ANAK SELALU MENGALAH, PUPUK DONG RASA PERCAYA DIRINYA

Mengalah sesungguhnya sikap terpuji, tetapi kalau si kecil selalu mengalah berarti ada yang perlu dibenahi.

"Duh, kenapa ya Riri selalu mengalah? Waktu antre main ayunan kemarin, dia selalu saja mendahulukan teman-temannya. Akibatnya ya dia enggak kebagian main. Heran, kok dia enggak berani minta gilirannya." Keluhan serupa diutarakan Ranti, "Sama Bu. Anak saya kalau mainannya diminta langsung diberikan. Bahkan kalau temannya memukul, dia diam saja. Tidak membalas."
Dari kacamata psikososial, menurut Rahmi Dahnan, Psi., sebenarnya anak usia prasekolah sedang belajar mengembangkan kemampuan beradaptasi dan bersosialisasi dengan lingkungannya. Hal yang wajar jika anak merasa malu atau ragu-ragu menjalin pertemanan di lingkungan baru, katakanlah saat pertama masuk Taman Kanak-kanak (TK). Namun, kalau ternyata si kecil keterusan mengalah, tentu ada faktor lain yang menyebabkannya bersikap seperti itu. "Umumnya anak usia ini masih tergolong egois. Kalau ia selalu mengalah tentu ada sesuatu yang terjadi pada dirinya," papar psikolog dari Yayasan Kita dan Buah Hati ini.

Padahal kebanyakan orang akan menilai si pengalah sebagai anak yang baik dan penurut. Memang ada sisi positif dari anak yang sering mengalah. Umpamanya, ia memang seorang yang suka menolong dan memperhatikan kebutuhan orang lain.

Sikap mengalah juga menandakan anak sudah belajar mengontrol emosinya. Anak yang bisa menahan diri untuk tidak berkonflik dengan temannya berarti memiliki kematangan emosi. Selanjutnya kemampuan berpikirnya akan matang pula. Sayangnya, anak dengan sikap yang selalu mengalah ini mudah sekali dimanfaatkan orang lain.

BERAGAM PENYEBAB

Sikap mengalah, lanjut Rahmi, dilatarbelakangi oleh beberapa faktor, di antaranya:

* Kurang pengalaman bersosialisasi

Anak menjadi sosok pengalah karena kurang mendapat pengalaman bersosialisasi; kurang banyak bergaul di lingkungan luar rumah, tak memiliki teman sepermainan atau teman sebaya. Sehari-harinya hanya bergaul dengan orang-orang di rumah. Jadi, ketika dia dihadapkan harus bertemu dengan banyak orang, si prasekolah menjadi canggung karena tak terbiasa. Akhirnya ia memilih lebih banyak mengalah karena membutuhkan lebih banyak waktu untuk beradaptasi dengan lingkungan barunya.

* Takut dijauhi teman

Ada juga anak yang memilih bersikap mengalah karena takut dijauhi, dimusuhi, atau tak dijadikan teman lagi. Anggapannya, dengan mendahulukan kebutuhan teman maka pertemanannya akan terus terjalin. Ujung-ujungnya si prasekolah malah tak memiliki kesempatan bereksplorasi yang sama seperti yang dilakukan teman-temannya.

* Pola asuh otoriter

Sikap selalu mengalah juga bisa terjadi pada anak karena pola asuh orang tua yang kurang tepat. Umpamanya orang tua cenderung selalu keras atau otoriter; selalu melarang dan memarahi jika anak berbuat salah dan tak memberikan kesempatan yang luas pada anak untuk bereskplorasi. Alhasil, anak bisa tumbuh menjadi sosok yang penuh dengan ketakutan dan ragu-ragu untuk memulai sesuatu. Anak juga bisa lebih memilih mengalah ketika temannya berbuat jahat seperti memukul atau menendang. Dia tak mau melawan atau membalas perilaku buruk temannya tersebut.

BERDAMPAK BURUK

Jika keterusan, sikap mengalah ini akan mengakibatkan dampak buruk di kemudian hari, yaitu:

1. Mudah dimanfaatkan teman

Si pengalah akan mudah dimanfaatkan temannya untuk hal-hal yang tidak baik. Ditambah lagi sering dijadikan sasaran kejahilan, selalu diperintah atau disuruh-suruh teman.

2. Kurang kesempatan bereksplorasi

Karena lebih mendahulukan temannya, si prasekolah lebih banyak berdiam diri. Dia hanya menjadi penonton yang memperhatikan keceriaan teman-temannya bermain. Otomatis, kesempatan bereksplorasinya jadi lebih sedikit.

3. Tak mampu berinisiatif
Ketika dihadapkan pada permasalahan dia tak berani bersikap, tak bisa berinisiatif, dan tidak bisa mencari solusi permasalahannya. Dia hanya menurut apa yang diperintahkan orang tua atau temannya. Dia juga tak bisa mengeluarkan pendapat sendiri.

4. Kurang percaya diri

Karena tak banyak berperan dan selalu mendahulukan orang lain, maka anak menjadi kurang percaya diri. Dia tak berani menunjukkan dirinya. Lebih memilih menyendiri, menghindari pergaulan dan akhirnya menjadi sosok yang minder.

PERAN ORANG TUA

Sudah semestinya orang tua peka jika mendapati anak yang selalu bersikap mengalah. Orang tua perlu melakukan langkah-langkah seperti berikut:

* Introspeksi diri

Jika orang tua melihat buah hatinya selalu mengalah, maka harus segera berintrospeksi. Jangan-jangan pola asuh yang diterapkan selama ini kurang tepat; sering marah-marah, terlalu galak, selalu mendikte sehingga membuat anak tumbuh menjadi pencemas, penakut, selalu khawatir, dan ragu-ragu bertindak. Sikap orang tua yang demikian juga secara langsung menghambat kesempatan anak untuk berekspresi, bereksplorasi, dan berinisiatif.

Kalau memang demikian, mau tak mau orang tua mesti mengubah pola asuh dengan memberikan kesempatan luas kepada anak untuk bereksplorasi dan mengungkapkan isi hatinya, apakah itu sedih, kesal, atau gembira. Asal tahu saja, perkembangan emosi sangat berperan penting dalam perkembangan harga diri anak selanjutnya.

* Mengajarkan berkata "tidak"
Anak yang selalu mengalah tentu selalu berkata "ya" pada temannya. Dengan begitu, si prasekolah jadi mudah dimanfaatkan untuk hal-hal yang tidak baik. Untuk itu, ajari ia untuk bisa berkata "tidak" jika disuruh-suruh oleh teman. Tentu saja kalau tujuannya untuk menolong teman yang sedang kesulitan atau terdesak sikap mengalah tetap harus didahulukan. Nah kemampuan untuk mengenali situasi berarti perlu juga dikenalkan pada anak. Kalau situasinya sudah mengarah jadi "dikerjain" maka anak harus bisa secara tegas bilang "tidak".

PERAN GURU

Guru pun harus peka jika ada anak didiknya yang cenderung bersikap selalu mengalah pada teman-teman sebayanya. Dalam hal ini yang bisa dilakukan guru adalah:

* Mengajarkan konsep bergiliran dan berkelompok

Anak 4-5 tahun sebenarnya mampu memahami aturan main walau terkadang masih melanggar peraturan yang ditetapkan, termasuk dalam hal bergiliran. Di sinilah pentingnya peran guru untuk selalu menerapkan tata cara bermain pada semua anak didik. Saat para murid berebut ingin bermain ayunan, minta mereka antre lalu ajarkan untuk bergiliran sehingga semuanya bisa merasakan asyiknya permainan itu. Selain belajar konsep antre, anak juga belajar bersikap sabar saat menanti gilirannya. Pujilah saat mereka dengan sabar mau menunggu gilirannya. Secara perlahan-lahan sikap egois yang tertanam dalam diri anak akan luntur dan si pengalah juga jadi belajar mengenai hak gilirannya.

Permainan kelompok juga dapat menjadi ajang bersikap sportif dan kebersamaan karena saat bermain kelompok anak dapat merasakan makna kalah dan menang. Juga, akan ada teman lain yang bisa diajak berbagi rasa sehingga anak tak merasa sendirian.

* Meningkatkan kemampuan sosialisasi

Selain bertugas mengoptimalkan kelebihan dan meminimalkan kekurangan anak, peran guru juga meningkatkan potensi bersosialisasinya. Guru perlu mendorong setiap anak untuk terlibat dengan seluruh temannya. Intinya, sudah tugas guru untuk menumbuhkan minat bersosialisasi anak karena di usia 4-5 tahun sebenarnya ia sudah memiliki keinginan berkumpul dengan teman sebayanya. Konkretnya, jika ada anak yang terlihat menyendiri dan memilih berdiam diri menonton teman-temannya bermain, langsung ajak ia untuk berbaur. Libatkan anak dengan teman lainnya dan ajak untuk bermain bersama-sama.

Pada anak yang kelihatan selalu mengalah ajarkan untuk melapor pada guru jika ada teman yang berbuat agresif, seperti memukul atau menendangnya. Jadi, bukan hal bijak jika anak pengalah diajarkan untuk balik bersikap agresif. Balas memukul bisa memancing si pemukul untuk bertindak lebih agresif. Nah, tak akan menyelesaikan masalah, kan? Lebih jauh lagi, anak yang tadinya pengalah bisa berubah menjadi sosok yang agresif dan tak tahu aturan.

Namun, tanamkan bahwa diam saja juga bukan solusi bijaksana karena ia akan menjadi sosok yang selalu dikalahkan. Minta anak untuk mengungkapkan perasaannya, misalnya, "Kamu jangan pukul aku dong. Kan sakit!" Guru pun perlu menjadi fasilitator pendamai kedua anak yang bertikai. Beri tahu anak yang menyerang bahwa perbuatannya merupakan sikap yang tidak baik karena dengan begitu temannya jadi sakit dan menangis.

BUANG SIKAP OTORITER

Pola asuh yang tepat akan membuat anak berkembang menjadi sosok yang penuh percaya diri. Jika ternyata ayah dan ibu bersikap otoriter terhadap anak, mulai sekarang tinggalkan hal itu. Bersikaplah lebih baik, antara lain dengan melakukan hal-hal berikut:

* Menjalin komunikasi yang baik

Komunikasi yang terjalin baik akan merangsang anak berani mengungkapkan pendapat atau ide-idenya. Jauhi sikap keras, menghakimi, dan memojokkan karena akan membuat anak enggan berkomunikasi dengan kita. Jadilah teman atau sahabat anak dan bukannya menjadi pihak yang berseberangan dengannya.

* Tidak membedakan anak

Sebaiknya orang tua tidak membeda-bedakan atau membandingkan anak karena setiap anak memiliki potensi masing-masing yang unik. Jadi jangan pernah memaksa si adik harus sama kemampuannya dengan si kakak atau sebaliknya.

* Tidak memberi label negatif

Jangan sekali-kali mencap jelek anak dengan julukan atau panggilan yang buruk. Predikat negatif cepat atau lambat akan menghancurkan konsep diri anak. Salah satu akibatnya adalah anak menjadi pasif dan pengalah karena tidak percaya diri.

* Hargai keberhasilan anak

Hargai atau puji keberhasilan anak karena tanpa pujian, anak merasa apa yang dilakukannya tak berharga. Perasaan tidak dihargai sulit membuat anak percaya diri dan memiliki inisiatif yang tinggi.

* Berikan alternatif pilihan

Hindari mendikte anak tetapi beri ia alternatif pilihan. Misalnya, mau minum susu atau jus? Beri ia kesempatan berpikir. Alhasil, daya pikirnya menjadi terasah dan belajar membuat keputusan sendiri akan memperkuat sikap tegas anak, sehingga ia tidak menjadi orang yang selalu mengalah.
(tabloid-nakita)

0 komentar: