bermain dengan teman-temannya. Anak diajarkan untuk bersikap kooperatif dalam menyelesaikan suatu tugas, semisal mewarnai gambar bersama.

9. BERSAING

Keterampilan untuk mengungguli dan mengalahkan anak lain ini, akan membantu anak untuk mengetahui kelemahan maupun kelebihan dirinya, bersikap fleksibel dalam menghadapi tantangan, kemenangan maupun kekalahan yang akan ditemui nantinya dalam kehidupan sosial.

STIMULASI:

Lakukan sambil bermain. Umpama, bermain sepeda sambil dilombakan dengan teman-temannya untuk mengukur mana yang jadi kekuatan maupun kelemahan anak. Bisa juga lewat permainan benteng dimana ada yang menang dan kalah. Ajarkan pula bagaimana anak menerima kekalahan maupun kemenangan, dengan relaks. "Adek memang kalah dalam main sepeda dengan Todi, tapi Adek hebat dalam berlari. Kalau Adek giat berlatih sepeda, Adek juga nanti bisa hebat seperti Todi."(tabloid-nakita)

0 komentar: