IKUT BANYAK KURSUS? BOLEH SAJA ASAL ENGGAK DIPAKSA

Sesuaikan pilihan kursus dengan minatnya. Cermati frekuensi dan jumlahnya, serta pilih penyelenggara yang dapat menyelami jiwa anak.

Simaklah kisah yang merupakan pengalaman nyata Dra. Hj. Opih R. Zainal. Ketua Umum Ikatan Guru TK Indonesia ini harus menerima kalau anak sulungnya bukanlah orang yang bergairah dalam menimba ilmu secara akademis. "Semua itu kesalahan saya dan menjadi penyesalan hingga kini. Sewaktu kecil, karena merupakan anak pertama, saya menuntutnya untuk selalu lebih. Termasuk dalam soal pelajaran. Saya jejali dia dengan berbagai kursus. Akibatnya, saat di universitas, dia seperti sudah kehilangan gairah untuk belajar. Kuliahnya membutuhkan waktu lama baru bisa selesai. Saat itu mungkin sudah merupakan titik klimaks kejenuhannya."

Tanpa bermaksud membandingkan, Opih melihat kalau anak keduanya yang dididik dengan lebih "santai", justru selalu bersemangat mengembangkan ilmunya terus-menerus. "Anak saya yang nomor dua mengambil dua kuliah sekaligus dan bisa menyelesaikan kedua kuliahnya hanya dalam 4 tahun. Bisa jadi karena sewaktu dia kecil, saya memberinya banyak kelonggaran untuk bermain dan tidak saya bebani berbagai kursus."

Tak ada maksud apa pun di balik cerita ini kecuali sebagai bahan renungan bagi para orang tua agar tidak memaksa anak untuk mengikuti kursus secara berlebihan. "Saya sering bercerita kepada orang tua lain tentang hal ini agar mereka tidak melakukan kesalahan yang sama dengan yang saya lakukan. Dampak pada anak TK yang diikutkan berbagai macam kursus memang tidak akan terlihat saat itu juga, tapi baru dalam beberapa tahun bahkan berberapa puluh tahun kemudian."
Menurut Opih, banyak anak yang duduk di kelas 2 atau 3 SD tiba-tiba mogok sekolah. "Nah, ini bisa jadi merupakan pertanda kalau mereka terlalu diforsir. Perkembangan mereka seakan disentak-sentak, bukan seperti air mengalir. Dampak yang lebih buruk lagi, nantinya anak bisa drop-out dari SMA atau tidak mau meneruskan kuliah."

TANPA MINAT AKAN KECEWA

Toh, bukan berarti si kecil sama sekali tidak boleh kursus. Boleh-boleh saja. Namun, orang tua mesti jujur dulu kepada diri sendiri, apakah kursus tersebut memang untuk mengembangkan minat dan potensi anak, atau hanya untuk memuaskan ambisi orang tua saja. "Kalau dulu, kan, orang tua selalu menginginkan anaknya menjadi dokter atau insiyur. Saat trend-nya kini berubah, mereka berbondong-bondong ingin anaknya menjadi penyanyi, presenter atau model cilik," ujar Kepala Sekolah TK Al-Ikhlas, Jakarta ini.

Alhasil, ambisi-ambisi tadi memicu mereka untuk memasukkan anak-anaknya ke tempat-tempat kursus seputar dunia entertainment. Bila si kecil berminat mungkin tidak jadi masalah, tapi jika tidak, maka pada akhirnya hanya kekecewaan yang akan didapat anak. Ia tidak bisa menemukan dirinya di situ. "Awalnya, mungkin anak mau kursus karena iming-iming orang tua. Lama-lama akan tampak kejenuhannya sehingga akhirnya membawa anak pada kekecewaan." Inilah yang menurut Opih harus dihindari. Sarannya, orang tua mesti selalu ingat, kursus yang tidak diminati anak hanya akan merupakan suatu siksaan baginya.
Namun sekali lagi, bukan berarti semua kursus selalu berdampak buruk. Bila tujuan kursus adalah murni untuk mengembangkan minat atau potensi yang dimiliki anak, Opih justru menyarankannya. Amati potensi apa yang paling menonjol pada dirinya untuk kemudian dikembangkan. Bila umpamanya, si kecil senang menggambar dan memang terbukti hasil gambarnya lebih bagus ketimbang anak-anak lain, masukkan ia ke sanggar menggambar. "Di sanggar itu, anak akan mendapat pengarahan ahli. Bagaimana gradasi warna yang baik, bagai

mana cara menggambar bentuk orang dengan lebih menarik, dan lain sebagainya. Nah, kursus-kursus semacam ini dapat mempercepat bakat dan minat anak agar menjadi kenyataan," ujar Sekbid Informasi dan Komunikasi Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia ini.

BILA MENGEJAR KETINGGALAN

Lalu bagaimana dengan kursus-kursus yang tujuannya mengejar ketinggalan? Umpamanya, kursus membaca dan menulis bagi anak TK menjelang masuk SD. Untuk soal ini, kata Opih, yang perlu disadari orang tua, lagi-lagi bahwa anak TK tidak mesti langsung bisa membaca saat masuk SD. Ada perkembangan yang lebih penting yang harus mereka miliki ketimbang kemampuan membaca, seperti perkembangan imajinasi, perkembangan motorik halus maupun kasar, dan perkembangan bahasa.

Sayangnya, perkembangan-perkembangan tadi kadang terbengkalai karena guru maupun orang tua malah mementingkan kemampuan baca-tulis anak. "Perkembangan-perkembangan tersebut dianggap enteng karena hasilnya tidak bisa terlihat seketika. Sedangkan membaca, ukurannya lebih terlihat, dari yang belum bisa membaca jadi bisa baca. Makanya ini yang sering dikejar lebih dulu. "

Padahal, lanjut Opih, kemampuan membaca tidak ada gunanya jika anak tidak mengerti makna dari apa yang ia baca. Kemampuan menulis pun akan percuma saat anak tidak dapat mencurahkan ide ke dalam tulisannya. Semua kemampuan tersebut bisa bermula dari perkembangan-perkembangan yang dianggap remeh-temeh tadi. Pelajaran menggambar, misalnya, walau hasilnya tampak hanya seperti benang ruwet, merupakan salah cara untuk dapat mengembangkan imajinasi anak. Coba kita selalu bertanya apa yang anak gambar, "Adek gambar, apa?" ­ "Ini bebek, Ma." ­ "Kakinya enggak kelihatan, ya?" ­ "Iya, soalnya air kolamnya kepenuhan."

Jadi, apa pun alasan yang dicelotehkan anak, semua sah-sah saja karena gambar tersebut merupakan caranya merealisasikan ide-ide yang ada dalam pikiran. "Hanya, antara imajinasi dengan kemampuan motoriknya belum seimbang sehingga hasilnya terlihat berbeda dengan apa yang dimaksud." Lagi pula, ucapan-ucapan yang dikatakan anak mendorong juga perkembangan bahasanya.
Jadi, kembali lagi pada inti persoalan, kursus membaca bagi anak TK tidaklah mutlak. Namun bila toh, dengan berbagai pertimbangan tetap dirasa perlu, Opih memberikan rambu-rambu yang dapat dijadikan patokan. Salah satunya, perhatikan masa peka anak. Kalau masa peka anak sudah timbul, maka latihan baca-tulis akan bisa membantunya. Namun, jika masa peka tersebut belum ada, dalam arti anak belum berminat, maka akan ada tiga pihak yang merasa terbebani, yaitu guru, anak, dan orang tua.

Mendeteksi kepekaannya tidaklah terlalu sulit. Minta saja si kecil untuk mencari bentuk huruf yang sama. Misalnya, kita acungkan pada anak huruf N, lalu katakan, "Coba cari di kartu-kartu itu, bentuk yang sama dengan huruf yang Mama pegang!" Kalau anak sudah bisa melakukannya berarti dia bisa diajarkan membaca," kata Opih. Satu hal lagi yang patut diperhatikan, kursus membaca tidak boleh dengan cara mendril, tapi harus dengan bermain. "Dengan cara berlomba mencari huruf yang sama, misalnya. "

MINAT NAIK-TURUN

Yang perlu dicermati, minatnya terhadap sesuatu kadang menunjukkan grafik yang naik-turun. Hari ini bisa saja ia memperlihatkan antusiasme saat berlatih menari. Hari lainnya ia tampak ogah-ogahan. Tak ada yang perlu dikhawatirkan dari hal itu. Menurut Opih, wajar saja jika anak usia prasekolah mood-nya naik turun. Namun, tetap perlu dicari akar penyebabnya. Jangan-jangan hanya karena masalah sepele. Umpamanya, bagi anak yang ikut les renang, perintah untuk mencelupkan kepalanya ke dalam air bisa menjadi suatu siksaan. "Pelatih yang sabar dan mengerti jiwa anak akan menggunakan taktik lain. Misalnya, kepala anak disiram air dulu. Walau gelagapan, tapi setidaknya ia masih merasa aman karena kepalanya masih ada di atas air."

Untuk itulah Opih berharap penyelenggara kursus mesti dapat menyelami jiwa anak-anak. Bila guru di tempat kursus selalu memberikan kritik, anak-anak jadi takut salah. Waspadai pula jika si kecil sering mengeluh capek karena bisa merupakan indikasi pemaksaan yang tidak disadari. Saat akan berangkat kursus, umpamanya, anak banyak mengajukan alasan seperti sakit perut, mengantuk atau pusing. "Kalau itu terjadi tidak ada salahnya jika orang tua bertanya dengan jujur kepada dirinya sendiri. Apakah anak memang berminat pada kursus tersebut atau jangan-jangan kita saja yang ngotot."

Namun bisa juga keluhan capek tadi disebabkan frekuensi kursus yang terlalu dekat, misalnya seminggu 3 kali. Akhirnya terdengarlah keluhan seperti, "Aduh, kayaknya baru kemarin, deh, aku kursus. Masak sekarang harus kursus lagi." Padahal idealnya, menurut Opih, frekuensi kursus bagi anak TK adalah seminggu sekali atau seminggu dua kali. Akan lebih bijaksana lagi, penetapan jadwal kursus ini melibatkan si kecil. "Jangan mentang-mentang ia masih kecil, lalu orang tua sendiri yang menentukan. Kalau semua serba diatur, anak akan terbiasa tunggu perintah. Akhirnya kalau tidak diperintah, dia tidak akan berbuat apa-apa. Ini, kan sama saja membunuh kreativitasnya."

Selain frekuensi, jumlah kursus pun patut diperhatikan. "Jangan terlalu banyak, karena selain belum memiliki rasa tanggung jawab, ia pun masih selalu ingin bermain. Jadi, maksimal 2 macam saja dalam seminggu."

Opih yakin, jika anak memang berminat, ditambah frekuensi, jumlah kursus, dan penyelenggaranya yang menyenangkan, maka kegiatan ini akan menjadi suatu rekreasi yang indah dan selalu didamba-dambakan anak. Bukankah akan terdengar merdu jika dari mulut mungilnya terdengar, "Kapan sih aku kursus lagi? Aku sudah enggak sabar mau bernyanyi, nih!" Karena dari situlah awal perkembangan imajinasi serta kreativitasnya.

JENIS KURSUS YANG COCOK

Opih sendiri sebenarnya tidak membatasi jenis kursus bagi balita. Selama sesuai minat dan potensinya, kursus apa pun boleh saja. "Bila anak senang bermain dengan angka, ia bisa saja diikutsertakan pada kursus sempoa," kata Opih. Namun setidaknya, ada beberapa kursus yang umum bagi anak-anak TK:

* menggambar

* olahvokal

* mengenal musik

* renang

* komputer

* bahasa Inggris

Pada dua kursus yang disebut terakhir, yaitu bahasa Inggris dan komputer, menurut Opih, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Untuk bahasa Inggris, misalnya, boleh dijalani asalkan si kecil tidak melupakan bahasanya sendiri. Kursus komputer bagi si kecil pun tentu bukan meliputi pengenalan program-program yang rumit, tapi program yang memungkinkannya bermain sambil mengenal teknologi tersebut.
Yang paling penting lagi, kursus untuk anak-anak tidak boleh disamakan seperti kursus untuk orang dewasa. Misalnya, tidak dengan komunikasi satu arah dan duduk diam statis. "Untuk kursus bahasa Inggris, misalnya, bisa dengan bernyanyi. Sedangkan kursus komputer diselenggarakan dengan menggunakan program untuk anak-anak."
(tabloid-nakita)

0 komentar: