Ajar si kecil minta maaf

Tapi jangan dipaksa karena bisa-bisa ia hanya mengucapkannya di bibir saja.

Minta maaf sebetulnya merupakan bagian dari norma yang berkaitan dengan nilai benar dan salah. Bila ditarik lebih ke belakang, minta maaf erat kaitannya dengan moral.

Permintaan maaf sebenarnya bisa digantikan dengan tingkah laku seperti mengelus atau memeluk, tapi menurut Agustina Untari, Psi., permintaan maaf secara verbal tetap dibutuhkan. "Sayangnya, pada budaya kita, minta maaf biasanya lebih banyak dilakukan dengan perilaku saja. Mungkin karena gengsi," ujar Konsultan Pusat Edukasi Prasekolah Putik, Jakarta ini.

Padahal anak perlu tahu, minta maaf bukanlah sesuatu yang memalukan, tapi justru membanggakan karena menunjukkan seseorang bisa berlapang dada mengakui suatu kesalahan. Bukankah ini bagus daripada tahu kalau salah, tapi tidak mau mengaku? Si prasekolah pun perlu tahu, minta maaf harus dilakukan oleh siapapun yang berbuat salah, termasuk jika orang tua melakukan kesalahan pada anak.

Menurut Psikolog yang akrab disapa Ina ini, modeling merupakan cara efektif untuk mengajarkan minta maaf. Ketika orang tua melakukan kesalahan jelaskan hal itu kepada anak secara verbal. Umpamanya, "Maaf, Mama tadi membentak kamu. Soalnya kamu ganggu adik terus, sih. Adik jadi rewel, deh. Mama, kan, jadi enggak bisa kerja." Tunjukkan juga apa yang harus dilakukan untuk mengurangi dampak negatif seperti, "Mama janji enggak akan melakukan lagi, deh!"

Dengan begitu sebenarnya anak sudah belajar akan tahapan konsep maaf. Tahap awal, maaf harus dilakukan setiap kali berbuat kesalahan. Tahap berikutnya, anak perlu memahami bahwa minta maaf bukan hanya sekadar kata-kata di bibir. Bila ia sudah mengucapkan "maaf" berarti ia tidak boleh mengulangi kesalahan yang sama.

BELUM BEREMPATI

Hanya saja, pada prakteknya si prasekolah sering sulit bila harus meminta maaf. Salah satu penyebabnya, menurut Ina, karena mereka belum mahir berempati. Alasannya, anak-anak usia prasekolah masih berada dalam tahapan egosentrisme, dimana setiap masalah akan dilihat berdasarkan sudut pandangnya sendiri.

Bagaimana anak memandang masalah sangat mempengaruhi perkembangan moralnya. Awalnya, anak hanya dapat melihat masalah dari sudut pandangnya sendiri, sehingga pertimbangan moral yang berlaku hanya yang sesuai dengan dirinya. Tahap berikut, barulah dia bisa melihat sesuatu dari sudut pandang orang lain. Untuk melatihnya, ajaklah dia untuk melihat bahwa ada sisi atau sudut pandang lain dalam suatu masalah.

Alhasil, jangan terlalu berang jika si prasekolah sering tak sadar bila telah melakukan kesalahan. Contohnya, ketika ia memukul teman yang merebut mainannya. Menurut si anak, merebut mainan adalah salah, tapi ia belum paham kalau memukul pun sebenarnya merupakan kesalahan. "Ini yang perlu diajarkan, sehingga mereka sadar dan mau saling minta maaf," ujar salah seorang pendiri Kelompok Tunas yang kerap menggunakan tema-tema lingkungan hidup dalam program-program pengembangan anak yang diselenggarakannya.

Jelaskan alasan sederhana setiap kali ada kejadian yang mengharuskannya minta maaf. Di usia prasekolah, anak sudah mulai dapat melihat hubungan sebab akibat yang simpel. Contohnya, "Kan, sakit kalau dipukul. Coba kalau Kakak dipukul, sakit juga, kan? Jadi Kakak harus minta maaf!"

Jika pun ia berkeras tak mau melakukannya, maka tak perlu dipaksa. Hal ini malah akan membuatnya makin segan minta maaf. Saran Ina, tunggu sampai anak tenang. "Emosi anak tak berbeda seperti halnya orang dewasa. Kalau sedang memuncak akan sulit diajak bicara. Apalagi kalau ia merasa tak bersalah, tapi disuruh minta maaf. Bicarakan setelah emosinya mereda atau ketika anak sudah bermain kembali. Toh, lebih baik minta maaf belakangan daripada tidak sama sekali. "Hei, tadi kamu bentak-bentak Mama, kan? Kamu harus minta maaf, dong, karena kamu bikin Mama jadi sedih."

Intinya, cari situasi yang membuat anak mau mendengarkan. Jangan lupa, anak prasekolah mulai mengenal perasaan malu. Hargai perasaannya itu. Bila ia malu dan protes saat dimarahi atau dinasehati di depan umum, tanggapi kata-katanya dengan serius. Lalu, hindari menegur anak di depan orang lain. Carilah tempat yang memungkinkannya untuk minta maaf tanpa kehilangan muka.

BERI OTONOMI

Jika setelah diterangkan anak tak kunjung mengajukan permohonan maaf, maka anak yang "keras kepala" seperti ini harus lebih banyak diberi otonomi dalam memilih dan menyampaikan pikiran. Asal tahu saja, "Keras kepala pada balita sebenarnya hanya merupakan suatu fase. Jadi, belum tentu ia akan keras kepala sampai dewasa. Mereka jadi keras kepala, biasanya karena punya pikiran atau alasan sendiri, yang mungkin saja terasa tidak masuk akal dan tidak dapat diterima orang tua.

Masalahnya, cara anak memandang masalah berbeda dari cara orang dewasa. Hal ini berkaitan dengan taraf perkembangan penalarannya yang masih berada pada tahap awal. "Cobalah memahami dan menghargai sudut pandangnya. Sambil tentunya membantu si prasekolah melihat situasi melalui perspektif yang lebih luas. Misalnya, dengan menunjukkan adanya sudut pandang lain dan juga konsekuensi," anjur Ina.

Caranya, tanyakan alasan mengapa ia tidak mau minta maaf. Apapun yang dikemukakannya, hargailah. Umumnya si prasekolah belum memiliki pemahaman yang cukup mendalam, sehingga alasan yang ia kemukakan sering tidak sesuai dengan standar norma yang berlaku. Contohnya, ia tidak mau minta maaf setelah merebut mainan temannya, karena menurutnya ia tidak memperoleh apa yang diinginkan. "Tadi, kan aku sudah minta pinjam, tapi enggak dikasih. Jadi aku rebut saja."

Dalam situasi dilematik yang melibatkan konflik moral seperti itu, anak perlu dibantu memahami situasinya. Ajukan penalaran sehingga ia sadar bahwa dalam posisi seperti itu ia memang mesti minta maaf. Anak perlu diberitahu apa yang sebenarnya terjadi dan apa yang mesti dilakukan.

Untuk mengarahkannya sesuai harapan orang tua, ajak ia berdiskusi dan ajukan konsekuensi dari beberapa pilihan. "Kalau Kakak enggak mau minta maaf, nanti dia enggak mau temenan lagi. Tapi kalau Kakak minta maaf, dia mungkin mau kasih pinjam mobil-mobilannya yang baru." Karena mulai bisa melihat hubungan sebab akibat yang sederhana, ia juga mulai dapat menentukan pilihan yang sederhana. Ia sudah sadar bahwa ada pilihan yang berakibat kurang mengenakkan.

Sekali lagi Ina menekankan agar orang tua memberi kelonggaran jika saat kejadian si prasekolah tidak mau minta maaf. Berilah waktu. Jangan sampai anak melihat maaf sebagai hal negatif atau menganggapnya sebagai hukuman maupun beban. "Kalau terlalu sering dipaksa minta maaf akhirnya anak punya persepsi bahwa minta maaf itu menyebalkan."

Pemaksaan yang terus menerus, terlebih dengan ancaman, mendorong anak untuk selalu minta maaf semata-mata berdasarkan tuntutan lingkungan alias tidak tulus. "Ini, kan, jelek karena yang dimaksud maaf sebenarnya maaf yang tulus, bukan hanya lip service. Kita juga mau mengajarkan bahwa minta maaf merupakan hal positif yang tidak memalukan dan tidak merusak harga diri. Dengan minta maaf kita bahkan menjadi seorang gentleman."

INGATKAN BERKALI-KALI

Ina pun mengingatkan agar orang tua tidak heran jika anak masih saja melakukan kesalahan yang sama walau sudah mengajukan maaf. Rupanya ini berkaitan dengan memori si prasekolah yang belum berkembang. Rentang memorinya belum sepanjang rentang memori orang dewasa. Kejadian yang buat orang dewasa masih lekat dalam ingatan, baginya mungkin terasa sudah lampau, sehingga sudah tidak masuk lagi dalam memorinya.

Selain itu, tahap perkembangan penalarannya pun masih belum cukup matang. Si prasekolah belum dapat memahami sepenuhnya apa yang baik dan buruk pada masing-masing situasi, sehingga masih belum dapat secara spontan diharapkan berperilaku baik. "Memang benar kalau ada yang bilang anak perlu diomongin hingga 1000 kali, karena ia memang harus selalu diingatkan terus menerus tentang apa yang salah dan benar. Itu sudah menjadi tugas orang tua," tandas Ina.

Oleh karena itulah, bila anak sudah minta maaf, hukuman tak diperlukan lagi karena tidak akan adil buatnya. Perkara ia sudah melakukankan kesalahan sama berkali-kali, tidak mengapa. "Hukuman sebaiknya diterapkan seminim mungkin. Hukuman yang terlalu sering malah tidak efektif."

Yang perlu disadari orang tua, hukuman berbeda dari konsekuensi. Contohnya, ketika anak menjatuhkan stoples berisi kue, selain minta maaf ia pun harus membereskan ceceran kue yang ada di lantai. Itulah konsekuensi, bukan hukuman. Dengan begitu ia tahu jika melakukan kesalahan maka akan muncul konsekuensi yang harus dihadapi. Itulah pertanggungjawaban dari apa yang sudah dilakukannya, baik sengaja maupun tidak.

MENGOBRAL MAAF

Bagaimana jika si prasekolah malah mengobral kata maaf? Menurut Ina, bisa jadi hal itu merupakan peniruan dari orang tua atau salah satu anggota keluarga. Anak, kan, sering mendengar kata maaf diucapkan dalam situasi yang beragam. Misalnya, tersenggol sedikit bilang maaf. Jalan di depan seseorang juga mengatakan maaf. Apalagi, ia belum bisa menangkap poin kapan saat tepat untuk minta maaf.

Oleh sebab itu, anak perlu diberitahu cara membedakan maaf yang artinya permisi dan maaf yang artinya menyesali kesalahan. "Orang tua pun perlu mengajarkan, minta maaf harus disertai alasan karena orang yang terlalu sering minta maaf pun akan membuat risih," simpul Ina.

Namun, penjelasan mengenai perlunya alasan minta maaf ini menurutnya baru bisa dilakukan pada tahap usia selanjutnya. Pada balita, cukup bantulah membuka penalarannya agar ia mengerti bahwa orang lain pun memiliki sudut pandang sendiri yang perlu diselaminya supaya ia bisa lebih mengerti situasi.
(tabloid-nakita)

0 komentar: