Sumber: ibu ibu DI
Sejalan dengan perkembangan fisik, pada seorang anak juga mengalami perkembangan kognisi (kemampuan berpikir). Bisa jadi anaknya masih dalam tahapan berpikir konkrit praktis dimana segala informasi/data2 yang masuk haruslah data2 yang konkrit, nyata dan bisa diterima oleh panca indranya. jadi kalau diminta untuk hafal buta berdasarkan kalimat2 dari buku, kalimat2/informasi yang bersifat abstrak (anaknya belum bisa memiliki kemampuan membayangkan), tentunya menjadi sulit). Kalau saya boleh usul, ketika belajar (belajar apa saja), tolong bantu dia dengan mempersiapkan alat peraga, jadi si anak punya bukti/data otentik tentang hal2 yang harus dikuasainya dan tentunya informasi yang diperoleh dengan banyak bantuan dari alat2 peraga, tentunya akan lebih mudah diingat oleh si anak.
Misalnya belajar tentang klorophyl (tujuannya mau menjelaskan zat hijau daun), ambil saja daun2 yang berwarna hijau dan yang tidak punya warna hijau untuk kasih tahu bahwa daun yang berwarna hijau itu punya kloropyhl sedangkan yang kuning2 (misalnya), tidak punya kloropyhl. Kalau boleh tahu belajar IPAnya tentang apa misalnya? mungkin saya bisa bantu.
Ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam mengajarkan anak:
1. pengalamanku mengajarkan anak memang tidak cukup dengan mengandalkan buku2 dari sekolah, biasanya saya belikan buku tambahan untuk membantu saya mengajarkan si anak, buku2 tentang hewan atau tanaman2, dll.
2. perbedaan jenis kelamin, ada sedikit pengaruh terhadap kemampuan menghafal, biasanya, anak laki2 kurang suka terhadap materi2 yang menghafal dibandingkan anak2 perempuan, mereka lebih senang matematika, ilmu bumi, dll.
3. perkembangan kognisi anak, anak2 pada tahapan awal usia sekolah, masih memerlukan bantuan untuk mencerna informasi yang masuk; dalam artian, semakin konkrit informasi itu, maka semakin mudah dimengerti. misalnya: materi belajar anak usia praskolah adalah beda dengan usia sekolah, usia prasekolah, materinya penuh dengan warna dan besar2 penyajiannya, materi dalam bentuk gambar2 yang menarik dan soalnya sedikit2, sedangkan usia sekolah, materi sudah mulai disajikan dalam bentuk kalimat atau bahasa, mulai berkurang gambar2nya dan warna2nya juga tidak sebanyak usia praskolah.
Sebetulnya, usia sekolah itu sudah mulai memasuki tahapan perkembangan kognisi yang disebut sebagai abstrak conceptual yang ditandai bahwa anak mulai bisa membayangkan sesuatu, misalnya ketika bicara tentang alam semesta, dll.
Boleh tahu usia putra/putrinya ? Usia 3-7 th itu masuk ke dalam tahapan konkrit operasional, segala2 informasi harus konrit, real dan jelas, contoh: belajar tentang warna, bentuk (bulat, segitiga, kotak, dll), disajikan dengan contoh/alat peraga dan eye catching. Mulai usia 8th ke atas itu sudah masuk ke dalam tahapan perkembangan abstrak conceptual, misalnya soal2 dalam bentuk bahasa meskipun sebetulnya kalau disederhanakan bisa saja hanya perkalian 3x4 tapi sudah diperkenalkan dengan konsep bahasa, dll.
Berdasarkan pengalaman saya membuat materi pelajaran untuk anak2 SD, sebetulnya tingkat kesulitan dari setiap tingkatan kelas itu (materi kelas 1 VS materi kelas 2, dst.) masih dalam rentang tahapan perkembangan kognisi abstrak conceptual, hanya saja, quantity materinya yang ditambah, jadi pengertiannya, materi hafalan di kelas 2 juga ada dan kalau bisa naik ke kelas 3, coba ditelusuri lagi. bagaimana dulu metode pembelajaran menghafal putra/putri di kelas 2, apakah dengan proses drilling/dengan banyak2 contoh2 atau ada alat peraga.
Yang critical itu sebetulnya adalah pada bagaimana memilih metode pembelajaran yang paling tepat untuk anak, memang nantinya jadi si ibu yang harus kreatip untuk cari2 cara buat anak belajar dengan enak. Dulu sih ada metode yang namanya jembatan keledai seperti contoh untuk belajar not:
do - sado
re - sore
mi - mie bakso
fa - tifa, dst
kalau saya lihat, kasusnya putra/putri ibu lebih kepada bagaimana menimbulkan minat untuk menghafal bukan tidak bisa menghafal. Cara menimbulkan minat bisa dengan banyak hal:
1. ajak langsung berhubungan dengan materi pembelajarannya, misalnya: ajak jalan2
2. dengan bercerita (ibu menceritakan dan akhirnya ibunya jadi lebih pintar)
3. kalau pergi jalan2 sekeluarga, sekalian kasih tahu hal2 baru yang dilihatnya jadi, sambil jalan2 juga bisa belajar sekalian, belajar informal.
4. cari materi tambahan di toko buku, dengan gambar2 yang lebih 'eye catching'
Kalau boleh usul, jangan tekankan pada angka tetapi concern dengan pada bagaimana anak mengerti/memahami materi tersebut. Angka itu kadang2 bisa mengelabui kita, tapi pemahaman anak adalah mutlak, kemanapun dia pergi kalau dia memiliki pemahaman yang benar (red: anak mengerti dengan baik) pasti akan aman untuk dirinya sendiri dan orang tuanya. Tugas kita sebagai orang tualah yang membantu anak2 untuk memiliki pemahaman yang benar, dan tugas ini kritikal bu ! [Rm]
Waduh, anak kelas 3 sudah disuruh menghafal segitu banyaknya? Tidak heran kalau anakmu jadi putus asa begitu. Anakku juga sudah kelas 3 tapi karena dia autis aku memang sengaja cari sekolah yang tidak mengikuti kurikulum diknas, jadi pelajarannya tidak 'aneh-aneh'. Tapi apa iya, anak kelas 3 sudah harus dijejali hapalan yang seabrek-abrek seperti itu ? Kalau IPA okelah, tapi PLKJ atau apalah itu gunanya buat apa?
Karena sepertinya mau tidak mau anakmu harus tetap menghafal, untuk PLKJ lebih baik waktu weekend kamu ajak keliling/wisata langsung ke tempat yang harus dihafalkan anakmu. Kalau IPA juga bantu saja dengan memberi tahu langsung /memperlihatkan seperti apa sih stek, tunas, dll, jadi dia bisa kebayang bentuknya, baru sambil menghafal bahasa latinnya. Aku yakin kalau si anak melihat wujudnya akan lebih menarik dan memudahkan dia untuk mengingatnya. Sebenarnya sih itu tugas gurunya, tapi kalau di sekolah guru tidak bisa melakukannya ya sudah, demi anak sendiri terpaksa kamu yang harus bantu mengajarkan. Mudah-mudahan membantu ya. [Dm]
Kalau keponakanku dulu (anakku belum pada sekolah) diajak cerita sama ibunya, memang kebetulan kakakku rajin jadi dia baca dulu pelajaran sekolah anaknya trus dia cerita dengan penuh gaya sambil main-main tentunya, bisa sambil menggambar (yang digambar juga sesuai dengan yang diterangkan), atau sambil bermain peran, dsb, tapi herannya begitu besoknya ditanya -tanya sianak bisa jawab. Benar-benar tidak habis pikir aku, buat apa disuruh menghafalkan isinya museum? Kasian sekali anak-anak otaknya dijejalkan hal-hal yang tidak penting-penting amat. Kalau aku ditanya isinya apa saja, aku jawab kursi, meja, dll. Tapi benar buat anak-anak sebaiknya sistem mengajarnya adalah langsung melihat atau juga praktek, aku sudah merasakan manfaatnya di anak-anakku ketimbang cuma disuruh menghayal habis-habisan tanpa pernah melihat bentuknya. [En]
0 komentar:
Posting Komentar