JANGAN BIARKAN ANAK DIBELENGGU PANIK

Panik adalah reaksi alami, sehingga wajar bila anak mengalaminya. Dianggap tidak wajar bila kepanikan sudah memunculkan perilaku negatif.

Bagaimana kalau si prasekolah panik? Entah dia berteriak, lari menjauh, atau mempererat pegangan tangan ke tubuh orang tuanya. Rasa panik biasanya diawali dengan rasa takut. Nah, bila anak tidak bisa menguasai rasa takutnya maka akan timbul rasa panik. Takut dan panik sebetulnya merupakan sifat alami yang dimiliki setiap orang. Reaksi ini berguna untuk kelangsungan hidup. "Bila kita tidak punya rasa takut, apa pun akan kita hadapi meskipun mengancam jiwa kita atau tidak ada yang menahan," ungkap Mira D. Amir, Psi.

Jadi wajar bila suatu saat anak mengalami panik. Di usia ini, kan, anak sedang mempelajari lingkungan sekitarnya. Banyak hal yang belum dilihatnya sehingga dia perlu mereka-reka situasi dan kondisi yang ada. Ketika menemukan hal yang asing, sangat mungkin anak akan merasa panik. Apalagi, kemampuan kognitifnya masih terbatas sehingga terkadang sulit baginya untuk bisa langsung memahami situasi lingkungannya atau apa yang baru dilihatnya. Keterbatasannya inilah yang membuat rasa takut dan panik lebih kuat muncul ke permukaan.

Namun, tidak selamanya panik menjadi hal yang wajar dialami anak. Bila dalam kepanikannya ia menunjukkan sifat-sifat negatif, seperti perilaku tantrum, berarti ini sudah tak wajar. "Orang tua harus segera mengatasinya agar pertumbuhan emosi dan kepribadian anak tidak terganggu," ujar Mira. Panik yang berlebihan selain akan mengganggu kemampuan sosialisasinya juga mengganggu pertumbuhan emosi dan perkembangan kepribadiannya.

Ketika sedang bermain bersama teman misalnya, anak tidak mungkin bisa mengembangkan kemampuan sosialisasinya dengan baik jika perasaannya selalu dihantui rasa panik. Panik bila tiba-tiba ada teman yang merebut mainannya, panik karena ketakutan disuruh segera pulang, panik karena pernah dipukul oleh temannya, dan sebagainya. Bila demikian yang terjadi, kemampuan bersosialisasinya yang sudah harus berjalan lancar jadi sulit berkembang atau tidak bisa tumbuh sama sekali. Akhirnya, anak malah menghindari aktivitas bermain bersama teman-temannya.

Selain itu, panik yang terlalu menguasai diri anak akan membuatnya tidak bisa berpikir jernih terhadap apa yang sedang dialaminya. Imbasnya, perilaku tantrum menjadi sarana untuk mengungkapkan kepanikan. Padahal seharusnya, di usia ini anak sudah mulai belajar mengendalikan emosinya dan bukan malah memperburuk perilakunya. Jika tidak terkendali, pertumbuhan emosi dan kepribadiannya menjadi tidak optimal.

KIAT MENGATASI
Umumnya, dengan bertambahnya usia maka respons berpikir anak terhadap apa yang dialaminya akan semakin berkembang. Ketika sebelumnya ia mudah takut dan panik ketika bertemu badut, perlahan ketakutan dan kepanikannya akan menghilang. Hal ini dipengaruhi oleh pola pikir yang semakin terasah dengan lingkup sosialisasi yang semakin meluas. Bila dulu hanya sesekali bertemu badut, kini tidak hanya badut yang sering ditemuinya, mungkin saja ondel-ondel, patung beruang, atau lainnya. "Kenapa harus takut dengan badut, dia kan cuma boneka besar yang tidak akan menjahatiku," misalnya. Atau bila sebelumnya anak sering merasa takut dan panik saat bermain dengan temannya yang agresif, kini dia mulai menyesuaikan diri.

Namun, Mira menyarankan agar sekecil apapun kepanikan itu, sebaiknya kita membantu anak untuk meredakannya. Kepanikan kecil bila terus-menerus terjadi dan didiamkan bukan mustahil akan menumpuk. Bukan mustahil pula anak tumbuh menjadi pribadi yang mudah panik.

Penanganan sederhana bisa dilakukan orang tua di rumah. Misalnya dengan cara memberikan penjelasan mengenai sumber ketakutannya. "Itu, kan, cuma badut, dia itu baik dan lucu kamu tidak perlu takut!" misalnya demikian. Jangan malah meresposnnya secara keliru. Misalnya malah memojokkan, "Kok, sama badut saja takut, dasar penakut!" Kata-kata seperti ini tidak membuat anak keluar dari kepanikannya.

Berikut kiat dari Mira untuk mencegah maupun mengatasi anak yang sedang mengalami panik.

1. Pola Asuh

Pendidikan dalam keluarga adalah hal yang sangat penting untuk mendukung perkembangan kepribadian anak. Sebaiknya kita menghindari pola-pola asuh yang salah. Misalnya, ketika memintanya untuk tidak nakal kita menggunakan ancaman, "Awas, ya, kalau kamu nakal nanti didatangi badut, dia akan mencubitmu dengan keras!" misalnya." Pola pendidikan atau pola asuh seperti ini akan memicu munculnya ketakutan pada anak. Sebaiknya, gunakan pola yang membuat anak terpacu untuk tidak nakal, misalnya dengan memberikan alasan logis, "Kalau nakal nanti kamu tidak disukai temanmu, mereka akan menjauhi kamu. Mau kamu main sendirian?"

2. Ciptakan Situasi Nyaman

Rasa aman dan nyaman merupakan suasana yang kondusif untuk perkembangan kepribadian anak. Janganlah sesekali membuat anak merasa terancam dan ketakutan. Misalnya, ketika harus pergi tidur, anak selalu dibujuk dengan menakut-nakutinya. "Lihat, di luar sudah gelap, kalau kamu tidak tidur nanti ada hantu!" misalnya. Kata-kata seperti ini akan membuat anak merasa takut bahkan panik bila malam tiba. "Jangan-jangan hantu bakal muncul dari dalam gelap!" mungkin seperti ini kepanikannya.

3. Persiapkan Terhadap Hal Baru
Setiap hari, mungkin anak akan menghadapi hal baru. Entah yang menyenangkan atau malah menakutkan. Mempersiapkannya untuk menghadapi hal yang mungkin menakutkan dan membuat panik terkadang perlu dilakukan. "Nanti di Ancol ada badut, kamu tidak perlu takut karena badutnya baik dan lucu!" Misalnya. Atau ketika sedang menyaksikan televisi yang ada badutnya, "Lihat, itu namanya badut, lucu, ya!"

4. Temani Anak Menghadapi Situasi Baru

Jangan membiarkan anak menghadapi kepanikannya sendiri karena dia butuh sandaran untuk berlindung. Berusahalah untuk berada di sisinya dengan menyediakan tubuh kita untuk tempatnya berlindung. Elusan, belaian, dekapan, bisa membuat anak merasa tenang. Jangan malah membiarkannya menangis sendirian karena akan membuatnya bertambah panik.

5. Orang Tua Jangan Ikut Panik

Terkadang sifat tantrum anak karena panik sangat merepotkan orang tua. Menghadapi situasi seperti ini kita jangan malah panik. Kepanikan orang tua akan menambah kepanikan anak.

6. Pisahkan dari Sumber Kepanikan

Bila anak tidak bisa ditenangkan sebaiknya jauhkan dia dari hal yang membuatnya panik. Saat panik karena melihat badut misalnya, maka jauhkan anak dari badut tersebut agar kepanikannya segera hilang.

7. Biarkan Anak Mengeluarkan Emosinya

Karena panik biasanya ada perasaan yang ingin dilampiaskan anak. Entah ingin menangis, berteriak, atau mengepalkan tangannya. Biarkan perilaku anak terekspresikan agar dia bisa melepas luapan emosinya. Jangan malah membentak atau memarahi anak untuk diam. Apalagi ditambah dengan kata-kata yang memojokkannya.

PENYEBAB MUNCULNYA PANIK

Munculnya kepanikan pada anak, menurut Mira, sangat beragam. Bisa karena lingkungan, pola asuh, atau bahkan karena sikap dasar anak yang mudah panik. Inilah beberapa di antaranya:

* Meniru Kepanikan Orang Tua

Di usia balita, anak masih sangat mudah meniru apa yang dilihat dari lingkungannya, termasuk perilaku panik yang sering diperlihatkan orang tuanya. "Bila orang tua mudah panik maka kemungkinan anaknya akan mudah sekali panik," ungkap Mira. Disadari atau tidak, orang tua sering berperilaku panik di depan anaknya. Contohnya, ketika sang ayah pulang dari kantor kemudian dengan panik si ibu berkata, "Ayo cepat pakai bajumu Ayah sudah pulang, nanti kalau bertemu ayah kamu, kan, sudah rapi!" Bila kalimat ini sering didengar anak maka lambat laun akan membentuk pribadi anak yang mudah panik.

* Perilaku Tergesa Orang Tua

Kepanikan anak pun bisa timbul karena kebiasaan orang tua yang sering berlaku tergesa-gesa, berkata terlalu cepat, sehingga terkesan cerewet. Anak yang hidup di lingkungan seperti ini bisa saja membentuk kepribadian yang mudah panik karena sering menghadapi perilaku orang tuanya yang cerewet. Ketika sedang bermain misalnya, anak mungkin akan selalu dihantui oleh kecerewetan ibunya. "Wah, jangan-jangan ibu datang dan memintaku untuk segera tidur, nih!" misalnya. Kepanikan yang semula hanya terjadi saat menghadapi ibunya mungkin saja lalu meluas ke orang lain. Ketika sedang bermain di tetangga misalnya, anak sering merasa tidak nyaman, "Wah, jangan-jangan Tante Mirna seperti ibu, cerewet. Kalau aku dimarahi gimana, nih?" misalnya.

* Karakter Bawaan

Pada anak tertentu, sifat panik muncul karena memang sudah dari sananya. Sejak lahir kepribadian anak sangat sensitif terhadap kejadian di lingkungannya. Ada anak yang mudah panik ketika menghadapi sesuatu, bertemu badut misalnya. Biasanya, kepanikan yang menjadi sifat bawaan ini dipengaruhi oleh situasi saat ibu sedang mengandungnya. Mungkin karena pengalaman buruk yang dialami ibu dan membuat panik, sehingga berimbas pada anaknya.

* Terbiasa Ditakut-takuti

Kebiasaan menakut-nakuti pun akan menciptakan rasa panik pada anak. Misalnya, ketika malam hari anak tidak mau tidur kemudian kita sering menakut-nakutinya, "Awas, kalau kamu tidak mau tidur nanti datang makhluk buas dari ruangan yang gelap itu!" Kalimat demikian akan membuat anak menciptakan halusinasinya sendiri. Nantinya, ketika dia melihat ruangan gelap, suasana gelap, atau kegelapan lainnya akan muncul kepanikan.

* Trauma

Trauma bisa sangat mempengaruhi kepribadian anak selanjutnya karena bayangan trauma akan membekas kuat di dalam diri si anak. Misalnya, anak mengalami kejadian yang sangat tidak diduga sebelumnya. Ketika dia sedang bermain di halaman rumah misalnya, kemudian muncul orang gila tepat di depannya. Dengan wajah coreng-moreng, pakaian carut-marut, serta dengan racauan yang tidak karuan, mungkin akan membuat anak merasa sangat ketakutan. Nah, bila hal ini membuatnya trauma, mungkin di lain waktu jika melihat orang gila lain, kepanikannya akan mudah muncul. Biasanya, kepanikan akibat trauma sulit segera dihilangkan. "Mungkin saja di usia 7-8 tahun kepanikannya terhadap orang gila masih tetap membekas," jelas Mira.

* Sesuatu Yang Asing
Kepanikan bisa timbul karena sesuatu yang asing. Entah badut yang belum pernah dilihat sebelumnya, suara petir yang menggelegar, patung model, atau hal lain. Ketika mendengar suara petir yang menggelegar misalnya, sebenarnya anak berusaha untuk mencerna dan mencari tahu asal suara tersebut. Namun,karena terasa begitu asing dan mengagetkan, rasa paniklah yang muncul lebih kuat.
(tabloid-nakita)

0 komentar: